Minggu, 10 Agustus 2008

Mempertandai Jejak Multatuli


Bicara
adalah kebutuhan jiwaraga
dalam kehidupan
bangsa manusia.

Dalam alam totaliter
bicara merdeka
merupakan tindakan
jantan. 

BRUSSEL Juli 2008. Sekedar penyegar-bugaran ingatan. Iya, kadang kala ada saja orang bertanya, dari dulu hingga sekarang juga, kenapa aku -- sejak tahun 1972 -- bermukim di Brussel atau Belgia, bukannya di Amsterdam atau Belanda. Padahal di sini hanya sedikit saja adanya orang-orang asal Indonesia, sedangkan di Belanda puluhan ribu malah seratusan ribu lebih ?

Jawabanku essensinya sama saja, dari dulu sampai sekarang. Selain selaras keadaan obyektip, juga terutama sekali keadaan subyektipku sendiri. Selain Brussel atau Belgia sebagai « Tanah Pijakan Kaum Eksil », juga justeru lantaran diantara kaum eksilan itu adalah seorang pengarang Belanda yang terkenal bernama Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Terkenal dengan karyanya berjudul « Max Havelaar ». Selain itu, ada pula pengarang Belgia sendiri yang menggelitik hati dan pikiran, bernama Henri Conscience dengan novelnya berjudul « Batavia ». Maka ditambah pula adanya Akademi Senirupa Brussel, jatuhlah pilihanku untuk bermukim atau menjadi sitoyen alias penduduk kota ini. Menjadi sitoyen kota ini, selaku Etudiant lantas pekerja bebas (travailleur independent). Dengan segala suka duka yang aku alami, rasa betah bergulat dengan rasa gelisah resah selaku kaum eksilan. Tak urung, Multatuli menjadi guru yang meyakinkan akan kebenaran pilihan sebagai seniman engagée, yang memihak – berpihak pada misi bagi hidup kehidupan manusia yang manusiawi. Manusia yang mendambakan hidup kehidupan yang bebas merdeka, mendambakan kebenaran dan keadilan. Meskipun untuk dan dalam rangka menjaga semangat itu mesti menghadapi berbagai reaksi, pun ragam macam aral perintang. Seperti contohnya, dalam melakukan salah satu macam aktivitas-kreativitas tulis menulis di luar garis – seperti dalam rangka mengelola Majalah Sastra Dan Seni Kreasi ini. Yang sekalipun maknanya bak setetes air di lautan, ada keberadaannya tak mudah terhapuskan – selaras pepatah « Omongan mabur tulisan menetap ». Nyata adanya. Bisa dilacak, dikaji ataun disimak bagi yang berkehendak. Akan halnya pengakuan atau penilaian, saya serahkan saja kepada peminat atau pembaca yang bersangkutan masing-masing. Teriring asa untuk memeriksa keseluruhan aktivitas-kreativitas yang selang seling saling berkaitan. Secara obyektip adanya.

*

MENGENAI makna dan jasa seorang seniman -- tulis saya sebagai kalimat pertama naskah berjudul « Jejak Multatuli » pada halaman 11 Kreasi N° 7 itu -- pengakuan atas kebesarannya, seringkali sukar dilakukan orang atau apalagi penguasa. Karena kekerdilan hati dan pikiran serta pandangan, orang atau penguasa tidak mau mengakui bahkan seringkali memusuhi sang seniman yang menunaikan tugas sejarahnya. Karena, seringkali pula, penunaian kewajibannya itu harus dilakukan dengan menentang arus sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis. Suatu sikap teriring tindakan yang sarat akan berbagai macam resiko. Resiko dari arus atau kekuatan kolot, dan dari kecemburuan atau arogansi kekuasaan.

Itulah sebabnya seorang seniman itu seringkali menjadi tokoh yang kontroversial, pariah atau menjadi korban belaka. Korban fitnahan sampai pada perlakuan yang paling keji, terhadap kreasinya ataupun dirinya sendiri. Tak terbilang banyaknya contoh-contoh dalam sejarah akan sikap dan tindakan yang didasari oleh kecemburuan atau arogansi penguasa – dari usaha menutup-nutupi makna atau jasa seniman sampai memberangus atau menumpas kreasi maupun jiwanya. Kekaliberannya memang lewat ujian atas makna dan jasanya, aktivitas dan kreativitasnya, kekonsekwenannya dalam perjuangan melawan keburukan dan kesulitan hidup masyarakat manusia dan sekaligus juga yang dialaminya sendiri.

