Rabu, 26 November 2008

Kota Kelamin

Cerpen Mariana Amiruddin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***

Minggu, 23 November 2008

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 2)


(Sebelumnya)

Sang Pangeran Perkosa Adiknya
Malam merayap. Bulan tidak muncul. Kastil indah yang dikitari pepohonan lebat itu tampak kelam. Temboknya yang terbuat dari batu hitam, menambah kesuraman. Kastil itu bisa dikenali hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Serta lampu redup yang memenuhi sudut ruang.

Drussila tidur nyenyak di kamar. Sprei putih berlapis-lapis, serta bad cover dari bulu domba, menutup tubuh mulus gadis ini. Wajahnya tenang, mulutnya terlukis sesungging senyum. Ia sangat damai di alam mimpi. Dan itu, hanya saat tidurlah bisa dinikmati.

Secara phisik, gadis ini sangatlah bahagia dan sejahtera. Ia cucu raja, dan hidup serba berkecukupan. Tapi jaman berhala yang menaunginya, telah menempatkan gadis ini pada takdirnya. Ia harus menyaksikan berbagai kekejian, dan mengalami berbagai penderitaan.

Ia dipaksa harus mengalami itu. Ia harus melihat bagaimana ayah dan ibunya dibunuh secara keji. Ia harus menyaksikan kekejaman bertahun-tahun di istana yang membuat hatinya goyah. Serta, dalam usia yang relatif muda itu, saban hari ia dijejali pemandangan erotis di lingkungan istana. Pesta seks saban pekan.

Kedamaian tidur Drussila itu amat kontras dengan kondisi Caligula. Laki-laki itu belum beranjak tidur. Ia hilir mudik mengelilingi ruang. Sesekali melongok kegelapan malam, dan kali yang lain menarik nafas panjang. Padahal biasanya, ia sudah mendengkur. Membaringkan tubuh di dekat adiknya, dan melepas kepenatan siang yang terasa begitu panjang.

Laki-laki ini memang sedang digelayuti keresahan. Peristiwa siang tadi belum bisa hilang dari ingatannya. Bukan kesadaran sebagai kakak yang membuatnya resah, tetapi keindahan tubuh dan romantisme Sang Adik yang telah menjadikan hatinya terus gundah.
Ia jadi kagok untuk berbaring di sisi Drussila. Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk tidur bersama adiknya. Sebab ia ragu. Mampukah tidak melakukan rangsangan pada gadis itu seperti malam-malam yang lalu. Sisi lain, kalau itu dilakukan, jangan-jangan sang adik yang juga orang paling disayang, serta teman bermain satu-satunya itu bakal marah. Dan itu artinya, ia akan kehilangan segalanya. Perang bathin itulah yang membuat Caligula resah dan tak bisa mengatupkan mata.
Malam terus merangkak. Di luar kastil, suara burung mulai bersahutan. Dingin menempel di jendela, dan terus merayap memenuhi ruang dalam puri tua ini. Caligula berdiri di balkon dekat peraduan Drussila. Kehangatan mulai menyusup di hati laki-laki ini.
Ia pandangi wajah ayu adiknya. Ia berulang-ulang menarik nafas panjang. Dan makin dipandang, yang muncul bukan wajah Drussila, tapi justru senyum Ennia, Sophia, Yulia, dan para wanita yang selama ini memberinya kenikmatan di ranjang. Jantung Caligula berdegup kencang. Nafasnya memburu, dan otaknya berpikir keras. Adakah ia mampu melawan nafsu itu?

Mata Caligula merah saga. Ia naik ke peraduan. Selimut tebal yang membungkus tubuh Drussila diseretnya pelan-pelan. Kini gadis itu hanya berpenutup kain tipis warna hijau muda yang dibentuk semacam baju tidur. Ia telentang tenang. Tertidur nyenyak di tengah lapisan kain.

Tubuh mulusnya terpampang nyata. Nafas Caligula terengah-engah. Tubuhnya gemetaran menahan nafsu. Tapi untuk melangkah lebih jauh, ia harus sabar dan hati-hati.
Laki-laki ini mulai membaringkan diri disamping Drussila. Tangannya merambat. Tali kain tipis yang mengikat tubuh Drussila dengan busana tidurnya diurai. Dengan sangat hati-hati tali itu dilepas. Dan dengan hati-hati pula, saat kain tipis pembungkus tubuh indah gadis ini sudah terlepas, disingkapnya. Kini tubuh mulus gadis itu tak berpenutup. Drussila menampilkan pemandangan yang menakjubkan. Panorama itu yang membuat birahi Caligula kian mengencang.

Ia memulai aksinya membangkitkan gairah Sang Adik. Ia merapatkan tubuhnya. Ia merangkul adiknya. Saat Sang Adik tidak bereaksi. Ia pilin, pijit, dan tarik-tarik bagian sensitifnya. Memang, reaksi phisik gadis ini belum kelihatan. Namun siku Caligula merasakan, degup jantung gadis ini mulai mengencang.

Caligula terus merayap. Ia mengangkat separuh tubuhnya, dan merangkul ketat tubuh bugil Drussila. Saat itulah Drussila melenguh. Tubuhnya bergerak-gerak. Dalam bawah sadarnya timbul rangsangan. Ia belum tersadar. Ia masih dibuai dalam alam impian. Namun impian yang distimulasi oleh gerakan luar yang terbias ke alam maya.
Reaksi erotis Drussila itu kian menyulut birahi Pangeran ini. Ia tambah bernafsu. Tubuhnya melorot ke bawah. Ia mendaratkan mulutnya di pusar Drussila.
Gadis ini mulai merintih. Ia mulai menggerakkan pinggulnya. Kakinya tambah terbuka.

Dan ruang yang tersembunyi itu kini memberi peluang untuk semakin dirangsang.
Caligula memindahkan posisi. Ia menempatkan badannya di antara dua paha Drussila. Ia mulai menggunakan mulut dan lidahnya untuk membangkitkan gairah. Dan gadis ini terus merintih.

Kini wilayah sensitif gadis itu mulai dibanjiri cairan. Caligula paham tanda itu. Terus dan terus. Sesekali mengelus, kali lain memutar. Ketika dirasa tepat untuk beraksi, Caligula pun menindih Drussila. Ia memasukkan lingganya ke yoni gadis ini. Pelan dan pelan hingga tubuh Drussila bergetar.

Hubungan Seks Sedarah
Drussila mengerang. Ia di ambang sadar. Ada rasa nyeri di selangkangannya. Ada beban berat di atas tubuhnya. Tapi di balik itu, tak bisa dipungkiri, juga ada rasa nikmat yang merambati seluruh tubuh gadis ini. Itu yang membuat Drussila merintih dan mengaduh.

Saat matanya terbuka dan kesadarannya mulai pulih, ia pun menyaksikan tubuh Caligula menindihnya. Ia tak sekadar menindih, tapi sedang berlayar menuju puncak kenikmatan. Nampaknya laki-laki itu belum orgasme. Ia masih dalam tahap menuju ke sana.
Drussila mengumpat. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya, agar Sang Kakak menyudahi memperkosanya. Tapi karena pinggulnya dicengkeram tangan dan ditindih di atasnya, maka dua tubuh itu seperti lengket. Pukulan gadis itu tak membuat Caligula undur. Ia sudah setengah perjalanan menuju nirwana. Ia harus meneruskan langkah, mendaki puncak nikmat. Menyetubuhi adiknya.

