Rabu, 03 Februari 2010

Catatan Kesederhanaan

Kuselamatkan jiwaku melewati wajah demi wajah...

Catatan Kematian

Jika takdir menentukanku harus berpisah dengan cahaya mataku, maka apa yang akan terjadi padamu?

Catatan kemunafikan

sikap cueknya itu loh lebih mengesankan ketimbang sikap bawelnya...

Catatan Bersujudku

Dengan segala kemahasempurnaanNya, aku bersujud hingga nafas terakhirku.

Catatan Senjata

senjataku tlah usang, bahkan mendekti ajal, hampir punah, pingsan. tak ada yg bs mengobati kecuali aku menghunuskannya. Dia adalah tekad, semangat dan keberanianku.

Air Rondo Kembar


Yen tak rasakne wong-wong saiki do aneh-aneh. Sing aneh-aneh kadang diomongne ajaib. Ajaib ono kaitane karo gaib, mergo ono buktine, bukti sing nganeh-nganehi. Sing aneh maneh, masyarakat ngaku nggunakne sumber banyu kuwi wes suwe, sak durunge kondang. Malah nggo ngombe, masak, ngombeni sapi, mergo pancen angel udan, angel banyu, salahe dhewe alase dientekne.
Ontran-ontrane wong ben misuwur pancen yo isooooo ae..... Koyo Ponari kae. Saiki ning Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar, tinemu sumber Banyu Rondo Kembar. Banyu kuwi dijupuki karo wong diombekne wong sing loro, sakite nemen, ndilalah mari. Ono sing strook gak iso mlaku, digawani banyu ko kono, diombekne, terus iso mlaku. Saking bungahe terus nekani panggon sumber banyu kuwi. Ngandakne syukuran mergo wes berobat tekan endi-endi gak mari, entek pirang-pirang juta gak mari, mergo ngombe banyu campur lumpur sak cendok, kok ndilalah mari. Iku jareee.... wong aku yo durung temu wonge.
Aku jane yo ora penasaran, wong pancen ndilalah nganggur ningomah, gek libur wes entek pisan arep nyaopo... ? akhire tak jak bojo lan anakku mlaku-mlaku, ning gak tak omongi arep nangendi. Banjur nglewati alas ndeso nanging dalane hotmik kabeh, bupatine rodok beneh iki, terus tak duduhne, yo kuwi sing jenenge Monumen Trisula, pas lewat, jaman biyen nggo peringatan masyarakat, mergo panggone PKI ning kene iki. Sing tak elingi jenenge Olean Hutapea, Muso, kabeh tokohe ono ing Blitar. Yo kuwi tugu peringatanne. Monumen Trisula.
Yo bar lewat kono terus nganan ono dalan munggah ora adoh wes ditulisi, Sumber Air Rondo Kembar, pokoke melu dalan kuwi mau. Akhire tekan juga. Ning sedane gak iso lewat, mlaku yo ora adoh.
Ning kono wes okeh wong dodolan bakso, dodolan Aqua, ning kok durung ono sing dodolan es degan, wah padahal ngelak poool.... Arep nyucup mbok rondo kembar ngko malah piye, diamok masyarakat kono ngko. Hehehe.....
Tekan kono yo mung mak blunus, wong aku macak rodo kereng, gak dicegat karo wong kampung sing do nawani tiket, ee... tibake tiket antri. Desane Tumpakoyot ketoke nek rak Tumpakkepuh. Sak elingku aku wes tau rono, pas nontok sekolahan elek-elek ning kono, ben oleh bantuan DAK. Tapi yo aku wes biasa karo wong kampung, macak sumeh, wong-wong do sungkan malah nyopo, monggo Pak...!
Crita kondange mergo jare ono Wong Wlingi diimpeni, ono sumber ning daerah Bakung. Bareng diparani, tibake sing wes tak kandakne mau, wes dinggo ngombeni sapi wes dinggo masak wes suwe. Mergo awale pancen rodo aneh, wong panggone puthukan duwur kok ngrembes banyu, terus dipidek, lemahe ora nemplek ngregeti sikile, terus diduduk, tibake ono banyune. Makane akhire kanggo masak nggo ngombeni sapi lan liya-liyane. Mbasan ono wong Wlingi mau akhire kondang mergo oleh impen nek banyu kuwi iso nggo ngobati wong gerah. Wong Jowo nek rak njajal ora marem, dijajal deweke duwe loro batu ginjal, bareng diombe, jare... lho ya, jare metu watune metu glundung bareng uyuhe. Aku yo mikir, maksute opo wonge nguyuh ning watu terus watune glundung opo wonge nguyuh ning nduwure watu terus glundung. Wong jare... hehehe....
Tapi yo wes bene, sopo ngerti sugestine wong reno-reno. Soko sugesti wong lumpuh iso mlayu mergo ngerti ono ulo arep nyaplok deweke. Yo ngono kuwi kekuatan tenaga dalam diri kadang iso luar biasa.
Ning kono tak tontok bek wong do antri, padahal banyune sak tlowakan sikil sapi, isine banyu yo sithik, nanging jare nek diciduk mbok rondo kembar mau, banyune panggah gak kalong. Iki nyalahi hukum kekekalan energi, kudune kelong ning sumbere teko maneh. Tapi sing nyiduk wong liyo, iso entek gari lumpure. Wes embuh pokoke jarene critane okeh sing mari bar ngombe banyu buthek kuwi.
Eh, mbok rondo kembar kuwi ora kembar, tapi mbok rondo loro, sijine ponakane. Nek kanggoku iku sing jenenge Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Ono pangonan nylempit sing jarang diendangi wong liyo, akhire misuwur diparani wong ko ngendi-ngendi. Sayange sig dodolan mau kok dudu wong kono dhewe. Akhire aku ngusulne wong sing tak nggo markir kendaraanku mau, "Mbah, sampeyan dodolan es degan mawon, kersane wonten gawean. Nek sampeyan dol kambil saiki 900, nek dol degan iso 2.500 nganti 4.000. Tapi jare malah, mergo gak bakat dodolan, padahal wet kambil akeh do ting ngglantung. Padahal maneh, karepku nek aku mancing lewat kono iso tuku Es Degan.... hehehe....(B-Elyas)

