Jumat, 07 Agustus 2009

SINOPSIS: TUHAN DI BAWAH KEDUA TELAPAK KAKIKU


Buku ini menampilkan sebuah perjalanan spiritual anak manusia dalam mencari identitas diri. Pada awal perjalanannya semula berupa kegundahan dan kenekatan setelah cintanya terhadap Kayla terombang-ambing antara kenyataan dan maut. Saat itulah cemburu tiba-tiba mengamuk. Kehidupan sang tokoh yang tenang tiba-tiba terusik oleh keterancaman janji-janji yang tiada terealisasi. Berbekal motor butut peninggalan ayahandanya serta modal pas-pasan, sang tokoh kemudian melakukan perjalanan jauh hingga daya tahannya terkuras habis.

Selama melakukan perjalanan berkeliling ia sering didera cemooh, pujian, lapar dan dahaga, kepanasan, kehujanan, serta sakit. Sebaliknya, bertemu orang-orang di bawahnya justru menjadi penghilang dahaga. Mengesampingkan urusan pribadi adalah penghibur laranya.

Dengan profesinya sebagai jurnalis, sang tokoh melibatkan diri dalam pertarungan batin yang maha dahsyat. Kini perjalanannya bukan lagi mengenai pertarungan cinta, bahwa baginya martir cinta hanyalah sebuah judul yang cocok untuk lagu-lagu cengeng. Bukan pula tentang pemberontakan serta kebebasan yang kerap didamba-dambanya, melainkan mengenai jagat manusia yang sarat akan sejuta pemikiran dan permasalahan. Bahwa semua yang dilahirkan memulai hidup tanpa mempunyai sesuatu tak terkecuali tubuh maupun nyawanya sendiri. Kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Bahwa semua pasti akan mati, itu pasti. Tapi kapan dan bagaimana kematian tidaklah penting dan tak perlu kisruh memikirkannya. Siapa yang siap, itulah intinya.

Banyak hal-hal yang disajikan oleh sang tokoh; dari keberagaman sosial, budaya, serta ideologi suatu kelompok. Pun penceritaan sejarah manusia dihaturkannya dengan kepekaan tinggi. Mengenai keimanan sang tokoh, tentu penyajiannya disampaikan dengan sangat gamblang, dinamis serta progresif. Sang pengarang dalam tokoh rupanya tidak mempersonifikasi diri sendiri sebagai pengarangnya langsung, atau bahkan si tokoh adalah orang lain, itu bisa saja terjadi. Tapi yang pasti tokoh ini menjadi saksi inteletual atas kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang dialami di tengah perjalanan hidupnya. Dia membuat seolah-olah perjalanannya begitu mudah sehingga dapat dilakukan oleh semua orang tanpa suatu kepayahan apapun.

Perjalanan ini telah memberi ruang pemahaman bagi sang tokoh tentang satu makna yang tak diperkirakan sebelumnya. Ia sadar ternyata menjadi manusia itu tidak gampang. Kita hanya cukup menjadi manusi...tanpa huruf ‘A besar’. Sebab huruf ‘A’ adalah milik Allah. Dari sini perjalanannya kemudian melenceng dari yang direncanakan. Dari kekesalan cinta menjadi kerinduan yang membahana di dinding-dinding arasy. Dari permberotakannya menuju kebebasan justru kian mendekatkannya kepada Yang Dicintai. Demikian pula permasalahan yang ditemuinya membuatnya menjadi sosok pemabuk yang sakitnya hanya dapat disembuhkan dengan permohonan cinta yang suci dan tulus terhadap Sang Kekasih. Bahkan dari kedua telapak kakinya ia merasa ditampakkan (tajalli) Al-Haq.