Saat itulah tangan Caligula yang mencengkeram gadis ini kian mengencang. Tubuhnya mengejang. Dengus nafasnya memburu. Tapi adakah gerakan itu tak menggugah birahi Drussila? Adakah gadis ini tetap marah-marah dan memukul-mukul tubuh Caligula? Ternyata, ketika Caligula meneruskan memainkan irama romantis itu, Drussila juga terpesona. Pukulan tangannya melemah, dan mulutnya menganga.

Dari mulut itu keluar erangan. Bathinnya seperti diaduk-aduk. Ia diamuk badai nafsu. Tangannya lemah terkulai, dan mulutnya mendesis-desis. Malah, tangan yang tadinya memukuli punggung Caligula itu berubah drastis. Tangan itu kini merangkul ketat tubuh kakaknya.

Dengus Caligula meninggi. Ia seperti sedang berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan berat. Setelah itu lama berlangsung, dengan pekikan panjang, laki-laki ini tubuhnya mulai mengejang. Kaku, sebelum akhirnya melemah.

Caligula lunglai, diiringi Drussila. Dengan mesra Caligula menciumi pipi dan leher Drussila. Ia berusaha bersikap biasa-biasa saja. Gadis ini dihadapkan pada perasaan yang rumit. Ia merasa, apa yang barusan dilakukan adalah salah. Tapi tak bisa dipungkiri, ia pun sangat menikmati hubungan yang salah itu. Ia telah melakukan
hubungan seks sedarah (incest).

Melihat Caligula biasa-biasa saja, Drussila pun berusaha untuk bersikap sama. Ia mulai bisa mengendalikan perasaan bersalahnya. Tangannya mengusap lembut rambut Sang Kakak, dan menciumi dengan mesra wajah Caligula.

Gadis ini usianya memang masih muda. Tapi secara psikologis ia lebih dewasa dibanding Sang Kakak. Untuk itu ia lebih tegar dalam menjalani hidup. Dan ia lebih dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang melanda keluarganya.

Mengingat itu Drussila menangis dalam hati. Ia merasa sangat bersalah. Persetubuhan itu sulit untuk diterima. Tetapi di balik itu ia sangat kasihan melihat sikap Sang Kakak. Laki-laki itu amat goyah. Ia bak itik kehilangan induk. Ia amat kehilangan kasih sayang, setelah ayah dan ibunya tiada. Membayangkan itu, tak terasa, sambil mengelus rambut Caligula, ada butiran-butiran halus mengalir dari mata gadis ini. Drussila menangis. Tangis yang amat dalam untuk direnungkan.

Kini ia bimbing tubuh kakaknya yang masih tergolek di atas tubuhnya. Ia baringkan tubuh itu disampingnya. Disapunya sisa-sisa keringat yang masih tersisa di leher laki-laki ini. Dan ia cium keningnya.

Diperlakukan begitu, Caligula bergelenjot mesra. Ia rangkul adiknya. Tak lama kemudian, laki-laki ini tertidur. Ia merasa mendapat kenyamanan. Ia merasakan kedamaian. Ada yang memberinya perlindungan.

Drussila memang harus menjadi segalanya. Ia harus jadi teman bermain, ibu yang menyayangi, dan kekasih yang memberinya kepuasan seks dan membangun romantisme. Sebagai gadis yang belum makan asam garam kehidupan seks, sebenarnya ia belum siap bagian sensitifnya dijadikan mainan. Secara moral hatinya menolak perlakuan itu, karena yang melakukan adalah kakak kandungnya sendiri. Sedang dari hati kecilnya, sebagai gadis normal, ia juga tak bisa memungkiri, ulah kakaknya itu membangkitkan naluriahnya sebagai gadis remaja. Ia terangsang. Nafsu birahinya memuncak.
Saat Sang Kakak tidur lelap, gadis ini berpikir jauh. Ia harus merenung, dan memilih di antara pilihan-pilihan yang sebenarnya tak layak untuk dipilih.

Tapi pagi itu ia telah memantapkan hati. Rasa sayang dan kasihan terhadap nasib kakaknya telah mengalahkan segalanya. Ia bertekad untuk memberikan segala yang diminta Sang Kakak. Tak perduli itu sangat bertentangan dengan berbagai doktrin kebaikan yang ada.(Bersambung)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Kamis, 20 November 2008

ABAD JURNALISME LHER


Persaingan media saat ini mendekati titik awal sekaligus akhir bagi para jurnalis. Harga jurnalis kian tidak ada harganya. Seorang jurnalis bahkan rela tidak mendapat upah selama 3-4 bulan selama dia masih sanggup berekspresi dengan kebebasannya. Beberapa media kecil juga gulung kuming menghadapi ketatnya kompetisi di dunia informasi tersebut. Sebagian malah gulung tikar karena tidak mendapat tempat dalam persaingan.

Sementara sepak terjang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam dunia jurnalis semakin sulit dijangkau teman-teman jurnalis, dalam hal ini media-media kecil. Dalam sekian periodik PWI bukan lagi menjadi organisasi melainkan sebuah institusi negara yang sah. Saya melihatnya aneh saja, sebab media-media di luar negeri sampai saat ini tidak pernah menjadikan keorganisasian jurnalis sebagai institusi. Kalau banyak organisasi-organisasi jurnalis yang berkembang, itu cuma sebatas organisasi biasa, tidak lebih. Pun mereka juga tidak pernah mendeklarasikan diri agar dapat menjadi institusi yang sah. Sebaliknya di Indonesia, PWI justru dianggap sebuah instansi yang menjadi kiblat jurnalis; dielu-elukan dan disanjung-sanjung. Jika ada jurnalis belum menjadi anggota PWI, maka dia belum bisa dibilang jurnalis sejati. Bahkan sebatas sepengetahuan saya, eksistensi PWI semakin besar tapi juga semakin tidak jelas. Adapun ketetapan hukum, tatanan, aturan dan integritas PWI seolah-olah menjadi sesuatu yang wajib ditaati oleh seluruh wartawan se-Indonesia. Haram hukumnya bagi yang melanggar. Benar-benar menyedihkan. Layaknya anak kecil, profesi wartawan selalu dikaitkan sebagai korban kesialan sebuah aturan. Yang menakjubkan, kini PWI tak lagi sendirian. Beberapa orang yang notabene tak puas dengan kebijakan PWI lantas mendirikan organisasi baru sebagai penyeimbang, pendobrak, pembaharu, dan tandingan. Atau kau boleh menyebutnya: penghibur. Sebut saja Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Wartawan Independen (AWI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI), Asosiasi Wartawan Kota (AWK), Federasi Serikat Pewarta, Gabungan Wartawan Indonesia (GWI), Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI), Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA), Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI), Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI), Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI), Komite Wartawan Indonesia (KWI), Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI), Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI), Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI), Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI), Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI), Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK), Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI), Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI), Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS), Serikat Wartawan Indonesia (SWI), Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII).
Yah, setidaknya kini dunia jurnalis tak lagi sepi. Makin banyak organisasi banyak pula bermunculan orang-orang pintar. Tak ayal, independensi pers makin liar saja. Optimisme pers mesti harus ada mengingat iklim keterbukaan dan demokratisasi adalah arah yang mesti dituju bangsa ini di hari-hari mendatang. Walau demikian, tentu kemunculan organisasi jurnalis ini semakin mengukuhkan ketidakpedulian PWI terhadap profesi wartawan sebagai institusi negara yang sah. Bagi para jurnalis-jurnalis non-anggota, menganggap PWI tak ubahnya institusi penghisap darah. Dipakai sekedar untuk gagah-gagahan, penyatu orang-orang inteletual khususnya media-media besar yang memiliki kepentingan, parahnya ketika PWI dijadikan sebagai modal industri. Memang ada ongkos mahal yang harus dibayar insan pers dewasa ini. Persisnya, semenjak era reformasi digulirkan dan membuahkan kebebasan pers–ketika pers yang sejak Orde Baru jadi “pers industri”. Sementara saat ini insan pers mulai menjadi komoditi yang latah, karena setiap orang bisa menerbitkan koran tanpa izin.