Begitulah halnya kasus Eduard Douwes Dekker. Penderitaan hidup manusia yang disaksikannya dan penderitaannya sendiri, makna dan jasanya, masih merupakan persoalan yang aktual – setelah 100 tahun wafatnya ! Pengarang ini, kerna sedemikian rupa pengalaman dan perhatiannya atas penderitaan manusia hingga nama samaran yang digunakannya adalah MULTATULI – dari bahasa Latin yang berarti : Aku Yang Menderita. Sejarawan Belgia Aimé Bernaerts dalam bukunya yang berjudul « Proscrits, exilés et écrivains etrangers en Belgique » mengutarakan, bahwa :

« Multatuli lahir di Amsterdam tahun 1820, wafat di Nieder-Ingelheim, Jerman, tahun 1887. Sejak umur 18 tahun dia menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Perlakuan yang tak berperikemanusiaan terhadap penduduk negeri jajahan menimbulkan kegusaran dalam dirinya. Ia mengambil sikap yang membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati pribumi yang dilindungi oleh residen Belanda… Setelah dengan berani membela kaum yang tertindas di distriknya dengan melancarkan perjuangan melawan ketidak-adilan selama 20 tahun yang tak berhasil, dia meninggalkan Indonesia… Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama « In de kleine prins », Rue de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itulah lahir kreasinya yang kemudian menjadi termasyhur, berjudul « Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappij ». Dalam novel yang lebih merupakan otobiografi ini, dengan keras Multatuli mengecam pemerintah Belanda yang membiarkan berlakunya tindakan yang sewenang-wenang, dimana dia sendiri selaku saksi-mata. Di tempat penginapan itu Multatuli menderita kedinginan ; seringkali, untuk menggarap novelnya dia turun ke ruang tamu yang juga merupakan kabaret itu. Seperti halnya di tempat-tempat lain kemudian, semasa di Brussel pun dia sering berhutang-pinjam. Walaupun demikian, dalam kemelaratan dia mampu melahirkan karya besanya seperti « Max Havelaar » itu, selain « Minnebrieven » (Surat-surat cinta), « Dialog-dialog Jepang », « Ide-Ide », dalam 7 jilid (1862-1877) dan sebagainya. »

Sikap dan tindakan serta kreativitasnya yang kongkrit cukup membuktikan bahwa Multatuli adalah seorang pengarang sekaligus humanis yang besar. Selaku manusia, sebagaimana semua manusia, barang tentu dia mempunyai kelemahan-kelemahan. Sementara orang menuding kelemahannya terutama dalam hal keuangan dan wanita. Namun orang yang berpikiran waras dan tak munafik tentulah pandai membedakan segala sesuatunya dan menempatkannya pada tempatnya yang layak.

*

MEMANG sekalipun sudah sekian lama wafatnya, opini atas makna dan jasa Multatuli itu tetaplah macam-macam. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Hal mana tercermin dalam pernyataan-pernyataan sekitar peringatan ke-100 ultah wafatnya.

Yang paling menonjol adalah manifestasi yang diprakarsai oleh para pencinta perjuangan Multatuli dengan memasang patung ciptaan pemahat Hans Bayens. Upacara peresmian pemasangan patung dalam rangka memperingati hari ultah ke-100 wafatnya itu dihadiri pula oleh Ratu Beatrix. Salah seorang pembicara, Geert van Oorschot, telah berkesempatan menguraikan kedudukan penting sang pengarang terkenal itu. Ditekankannya antara lain bahwa walaupun Multatuli sudah wafat seabad yang lalu, namun semangat anti-kolonialisnya yang sangat berkobar-kobar itu hingga kini tetap memberi inspirasi yang pantang kunjung padam.

Dalam menilai sejarah kolonialisme Belanda, Geert van Oorschot secara tegas menunjukkan bahwa Nederland sebagaimana halnya negara-negara kolonial lainnya, terkenal sebagai negara yang « secara serampangan melakukan penghisapan, pencurian dan perampokan ». Dan jasa Multatuli justeru terletak pada keberaniannya sebagai perintis dalam mengungkapkan kekejian-kekejian tersebut.

Khusus menyinggung kehadiran Ratu Beatrix, G.v. Ooschot menyatakan terimakasih dan penghargaannya yang selaku « Ratu yang pertama yang tampil di mimbar tanpa dibebani nista kolonial ». Demikian antara lain menurut harian De Volkskrant 18 Mei 1987.

Kemudian, pada tanggal 10 Oktober 1987, koran Het Parool telah menurunkan tulisan Theodor Holman yang membela Multatuli dengan membantah tuduhan seorang walikota Belanda terhadap Multatuli yang dinyatakan sebagai mirip dengan tokoh NSB bernama Mussert, sekaligus diblejeti pula sikap orang Indonesia yang membawakan suara pemerintah.

Dengan sengit Theodor Holman mengecam ketololan dan kecerobohan mereka yang mencoba merusak nama Multatuli dengan mensejajarkan sikap pengarang itu dengan tokoh kolaborator fasis seperti Mussert dan seperti Botha presiden Afrika Selatan.

Atas sikap orang Indonesia, Profesor Suharno yang menjabat Atase Kebudayaan, Holman menyatakan bisa memahaminya kenapa dia tak suka kalau ada orang menyebut-nyebut nama Multatuli. Ini disebabkan karena Multatuli sangat menentang segala hal-ihwal yang melanggar hak-hak azasi manusia di Indonesia. Multatuli menghendaki supaya semuanya diubah. Itulah menurut pendapatnya isi yang terkandung dalam novel « Max Havelaar ». Selanjutnya Holman mengajukan serangkai pertanyaan yang tajam : Bagaimana keadaan di Indonesia dewasa ini ? Apakah sudah tidak ada diskriminasi ? Mengapa banyak orang Tionghoa telah diusir ? Apakah di Indonesia ada kebebasan ? Apa sebabnya sebanyak 600.000 orang Komunis telah dibunuh ? Mengapa sampai sekarang masih ada saja pengarang-pengarang yang harus meringkuk di dalam penjara ?