Catatan Perintah

Kau berikan yang Dia inginkan, dan aku berikan yang Dia butuhkan.

Catatan Wajah

begitu indah ciptaan Allah. kututup mataku tanpa memandang wajah dalam potret alam kecuali WAJAH ALLAH.

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag VI-TAMAT)

Ibu Guru Yanti telah tiada. Ia dimakamkan di pinggiran desa. Semua warga menolak jasad Ibu Guru Yanti, menurut mereka Ibu Guru Yanti tidak layak dimakamkan di desa Mayapada mengingat perbuatannya yang tidak dibenarkan oleh para wali murid. Di mata penduduk desa, nama Ibu Guru Yanti tidak berarti, bahkan desa tersebut mengharamkan nama Ibu Guru Yanti disebut-sebut. Sampai kapan? Sampai selama-lamanya. Mereka mengatakan Ibu Guru Yanti adalah aib bagi penduduk desa. Bahkan ketika dimakamkan tiada seorang pun yang datang melayat, begitu pula keluarga Ibu Guru Yanti terkesan cuek.

Lalu siapa yang memakamkan? Justru yang peduli dengan jenasah Ibu Guru Yanti adalah orang-orang dari luar , mereka mengurus dengan ikhlas, ada diantaranya pihak kepolisian, pihak rumah sakit, sopir ambulance dan penggali makam.

Namun demikian tidak semua orang menjauhi Ibu Guru Yanti. Seminggu usai pemakaman, beberapa orang nampak menziarahi makam. Mereka menangis di pusara pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Mereka tak lain keluarga Rikno: ayah Rikno, ibu Rikno, Nenek Rikno, Bibi Rikno, dan Rikno.