Dan, “fenomena amplop” pun semakin mewabah. Istilah jurnalisme Lher pun hadir di tengah-tengah masyarakat sekaligus menjadi sesuatu yang bukan fenomenal lagi, yakni sebuah jurnalisme yang selama ini mendemontrasikan kesan gampangan, main-main–terutama main sana main sini-sikat sana sikat sini, seenaknya (khususnya dalam mengekploitasi kepentingan pribadi demi peruntungan bisnis), memuaskan selera pembaca tanpa mengedepankan substansinya, mengumbar pornografi yang berlebihan demi keuntungan, serta berita bukan lagi menjadi kepatutan tapi sudah menjadi kebutuhan semata. Sebagian kalangan menyebutnya: Inilah abad Jurnalisme Lher.
Para pendidik pers saat ini bisa saja bicara soal filosofi “panggilan hidup” dan “panggilan perut”, sementara tokoh-tokoh dala Dewan Pers boleh bicara mengenai idealisme pers ketika mereka berbicara dalam seminar mengenai Etika Jurnalistik. Mereka dengan sengit berbicara soal kebanggan serta atribut menjadi anggota pers dan konggres demi konggres. Tetapi, pernahkah terpikir oleh mereka, sudah lama majikan pers selalu mengupah wartawan dengan uang segobang sembari bilang (sengaja maupun tidak): “Carilah tambahannya di luar kantor?” Sementara kode etik jurnalis menyebutkan seorang wartawan dilarang menerima amplop–bukannya saya pro wartawan amplop. Sebab saya melihat banyak teman-teman wartawan yang merasakan penderitaan selama menjadi pekerja pers.

Memang, kecilnya gaji seharusnya tak menghalalkan wartawan menggadaikan harga diri untuk menerima apalagi meminta “amplop”. Namun repotnya, di satu sisi wartawan adalah buruh di tepi jalan tapi di lain pihak orang bilang mereka profesional dan idealis. Malah ada yang bilang wartawan termasuk “kelas khusus”. Idealnya, ia adalah agent of modernization, agent of social change, pejuang kebenaran, keadilan dan pembela rakyat kecil yang tertindas. Wartawan seharusnya memiliki wawasan luas dengan banyak membaca dan berdiskusi. Itu memang hanya bisa berarti slogan atau harapan kosong belaka.

Wartawan sendiri kadang tak menyadari hak-hak mereka sebagai “kelas” pekerja alias buruh. Tak berani menggalang solidaritas, apalagi mogok, jika suatu saat hak mereka terabaikan. Apa boleh buat, karena sejak semula mereka bekerja tanpa perlindungan, tak ada ketentuan standar peng-gajian, apalagi asuransi.

Nah, bagaimana jika semua standar kerja dan kode etik sudah diikuti, toh pasien dokter mati atau berita wartawan ternyata salah? Berapa kali para pendidik pers menyuruh kita membolak-balik kode etik jurnalis; mengkaji, mempelajari, memahami, tapi toh kode etik tersebut malah semakin menjerumuskan. Apakah dengan mengikuti prosedur standar dan kode etiknya, seorang dokter dan jurnalis dipastikan dapat menyelamatkan manusia untuk hidup bebas? Apakah dokter yang baik pasti menjamin pasiennya tak akan mati? Apakah wartawan yang baik pasti menjamin khalayak mendapat informasi yang tak terbantahkan? Belum tentu. Pasien mungkin mati dan informasi bisa salah.

Bagi kami keberadaan PWI hanya menjadi institusi negara yang sah tanpa memiliki substansi kuat di dalamnya. Toh, pada kenyataannya PWI tak pernah pro wartawan. Berapa kali teman-teman jurnalis jatuh bangun dalam tuntutan hukum. Seperti halnya kasus majalah Tempo beberapa waktu lalu yang kalah melawan Tommy. Lalu, dimana peran PWI? Saat ini keagungan pers hanya dikotori oleh tangan-tangan orang berkepentingan. Bahkan untuk mendaftar keanggotaan PWI, kata teman saya, sekarang ini kita tinggal menyogok maka esoknya kita sudah masuk keanggotaan. Idealisme pers masa kini sudah hilang. Bobrok. Rusak. Hancur.

Namun demikian masih banyak orang yang yakin dunia pers (kelak) akan menjadi komunitas yang seperti kata orang benar-benar “kelas khusus”. Hanya saja kapan, itulah yang sekarang ini masih diperjuangkan teman-teman pers. Memang untuk merubah image pers dari kesan gampangan atau jurnalisme Lher (julukan pers masa kini) menjadi kelas khusus, modernisasi agensi dan atau pejuang kebenaran, tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Dalam hal ini semua pihak harus turun tangan untuk memperjuangkannya. Tidak dalam sehari, sebulan, atau setahun, tapi butuh waktu lama bahkan bertahun-tahun agar idealisme pers kembali dipercaya masyarakat seperti tempo dulu. Dan tentunya perubahan ini juga diharapkan kalangan pers agar dibarengi dengan kesejahteraan setiap personal. Semoga, yah, semoga saja.

SUDAH SAATNYA INDONESIA MENGGUGAT MEDIA


Saat ini media sedang digugat. Indonesia yang menggugat. Judulnya: INDONESIA MENGGUGAT MEDIA. Memasuki era reformasi, kini, media seolah disulap menjadi raja segala diraja. Peran media menjadi penentu perkembangan jaman. Yang baik tentu yang mampu membangun bangsa, yang jelek malah sebaliknya. Banyaknya berita-berita peristiwa–dari kecil hingga besar–membuat tayangan tidak tersaring dengan apik. Bahkan terkesan menjerumuskan. Para pengguna informasi ini juga merasa berhak untuk memberi kritik, saran, dan masukan. Seba selama ini peran media sudah kebablasan. Kurang tegasnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memantau gerak-gerik media membuat sebagian orang risih.

Selama ini masyarakat Indonesia selalu disuguhi tontonan penuh kesombongan dan kebanggan diri media, khususnya media elektronik yang memiliki kedekatan dengan pemirsa karena kemudahan memperoleh informasi. Tayangan-tayangan yang tidak layak–kendati sifatnya straightnews (peristiwa), seharusnya memiliki batasan-batasan tertentu. Berita-berita tentang kebrutalan seperti pembunuhan, pemusnahan massal, perampokan, pencurian hingga tawuran massal yang baru-baru ini kita saksikan, acapkali menyudutkan serta merugikan penonton. Tentu saja hal ini nantinya dapat memicu tindakan-tindakan seporadis yang (mungkin) dapat diikuti atau ditiru.
Sebagai contoh, berita-berita Ryan “Penjagal Manusia” selalu diekspos secara besar-besaran. Dia seolah-olah dijadikan selebriti dadakan untuk melariskan bisnis media. Cara Ryan memutilasi ini pada akhirnya ditiru oleh seorang di Bali yang membunuh korbannya dengan cara memutilasi pula. Ketika ditanya alasannya, dia menjawab ringan saja: Saya melakukannya karena meniru adegan mutilasi Ryan.