Atas sikap walikota yang bernama P. van Zeil, Theodor Holman antara lain bilang : Seperti halnya perbuatan yang dilakukan oleh walikota di zaman pendudukan Jerman Nazi, untuk menyenangkan fihak musuh, makan Piet van Zeil telah membikin senang Atase Kebudayaan, Profesor Suharno yang menganggap Multatuli sebagai seorang NSB.

Apa yang menyebabkan sehingga P. van Zeil tutup mulut tentang Multatuli itu ? Ia memang hanya sedikit sekali membaca karya-karya Multatuli yang sangat cemerlang itu. Dan apa yang telah dibaca dianggapnya tidak begitu menarik perhatiannya. Sebab, kalai ia menghargainya, maka ia pasti akan menyebut nama Multatuli dengan senang hati. Hal ini mungkin sekali disebabkan karena Multatuli itu bukan saja sangat menentang situasi buruk yang terdapat di Indonesia, tapi juga karena tulisan-tulisannya itu terutama ditujukan pada para pengarang bréngsék pada umumnya dan terhadap pemeluk agama Katolik khususnya. Kongkritnya tertuju pada orang-orang semacam Piet van Zeil dan Profesor yang menjabat Atase Kebudayaan itu. Singkatnya : tertuju pada mereka yang sudah biasa tutup mulut !

Peringatan ultah ke-100 wafatnya Multatuli selain di Belanda, juga diselenggarakan di Belgia, Jerman dan di Indonesia. Juga, dalam kaitan itu, Kumpulan Karya Max Havelaar jilid ke-18 telah diterbitkan dalam bahasa Tionghoa, dan di Kuba diterbitkan karya Multatuli dalam bahasa Spanyol.

Tak terbilang banyaknya karya tulis, pidato, acara radio dan televisi, pementasan dan pameran serta bentuk-bentuk kegiatan lainnya yang terwujudkan dalam memperingati 100 tahun wafatnya pengarang sekaligus humanis besar Belanda itu. ***

Jumat, 01 Agustus 2008

R.M. Tirto Adhi Soerjo >> Inilah tokoh Minke dalam tetralogi Pram sekaligus Bapak Pers Nasional


Memperingati hari Pahlawan 10 November lalu, Presiden menganugerahkan 8 Pahlawan Nasional kepada 9 tokoh sejarah dari berbagai daerah. Salah satu gerakan perjuangan kemerdekaan adalah penerbitan koran pribumi di awal abad ke-20. R.M. Tirto Adhi Soerjo (TAS) diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena aktivitasnya sebagai pelopor pers nasional pribumi pertama di tahun 1907, di Bandung. Anugerah ini diusulkan oleh warga Jawa Barat.

Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875 – 1918)
R.M. Tirto Adhi Soerjo melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Soenda Berita, pers pertama yang terbit di Cianjur. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijaji, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial. Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.

TAHUN 2006 Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PPKK) Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Lemlit Unpad) mempelajari tiga calon pahlawan nasional dari Jawa Barat yaitu R. Soepriadinata, R.M. Tirto Adhi Soerjo, dan K.H. Noer Ali.

“TAS pelopor pers nasional. Dia mendirikan surat kabar Medan Priyayi pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar tersebut, dia berkiprah di Jabar hingga akhir hayatnya. Bahkan makamnya pun berada di Bogor.” [Nina H. Lubis]

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto, .

Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.

Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.

Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.

Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.

Kisah perjuangan TAS diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer (PAT) selepas keluarnya dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an. Ditulis dengan nama Minke dalam buku Tetralogi Buru, empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi PAT pun menulis kekagumannya atas TAS dalam buku Sang Pemula. Entah alasan pemerintah saat itu apa sehingga karya Tetralogi PAT dilarang terbit dan beredar. Sejak reformasi bergulir buku-buku PAT banyak dicetak ulang, bahkan hendak diangkat ke film layar lebar.

Karya PAT tentang Minke sebagai Tirto Adhi Surjo ini sudah banyak diterjemahkan di luar negeri, hingga 33 bahasa, diakui internasional di berbagai negara sebagai sebuah karya sejarah yang apik. Selain berlatar belakang sejarah yang tentunya lebih menarik sebagai referensi pelajaran sejarah di sekolah, PAT menggambarkan manusia Indonesia dengan keadaan feodal dan sistem kolonialnya. Tak hanya kronologi era Kebangkitan Nasional Indonesia dipaparkan lebih membumi dengan bahasa yang sederhana, PAT juga menggambarkan kisah cinta seorang manusia yang sederhana, tidak muluk-muluk, saat Minke bertemu dengan Annelies, sang Bunga Akhir Abad. Kabarnya Garin Nugroho akan menyutradai dan tokoh Annelies Melemma akan diperankan oleh Mariana Renata.

“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
[Dialog di dalam buku Bumi Manusia]