Di hadapan pusara Ibu Guru Yanti, mereka berdoa dengan khusyuk. Usai memimpin doa sang ayah mulai berbicara:

"Kau, adalah pahlawan kami. Darimulah sekarang Rikno mengetahui kebenaran. Kau, adalah kejujuran. Walau kejujuran yang kau jalani terasa pahit, tetapi kau tidak pernah mengeluh. Pengorbananmu terhadap kejujuran sangatlah kami hormati. Kau rela mati demi kejujuran. Kau tidak mempedulikan nyawamu walau sebenarnya kau sudah tahu resikonya. Kau, yah, kau adalah pahlawan kami. Telah banyak yang kau perbuat bagi keluarga kami. Meski kami belum pernah bertemu dengan dirimu, wajahmu tetap bersinar di hati kami. Kejujuranmu itulah yang membuat kami membuka mata lebar-lebar." Kata Ayah Rikno.

"Ibu Guru Yanti yang terhormat, yang kami cintai, kau bagai oase di padang tandus. Meski secuil kejujuran yang kau sebarkan, tetapi hal itu telah banyak memberi kami penerangan. Kini, kami menjadi sadar, bahwa tak selamanya kebenaran itu harus ditutup-tutupi. Dengan kejujuranmu itulah sekarang anak kami dapat mengetahui arti sebuah kebenaran akan mem*k. Kami yakin suatu hari kelak anak kami akan selalu mengingat kebaikan yang kau berikan, kami yakin kelak Rikno akan menghormati pengorbanan para guru dan pendidik, bila dewasa nanti dia juga akan tahu betapa mahalnya artinya sebuah kejujuran dan kebenaran. Dan karena kebenaran itulah Rikno sudah mengetahui apa itu mem*k, dan dengan pengetahuan serta pemahaman yang kau berikan ke anak kami, kami pun yakin suatu hari nanti dia akan semakin menghargai yang namanya perempuan. Ibu Guru Yanti, kau adalah pelita bagi kami. Jasa-jasamu takkan pernah kami lupakan." Ucap janji sang ibu.

"Rikno, anakku, adakah kata-kata yang hendak kau sampaikan pada Ibu Guru Yanti?" Tanya sang ayah.
Rikno mengangguk.

"Ada yah..."

"Apakah itu Rikno?" Sahut Sang Ibu.

"Rikno sangat berterima kasih kepada Ibu Guru Yanti atas kebaikan yang pernah beliau berikan. Sampai mati kebaikanmu akan selalu kupegang." Kata Rikno.

"Yah, kau dengar sendiri kan Ibu Guru Yanti. Betapa Rikno tak bisa melupakan jasa-jasamu. Karena kaulah dia sekarang sudah menjadi dewasa. Bukan kami, tapi kau. Kami justru hanya menjadi penghalang bagi perkembangannya. Kami adalah sebuah kebohongan yang selalu tersebar dimana-mana. Kami tak ubahnya kutu loncat yang ketika digusah akan pencolotan, tapi ketika musuh tidak kelihatan kami akan diam-diam mengambil hak orang lain. Memang benar apa yang telah kau lakukan, kejujuran sangat mahal harganya. Buktinya kami tidak bisa menjelaskan mem*k pada anak kami, padahal sebenarnya kami tahu. Kami adalah tukang tipu, selalu memojokkan orang, selalu menyusahkan orang, tak pernah serius menanggapi setiap permasalahan. Parahnya, kami adalah orang-orang munafik yang tak tahu diri. Tidak seperti kau, kau sangat berani menyatakan kejujuran. Kau berani menerjang bahaya. Kami semua tunduk padamu, tunduk terhadap pahlawan bangsa. Semoga arwahmu tenang di sisiNya. Amin."

Setelah itu Sang Ayah menyanyikan Hymne Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, semua orang luluh dalam keharuan:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Disusul dengan lagu Padamu Negeri dan semua orang ikut mengiringkannya:
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami (TAMAT/NOVI)

NB: Saya melihat sebuah ketakutan masih membayangi wajah-wajah mereka, kejujuran dan kebenaran akhirnya terhenti sesaat; dia bagaikan senjata Pasopati yang hendak membumi-hanguskan segalanya. Yah, mungkin bukan sekarang, mungkin nanti, bila mereka telah mengetahui makna kejujuran dalam hatinya. Namun saya yakin masih banyak kejujuran di negeri ini, walaupun itu secuil.