Kejadian ini tidak cukup sampai di sini. Kasus eksekusi tiga terpidana mati bom Bali I sempat menjadi berita terheboh bulan ini. Bahkan, hampir semua media menayangkan beritanya. Para redaksi media cetak–koran harian dan mingguan, tabloid dan majalah–saling berlomba mencari angle (sudut pandang) yang bagus untuk melariskan medianya. Paling gencar media elektronik. “Para pemusnah massal” tersebut mendadak dijadikan pahlawan spesial bagi televisi, yang seolah korban-korbannya di Bali adalah semua sampah masyarakat yang perlu dibumi hanguskan. Sampai-sampai seorang anak kecil sempat bertanya kepada orang tuanya karena tayangan yang sering ditontonnya. Begini katanya: Benarkah jika orang itu membunuh puluhan jiwa akan menjadi pahlawan? Pertanyaan ini tentu bukan menjadi tanggung jawab orang tua, tapi juga media sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk meluruskannya.

Yang menyedihkan, sebuah televisi swasta malah membentrokkan pemberitaan tentang perasaan keluarga terpidana mati menghadapi detik-detik eksekusi dengan perasaan korban atau keluarga korban bom Bali I. Pihak media memberi alasan sepele; bukankah sebuah tayangan atau pemberitaan itu harus memiliki keberimbangan berita? Retorika ini tentu ada benarnya bila dilihat dalam kacamata jurnalis. Tetapi bukankah masyarakat juga berhak menuntut berita berimbang yang bagaimanakah yang layak tayang, jadi bukan sekedar berita berimbang yang asal-asalan demi meningkatkan rating, sementara di sisi lain justru merugikan orang banyak, terutama pihak narasumber.

Pada kenyataannya beberapa berita memang sudah memenuhi kelayakan sebagai sebuah informasi, namun tetap saja sebagian pihak sangat menyayangkan pemberitaan semacam itu. Mereka menganggap berita-berita kebrutalan yang menampilkan tokoh-tokoh, dalam hal ini tokoh antagonis seperti Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, tidak layak untuk konsumsi publik. Kecuali jika memang sifatnya murni informasi tanpa dibubuhi dramatiasi yang berlebih, mungkin hal itu masih dalam batas kepatutan.

Tayangan kebrutalan lain yang baru-baru ini gencar diperbincangkan adalah maraknya tawuran antar mahasiswa. Sebagai seorang intelektual, bukan sepantasnya mahasiswa saling beradu fisik. Bahkan diberitakan akibat tawuran tersebut seorang mahasiswi meninggal dunia setelah mendapatkan serangan jantung saat kampusnya diserang mahasiswa dari kampus lain. Tayangan kebrutalan ini sangat tidak patut. Sebab hanya akan memberi keluasaan kepada pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk kemudian melakukan aksi-aksi yang lebih parah. Menjadikan mereka seorang jagoan. Bahwa mahasiswa tanpa perkelahian adalah kuno. Mereka menganggap dunia pendidikan seharusnya menjadi ajang perkelahian bergengsi kawula muda. Yang kemudian kebrutalan-kebrutalan semacam ini menjadi sebuah fenomena yang hukumnya wajib diikuti. Dan, semua itu gara-gara pemberitaan di media.

Anehnya, meski beberapa pihak sangat geram dengan berbagai pemberitaan media, tapi mereka tak sanggup untuk mengoceh. Hal ini dikarenakan terbatasnya ruang gerak bagi mereka untuk bersuara di hadapan media. Akhirnya, tuntutan Indonesia pun membisu dalam ketidakpastian. Sementara pihak media, dalam hal ini yang menjadi tergugat, seolah tidak merasa salah. Bahkan pengusaha media tidak pernah merespon kebutuhan masyarakatnya (pemirsa) karena dia cuma sibuk memikirkan bisnis ratingnya. Pun saat dipertemukan dalam satu ruangan bersama para praktisi dan akademisi, lagi-lagi media selalu menyangkal kekurangannya dan menganggap diri merasa benar. Alasan paling sederhana yang selalu dilantunkan media, mereka menganggap bahwa semua berita sifatnya informasi, mengingat fungsi media itu sendiri adalah sebagai informasi, pendidikan, hiburan dan kontroversi.

Kalau ujung saraf selalu menjadi utama dalam menangkal tuntutan, maka yang terjadi, media bukan lagi menjadi idealisme melainkan sudah mendekati arogansi. Jujur, padahal kalau mau tahu bahwa kebanggan serta kesombongan sebenarnya cermin kelemahan diri, kelompok dan golongan, serta negara. Sebaliknya mengharapkan pujian selalu lebih sulit. Yang ada dalam persediaan untuk pujian hanya satu jenis: terima kasih. Buntut pujian adalah kritik pedas atau permohonan yang mengiba-iba, tergantung pada permukaannya. Makin tinggi pujian yang diinginkan, makin tajam pula buntutnya. Tapi terhadap hinaan adalah tantangan sebuah otomat dalam diri dimana akan menghasilkan segala macam tanggapan, sikap, dan tindakan, yang terkemas dalam sederetan kata. Sekali waktu ada waktunya media harus menumbangkan prinsipnya atau mengalah demi orang banyak.

Kini, masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan peran media di era reformasi. Sudah saatnya Indonesia menggugat media dan menjadi pengadilan tertinggi bila mendapati media nakal dan senang melakukan pelanggaran. Jika melalui suara kita tidak sanggup mendobrak media, kita bisa mengawalinya dari diri sendiri, yakni dengan mematikan tayangan-tayangan televisi yang berbau porno, brutal, dan sadis. Atau, jika itu media cetak, kita tidak perlu membeli koran-koran yang menerbitkan berita-berita “tidak berimbang”. Nah, sekaranglah saatnya Anda menjadi juri sekaligus hakimnya.

Selasa, 18 November 2008

JANCUK


Mengapa, “Jancuk” kok menjadi sebuah judul buku, sesungguhnya Jancuk itu kata-kata makian, sekaligus sapaan akrab bagi orang yang sudah dikata Surabaya tulen. Ada yang menyebutnya kata Jancuk itu adalah slanknya Surabaya.
Buku ini berisikan puisi dan guratan-guratan pikiran, dari seorang-orang yang melihat pentingnya dan pengakuan kehidupan. Buku ini mengimpun karya creator muda. Kalau cermat dilihat penulisnya kebanyakan alumnus dari perguruan tinggi yang bercongkol di kota Jember. Kata Jancuk diambil, mungkin karena dianggap mampu menggambarkan ekspresi para penulisnya.

ANEH…..JANGKRIK KOK JADI JUDUL BUKU


“Polah tingkah”, seorang yang cerdas selalu menghasilkan kreasi yang atraktif, setidak-tidaknya mampu memperkosa pikiran orang lain.
Ini juga salah satu “polah tingkah” seorang-orang bernama, Jalu Suwangsa, kreatifnya tidak “ketulungan”, orang tidak bisa hanya berkata, “hebat”, tapi “Heeeeebaaaat”, itu pun masih ditambah dengan “banget”, belum cukup, harus ditambah lagi kata, “banget sekali”.
Judul buku yang digarap adalah “jangkrik jliteng’, diposisikan sebagai Bacaan Laki-laki Dewasa. Dengan label khusus untuk laki-laki dewasa, justru menarik pembaca yang bukan laki-laki, bahkan anak kecil yang belum dewasa ingin tahu dalamnya.
Ternyata yang dibahas Mas Jalu, adalah barangnya orang laki-laki, bahasa “suroboyoan’ membahas “seputar gentalo”. Tentunya ini kategori buku aneh, oleh karenanya merupakan kewajiban stasion ini untuk mempersilahkan mampir.
Tentunya tidak akan dibahs tuntas di sini, disamping mencundangi penerbitnya, ya,…takut dengan Pak Menteri Infokom.
Detil buku
JUDUL: Jangkrik Jliteng [Ora kayaa, jebul dudu apa-apa]
PENERBIT: Kepel Press, Yogyakarta Purwangan PAI/551 Yogyakarta. Teelp. [0274] 889778. E-mail: kepelcom@yahoo.com
ISBN: 979-9523-06-0
CETAKAN : Pertama, Juli 2005
HALAMAN : 124 hlm

GAULI ISTERIMU DARI ARAH SESUKAMU


Buku ini terkategori aneh, karena judul dan isinya tidak siginifikan. Judulnya sangat “bombastis,” namun isinya “agamis”.
Kemungkinan karena balutan bisnis, dipilih judul yang menarik sehingga buku akan terjual laris manis.
Isi buku ternyata membeberkan sebuah pedoman Islami dalam menggauli seorang isteri.

Senin, 17 November 2008

JAMUS KALIMOSODO


Papat kalima pancer merupakan sebuah wacana yang perlu terus kita gali dan kita renungkan plus bertukar fikiran dengan orang-orang tua kita yang sudah mumpuni baik dari ilmu tahid dan ilmu rasanya. Menurut petunjuknya papat kalima pancer itu pusatnya ada di PANCER (yaitu lubuk hati yang paling dalam) dan PAPAT-nya adalah unsur-unsur ilahi yang kita sendiri hak untuk mendapatkannya. Karena dengan menggunakan PAPAT itu kita bisa selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai penguasa alam semesta ini.

Papat yang pertama adalah nur-nya Allah (Nurullah=Cahaya dari Allah) bias dari asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah, tanda dari PANCER-nya yaitu dalam segala sesuatu/ gerak gerik selalu BERSERAH DIRI kepada Allah dan pengakuan kita sebagai mahluknya merasa tiada daya secara ruhani dan tiada kekuatan secara jasmani kecuali hanya Allah yang memberikan gerah hidup dan kehidupan, dan berupaya untuk selalu meng-ibadahkan segala sesuatu untuk BERIBADAH kepada Allah memohon Ridho Allah, Rahmat Allah.

Papat yang kedua adalah NUR MUHAMMAD (cahaya syafa’at yang Allah cipta untuk Hambanya (Rasulullah) yang Allah mulyakan. setelah kita berserah diri kepada Allah lewat PANCER (lubuk hati yang paling dalam) ada sebuah kelembutan sebagai sebuah rahmat yang Allah berikan kepada mahluknya agar kita tunduk dan lemah lembut kepada Allah, selalu merasa sayang kepada apapun dan siapapun sebagaimana Rasulullah mempunyai perangai yang lembut dan berahlak mulia bagi semua mahluk.

PAPAT yang ketiga yaitu MALAIKAT sebagai kendaraan untuk membawa NURULLAH dan NUR MUHAMMAD tadi kedalam diri kita pada waktu kita berserah diri kepada Allah dan mengibadahkan segala sesuatu hanya untuk Allah dan fungsi malaikat ini untuk membantu memintakan permohonan ampun mendoakan kepada kita sebagai mahluk yang lemah, banyak berbuat dosa (karena manusia tempat salah dan lupa) dan nominal mereka tidak sedikit mendukung kita dalam beribadah kepada Allah.

PAPAT yang ke empat
adalah KAROMAH yaitu berisi doa-doa dari para orang sholeh terdahulu (doa dari para Rasul-rasul, Nabi-nabi, dan para Auliya serta Sholihin yang telah mendahului kita) yang oleh allah diberikan kesempatan untuk membantu mendoakan segala hajat hidup kita dalam mengarungi kehidupan didunia sebagai bekal ibadah nanti kita setelah meninggal (akhirat).

Semoga Allah mengampuni kedua orang tua kita, keluarga kita, mengampuni kita, dan orang-orang yang mempunyai hak dan kewajiban atas kita yang seiman serta mengampuni sesepuh-sesepuh kita. Semoga Allah memberikan Taufiq dan hidayah kepada kita dan mereka dan semoga kita dan mereka semua dijadikan golongan dari hamba-hamba Allah yang sholeh.

ADABEBERAPA VERSI yang menginterpretasikan JAMUS KALIMOSODO.

1. ada yang menginterpretasikan 2 kalimah syahada

2. ada yang menginterpretasikan lahirnya pancasil

3. ada yang menginterpretasikan tokoh pewayangan pandawa lima, apakah semua nya salah? tentu tidak…karena cara pandang setiap orang tidaklah sama.

Hal yang terpenting adalah jangan sampai kita kehilangan ISI/makna dari Jamus Kalimosodo sebagai orang yang berpengertian jawa yang mendapatkan warisan dari leluhur Jawa, pengertian jamus kalimusodo secara singkat adalah:

Istilah jamus kalimosodo terdapat dalam kisah pewayangan baratayudha, suatu jamus/surat yang ada tulisannnya tentang pengertian/kawruh. “barang siapa mendapat kawruh ini ia akan menjadi raja/mempunyai kekuasaan yang besa. kitab ini dimiliki oleh prabu yudistira(samiaji) yang selalu menang dalam peperangan dan akhirnya masuk surga tanpa kematian…memiliki dalam hal ini adalah bukan saling berebut tetapi saling berebut memiliki makna.

Arti Kalimasada terdiri dari beberapa bagian:

Ka= huruf/pengejaan Ka, Lima=angka 5, Sada= lidi/tulang rusuk daun kelapa yang diartikan Selalu, Jadi kelima ini haruslah utuh(selalu 5), Kelima unsur kalimasada teridiri dari:

1. KaDonyan(Keduniawian).
ojo ngoyo dateng dunyo yang arti singkatnya adalah jangan mengutamakan hal-hal yang bersifat duniawi, kebutuhan duniawi kita kejar tapi jangan diutamakan.

2. Ka Hewanan ( sifat binatang).
ojo tumindak kaya dene hewan, cotoh:asusila. amoral, tidak beretika dll.

3. KaRobanan.
Ojo ngumbar hawa nafsu yang arti singkatnya jangan memelihra hawa nafsu…nafsu itu harus dikendalikan.

4. Kasetanan.
Ojo tumindak sing duduk samestine yang arti singkatnya jangan bertindak yang tidak semestinya alias gengsi, sombong( ingin seperti Gusti), menyesatkan, berbuat licik dll.

5. KaTuhanan.
artinya kosong

Gusti Allah iku tan keno kinoyo ngopo nanging ono yang artinya Gusti Allah tidak dapat diceritakan secara apapun tapi toh ada. Gantharwa adalah salah satunya yang diberikan “pusaka” mewarisi warisan dari leluhur Jawa. Pengertian Asli dari jamus kalimosodo diatas adalah isi murni dari pengertian sebenarnya..setiap orang boleh membungkusnya dengan bungkus apapun tetapi jangan sampai kehilangan makna aslinya, karena pengertian diatas adalah pengertian sebenarnya dari jamus kalimusodo.

NGELMU KYAI PETRUK

Kuncung ireng pancal putih,
Swarga durung weruh,
Neraka durung wanuh,
Mung donya sing aku weruh,
Uripku aja nganti duwe mungsuh.

Ribang bumi ribang nyawa,
Ana beja ana cilaka,
Ana urip ana mati,
Precil mijet wohing ranti,
Seneng mesti susah,
Susah mesti seneng,
Aja seneng nek duwe,
Aja susah nek ora duwe.

Senenge saklentheng susahe sarendheng,
Susah jebule seneng,
Seneng jebule susah,
Sugih durung karuan seneng,
Ora duwe durung karuan susah,
Susah seneng ora bisa disawang,
Bisane mung dirasakake dhewe.


Kapiran kapirun sapi ora nuntun,
Urip aja mung nenuwun,
Yen sapimu masuk angin tambanana,
Jamune ulekan lombok,

Bawang uyah lan kecap,
Wetenge wedhakana parutan jahe,
Urip kudu nyambut gawe.

Pipi ngempong bokong,
Iki dhapur sampurnaning wong,
Yen ngelak ngombea,
Yen ngelih mangana,
Yen kesel ngasoa,
Yen ngantuk turua.

Pipi padha pipi,
Bokong padha bokong,
Pipi dudu bokong,
Onde-onde jemblem bakwan,
Urip iku pindha wong njajan,
Kabeh ora bisa dipangan,
Miliha sing bisa kepangan,
Mula elinga dhandhanggulane jajan.

Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji,
Le ngaji nyang be jadah,
Gedang goreng iku rewange,
Kepethuk si alu-alu,
Nunggang dangglem nyengkelit lopis,
Utusane tuwan jenang,
Arso mbedhah ing mendhut,
Rame nggennya bandayudha,
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji,
Patinira kecucuran.

Ki Daruna Ni Daruni,
Wis ya, aku bali menyang Giri,
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi,
Lho ratu kok kadi pak tani?,

Sumber: buku Air Kata-Kata, karangan Sindhunata.

SEJARAH BENDERA MERAH PUTIH


Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah putih bagi Bangsa Indonesia. Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.

1. Menurut sejarah, Bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.

Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.

Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.

2. Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut Nekara Bulan Pajeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.

Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.

Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.

Pada abad XIX tentara napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.

Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.

Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.

Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.

3. Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur , dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.

Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.

4. Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.

5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.

6. Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.

7. Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian juga di lereng – lereng gunung dan desa - desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah - putih. Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.

Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.

Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.

Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :

Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.

Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.

Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.

Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.

Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.

Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.

Jumat, 14 November 2008

Wawancara Imaginer Bersama Roh 3 Terpindana Mati Bom Bali I >> “DISKUSI MASUK SURGA”


Hebohnya eksekusi mati tiga terpidana mati Bom Bali I; Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, menyisakan banyak pertanyaan sebagian pihak. Kelompok-kelompok moderat kerapkali menafsirkan kematian mereka tidak syahid. Sementara kelompok garis keras (Islam radikal) menganggap ketiganya mati sebagai syuhada. Soal itu tentu urusan Yang Di Atas. Manusia punya akal untuk berpikir, tapi Tuhan yang menilai.

Di sini saya tidak membahas mengenai berbagai julukan yang disematkan kepada mereka. Saya cuma ingin mengetahui sampai sejauh mana perjalanan ketiga terpidana mati Bom Bali di alam baka sana. Tentu saja ini sekedar wawancara imaginer yang selalu merasuki daya pikir (alam bawah sadar) saya sebagai jurnalis. Tanpa melibatkan integritas kebenaran yang ada, semua wawancara ini sifatnya fiktif belaka, tentunya agar sekiranya kau dapat menerimanya sebagai versi saya.

Saat ini saya sedang berada di alam kubur. Hal ini saya lakukan mengingat sebagian orang telah menganggap kuburan ketiga “syuhada” mampu mendatangkan kemujuran. Sebagian peziarah datang dan pergi sambil membawa tanah kuburan untuk jimat. Tak heran jika di sekelilingnya timbul kecemasan, tak terkecuali keluarga ketiga mantan terpidana mati tersebut. Adanya sebagian orang yang datang ke makam membuat saya merasa harus meluruskan segalanya. Maka, saya pun masuk jauh menembus ke liang lahat ketiga terpidana. Di situ saya pun mendapati ketiganya sedang duduk-duduk membahas sesuatu yang (menurut pengamatan saya) penting. Dilihat dari keadaannya tampaknya mereka baik-baik saja. Awalnya saya beruluk salam.

Saya: Assalamualaikum…!!!

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Waalaikumsalam…!!! (berbarengan).

Amrozi: Allahuakbar! (sambil mengepalkan tangannya).

Mukhlas: Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! (tiga kali takbir).

Imam Samudera: Allahuakbar! (menyambut kata-kata temannya).

Saya: Bagaimana kabarnya?

Amrozi: Alhamdulillah baik-baik saja.

Imam Samudera: kami sedang membahas keadaan di negara baru ini. Silahkan masuk!

Mukhlas: Dari mana, Mas?

Saya: Saya dari Surabaya. Saya ke sini mau wawancara Anda bertiga.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Silahkan, Mas. Oh iya, kalau boleh tahu Mas ini dari koran apa? (ketiganya menjawab hampir bersamaan).

Saya: Dari media Jejak Manusia.

Imam Samudera: Wah, bagus benar namanya. Berarti Mas ini selalu meliput segala berita yang bersangkutan dengan jejak atau perjalanan manusia. Apa itu termasuk yang sudah meninggal?

Saya: Iya.

Mukhlas: Trus jabatan Mas ini apa?

Saya: Reporter. Hanya saja saya bagian meliput mereka yang sudah tiada. Dulu saya juga pernah meliput Raja Iblis lho.

Amrozi: Wah, hebat tuh! Terus sekarang apa yang hendak Anda tanyakan!

Saya: Begini, saat ini di alam fana Anda bertiga dianggap sebagai syuhada. Bagaimana perasaan Anda?

Imam Samudera: Ah, biasa aja, itu hanya perasaan mereka saja.

Amrozi: Alhamdulillah (manggut-manggut, sambil memegangi jenggotnya)

Mukhlas: Itu terserah anggapan orang, Mas!

Saya: Tapi apa Anda tidak merasa bertanggung jawab terhadap keimanan mereka. Sebagian dari mereka telah musyrik. Ada yang menganggap Anda pahlawan yang mendatangkan kemujuran kemudian mengambil tanah di pekuburan Anda dan menjadikannya ajimat.

Amrozi: Wah, wah kalau itu jangan sampai deh.

Imam Samudera: Iya, yang patut disembah hanya Allah. Tiada selain Dia.

Mukhlas: Kalau saja kami bisa hidup lagi kami pasti akan mencegah mereka. (kata-kata Mukhlas ini diikuti anggukan Imam S dan Amrozi)

Saya: Bagaimana menurut Anda tentang eksekusi kemarin?

Mukhlas: Tidak ada yang perlu dibahas lagi, Mas!

Imam Samudera: Iya, karena hal itu tidak ada gunanya. Lagipula kami sudah pindah alam.

Amrozi: Sekarang yang kita pikirkan adalah perjalanan kita berikutnya.

Saya: Setelah ini Anda mau kemana?


Amrozi, Imam Samudera, Muklas:
Perjalanan kami masih panjang, Mas. Insya Allah, kami juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan kami kepada Yang Di Atas.

Saya: Menurut Anda apakah perbuatan kali mengebom Bali dibenarkan?

Amrozi: Allahuakbar! (kembali mengepalkan tangan)

Imam Samudera: Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Muklas: Allahuakbar! (mengikuti takbir sahabat-sahabatnya)

Saya: Anda selalu menyebut Allahuakbar, apakah Anda sudah menemuinya.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (ketiganya saling pandang-pandangan)

Amrozi: Kita harus yakin bahwa Allah selalu ada di hati kita.

Imam Samudera: Allah tidak pernah meninggalkan kami.

Mukhlas: Dia selalu di sisi kami. Apapun yang kami lakukan semua itu demi Allah.

Saya: Tapi bukankah orang-orang di Bali yang menjadi korban peledakan Anda juga makhluk Allah. Bisa saja berarti Anda juga melukai Allah!

Muklas: Itu hanya pendapat, Mas!

Saya: Yang benar gimana?

Amrozi: Yang kami tentang adalah Amerika. Kaum zionis. Yahudi. Kafir.

Imam Samudera: Mereka semua kafir. Allahuakbar! (sekali lagi gema takbir meraung-raung di alam kubur).

Saya: Bukankah yang menilai kafir dan tidaknya adalah Allah. Anda kan manusia. Bagaimana Anda bisa menilai manusia itu salah dan benar?

Amrozi: Lihat saja Rasulullah.

Saya: Emangnya kenapa dengan Rasul?

Mukhlas: Rasulullah adalah makhluk Tuhan paling suci di muka bumi ini. Dan itu bisa dilihat dari akhlaq beliau.

Imam Samudera: Akhlaq beliau sungguh mulia. Tiada seorang pun makhluk yang mampu menyamainya.

Saya: Korelasinya dengan pertanyaan saya tadi?

Amrozi: Itu artinya benar dan salah bisa dilihat, bisa dinilai. Tidak perlu harus menunggu perintah Allah. Semua sudah tersebutkan dalam kitab suci.

Saya: Apakah dengan melukai sesamanya juga termasuk dalam kitab?

Mukhlas: Itu jihad namanya.

Saya: Tapi jihad kan tidak perlu harus melukai, bahkan membunuh!

Imam Samudera: Anda ini wartawan kok ngeyelan. Yang namanya jihad itu harus dilakukan dengan tindakan. Kalau lewat omongan tidak berhasil, maka jalan satu-satunya adalah tindakan.

Saya: Lho, lho, kenapa Anda harus marah!

Mukhlas: Bukan marah, kami hanya menjelaskan saja. Sebab Anda orangnya ngeyelan sih!

Saya: Lho bukannya itu tugas saya sebagai wartawan.

Amrozi: Sudah tidak perlu dibahas lagi. Sebab itu sudah masa lalu.

Saya: Tuh kan, Anda emosi lagi. Ini kan wawancara imaginer. Kenapa Anda harus marah. Lagipula Anda bertiga sudah mati. Jadi tak ada yang perlu disesali lagi. Seharusnya yang berhak emosi adalah saya. Sebab saya masih hidup, dan saya masih memiliki nafsu untuk marah. Sebaliknya, Anda kan hanya roh. Masa roh bisa marah.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (Ketiganya menunduk malu).

Saya: Anda yakin setelah ini akan masuk surga?

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (Ketiganya tidak menjawab)

Saya: Lho kok diam saja.

Amrozi:
Kami belum ketemu Mungkar dan Nakir.

Imam Samudera: Iya, makanya kami sekarang sedang mencari mereka. Kiranya apa yang hendak ditanyakan oleh mereka ya…

Muklas: Mungkin mereka takut dengan kami, atau tidak sudi menemui kami.

Saya: Bagaimana seandainya Anda dimasukkan neraka?

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Wallahua’lam.

Saya: Mungkinkah Anda akan menuntut?

Amrozi: Bisa iya, bisa tidak.

Saya: Kok jawabannya tidak yakin.

Imam Samudera: Makanya sekarang ini kami sedang membahas itu. Yang jelas tujuan kami adalah surga.

Saya: Untuk ke sana Anda harus menghindari Malik.

Mukhlas: Iya, itu rencana kami. Sedianya kami memang hendak menemui Ridwan agar diijinkan masuk surga.

Saya: Kalau gitu saya doakan semoga cita-cita Anda terwujud.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Amin.

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI --- CALIGULA


Caligula memerintah kerajaan Romawi hanya singkat, dari tahun 37-41 Masehi. Namun begitu, kaisar ini amat terkenal. Itu karena sang raja merupakan sosok yang bengis dan keji. Gampang membunuh dan suka melakukan petualangan seks. Jika ada pengantin baru perempuannya diperawani Sang Kaisar, sedang pengantin laki-lakinya disodomi dengan amat kasar. Yang lebih mencengangkan, adik perempuannya sendiri juga dijadikan budak nafsu. Di tahun 80-an kisah Caligula pernah diangkat dalam sebuah pagelaran di New York, dan terjadi kegemparan di negara demokrasi. Itu bisa dipahami, karena semua pemainnya telanjang bulat. Mereka melakukan adegan seks gila-gilaan. Dari oral seks, heteroseks, anal seks, sampai yang dikenal sebagai bestiality. Mencari kepuasan melalui penyiksaan alat vital.

Ada masa seks dipuja dan dijadikan simbol kekuatan. Dalam catatan sejarah, kisah seperti itu salah satunya terjadi di kerajaan Romawi kuno. Lingga dan yoni dijadikan sarana pemujaan. Dan dari penyatuan kemaluan laki-perempuan itu dipercaya mendatangkan kekuatan. Seks sebagai sumber energi.

Kerajaan Romawi kuno memang melakukan ritual penyembahan seperti itu. Akibatnya, raja yang dipercaya sebagai keturunan dewa, dikelilingi gadis-gadis muda yang cantik jelita. Mereka harus melayani kebutuhan seksnya yang tinggi. Dan para gadis itu wajib mendalami berbagai gaya bercinta untuk memuaskan Sang Raja.

Tak cuma itu. Istana sebagai pusat titah juga diberi simbol-simbol lingga (kemaluan laki-laki) dan yoni (kemaluan perempuan). Tujuannya agar memberi vibrasi kekuatan bagi penghuni istana, yaitu para raja dan keluarganya, serta para menteri yang menjalankan titah raja.
Untuk itu, segala sudut istana dikerumuni para dayang bugil yang siap memberi servis raja. Dan yang mengerikan, tiap ruang dipajang aktifitas seksual. Dari wanita yang melakukan masturbasi dengan kayu yang dibentuk lingga, dari laki-laki yang melakukan onani untuk diambil dan ditampung spermanya, sampai pembunuhan keji dengan menancapkan kayu di kemaluan wanita atau payudaranya, atau laki-laki yang dirusak penisnya.

Pemandangan yang membangkitkan birahi sekaligus kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala kerajaan ini diperintah Caligula. Kaisar ini penderita psikopat. Ia bengis dan kejam. Ia juga hiperseks yang ngawur.

Betapa tidak. Adiknya sendiri disetubuhi. Ia senggamai istri temannya. Ia perawani tiap gadis yang mau dikawinkan, dan ia gelar pesta seks saban pekan. Saat itulah kaum homoseks dan lesbian pestapora. Mereka melakukan persetubuhan massal bersama para heteroseks di kerajaan ini.

Puncaknya, ketika para petinggi kerajaan ini terus menggelar pesta, kerajaan pun mengalami devisit keuangan. Apa solusi raja untuk menutupi operasional kerajaan? Ini yang cukup mengejutkan; istri dan putri para menteri serta senat dilego.

Wanita-wanita itu dijual bebas. Hanya dengan lima keping emas, putri dan istri pejabat terhormat itu bebas diapakan saja. Digagahi secara heteroseks, disodomi, atau disuruh melakukan oral seks dan masturbasi.

Kebijakan yang gila-gilaan ini berakhir tragis. Harga diri para pejabat tinggi itu merasa diinjak-injak. Mereka akhirnya bersekongkol untuk membunuh Caligula. Dalam satu kesempatan, secara bengis para pejabat yang telah kehilangan harga diri itu membunuh Caligula, istri, serta anaknya yang masih kecil.

Kekasih Temannya Diperkosa
Kisah Caligula ini bermula saat ia masih menjadi pangeran. Ia hidup di kerajaan Romawi yang diperintah Tiberius, kakeknya. Sang Kakek sangat otoriter dan keji. Selalu curiga dengan siapa saja, termasuk dengan anak dan cucu-cucunya. Itu pula yang menjadikan ayah dan ibu Caligula mati terbunuh.

Caligula punya teman bernama Macro. Laki-laki itu berperawakan besar, ganteng dan punya loyalitas tinggi. Dialah yang selalu melindungi Caligula dari berbagai ancaman. Baik dari keluarga sendiri maupun dari luar istana.

Suatu hari Macro berkenalan dengan gadis cantik yang bernama Ennia. Ia merupakan dara yang menonjol karena wajah dan pergaulannya. Macro terpana asmara. Ia tertarik gadis ini, dan selalu mencari kesempatan agar bisa berdekatan.

Nampaknya, Macro tak bertepuk sebelah tangan. Ennia yang tubuhnya selalu dibalut kain tipis tanpa penutup buahdada itu menyambut cinta laki-laki yang menjadi pengawal istana tersebut. Mereka pun bercinta. Keduanya merasakan tubuhnya seperti melayang di awang-awang. Pun keduanya telanjang berangkulan di sudut benteng.

Saat itu bulan sedang bersinar penuh. Di sudut benteng istana, Ennia dan Macro sama-sama telanjang sehabis bersebadan. Mereka telentang, merentang tangan, dan membiarkan semilir angin membuainya ke alam impian.

Tapi di keremangan malam, sesosok bayangan berkelebat. Tubuhnya agak ramping. Bergerak dari satu pohon ke pohon yang lain. Di dekat dua manusia bugil yang tertidur pulas itu, sosok ini mendekat. Tangannya merayapi tubuh Ennia. Ia menciumi seperti bayi. Ennia membiarkan. Ia mengira yang melakukan rangsangan itu adalah kekasih tercintanya, Macro.

Birahi gadis ini kembali memuncak. Tatkala itu sudah terjadi, maka dengan sekali sentak laki-laki ini pun melakukan serangan mendadak. Akibatnya Ennia tak mengalami rasa nikmat, tetapi justru kesakitan. Ia menjerit keras. Darah mengucur dari kemaluannya, dan Macro yang tertidur disamping gadis ini terbangun.

Macro bangkit hendak memukul laki-laki yang memperkosa pacarnya. Tapi ketika ia tahu siapa laki-laki telanjang yang ada di atas tubuh Ennia, maka Macro pun melemah. Ia jongkok dan menyembah. Lirih ia berkata, "Silakan teruskan Pangeran."

Macro kemudian membisiki kekasihnya itu, dan menyuruh Ennia untuk memberikan pelayanan yang baik. Macro membantu merangsang pacarnya. Ia juga membantu memegangi Ennia, dan membiarkan sosok pemerkosa itu untuk memuaskan hasrat seksnya pada gadis ini.

Tapi siapakah pemerkosa yang beruntung itu? Jangan kaget, dialah Caligula, Pangeran dari kerajaan Romawi.

Caligula terkapar lemas. Ia membiarkan tubuhnya telentang bugil. Di dekatnya, Macro duduk menjaganya. Sedang Ennia, mau tak mau gadis ini harus melayani nafsu seks dua orang itu. Dan untuk itu, ia harus bekerja ekstra keras lagi.

Bahkan saat tubuh Ennia menegang, gadis ini juga dipaksa untuk melakukan oral seks. Padahal, kalau Ennia sendiri belum berpengalaman. Namun mau dikata apa, dalam kondisi seperti itu, hasrat Ennia harus dipaksakan keluar. Dan ketika permainan sudah mencapai puncaknya, Ennia dipaksa untuk menelan sperma kedua laki-laki yang haus seks tersebut.

Setelah permainan usai, Caligula bangkit. Ia menciumi Ennia. Setelah itu ia rangkul Macro, seperti mengucapkan terima kasih atas pengertiannya. Dengan rasa hormat kekasih Ennia menundukkan kepalanya.

Angin Nakal Telanjangi Drussila
Setelah peristiwa itu, nasib Caligula mengambang. Bukan karena perkosaan yang dilakukannya terhadap Ennia, tapi semata karena tabiat raja Tiberius, kakek Caligula yang sinting.

Kesintingan raja itu membawa korban. Ayah Caligula, Humanikus, mati terbunuh. Juga ibu dan beberapa saudaranya yang lain. Yang tersisa akhirnya tinggal Caligula dan adik perempuannya yang cantik, Drussila.

Sejak itu Caligula keluar istana. Ia meninggalkan Macro, teman akrabnya yang menjadi orang penting istana, Ennia, gadis yang habis diperkosanya, serta para gundik yang selama ini memberinya kepuasan seksual.

Caligula bersama Drussila, adiknya yang cantik, tinggal di sebuah puri yang jauh dari kerajaan Romawi. Puri itu amat indah dan tenang. Suasana pedesaan amat kental. Puri itu dikitari tanaman rimbun. Penuh pohon oak dan cemara gunung.

Di daerah yang indah dan sejuk itu Caligula dan Drussila mukim. Saban hari yang dilakukannya adalah bermain. Main kejar-kejaran, petak umpet, dan menirukan gerak burung. Tingkah laku mirip anak-anak itu sebagai cerminan, bahwa dua remaja yang beranjak dewasa ini sebenarnya sudah mengalami gangguan jiwa. Mereka menderita psikopat akibat hidup dalam lingkungan yang diliputi kebiadaban, kekejaman dan demoralisasi.

Suatu siang, Caligula dan Drussila main kejar-kejaran. Ketika capek, di padang rerumputan, keduanya berjalan berangkulan. Tiba di sebuah pohon besar, Drussila telentang membaringkan tubuh untuk melepas lelah. Ia diam memejamkan mata. Sedang Caligula duduk bersandar pada pohon.

Tubuh Drussila yang padat berisi hanya terbalut kain tipis warna putih. Tanpa bh dan celana dalam.

Di tengah kelengangan alam itu, nampaknya nafsu Caligula terbangkitkan. Tangannya mulai merayap ke dada Drussila. Gadis itu terdiam karena menganggap biasa.

Kebetulan angin nakal bertiup. Kain tipis penutup bagian bawah gadis ini tersingkap. Mata Caligula terkesiap.

Tangan Caligula mulai berpindah. Ia mengelus paha mulus sang adik. Ia memelorotkan tubuhnya, dan berbaring di sebelah gadis ini. Mulutnya menyusuri paha Drussila. Setelah itu ia berguling menempatkan badannya di antara dua kaki gadis ini.

Ciuman Caligula itu menyusuri betis indah Drussila. Pelan-pelan ia merentangkan kedua kaki gadis ini. Kepalanya merambat ke atas. Dan paha bagian dalam gadis ini menjadi sasaran mulutnya.
Birahi Drussila naik. Ia mengatupkan mulutnya. Gadis ini kelihatan tetap tenang, tetapi nafasnya mulai memburu. Sentuhan itu membangkitkan gejolak bawah sadarnya. Ia mulai terjalari birahi.

Caligula secara liar mulai menyerang membabibuta wilayah sensitive sang adik. Lagi-lagi Drussila merintih. Kepalanya digoyang ke kanan dan ke kiri. Tangan Caligula kian atraktif. Kini ia tak lagi segan untuk bereaksi. Dan reaksi itu yang kian membangkitkan birahi Caligula. Sebab ia ingat, bagaimana rintihan serupa terjadi pada gundik dan Ennia yang telah memberinya kenikmatan seksual.

Laki-laki ini dengan beringas memainkan tubuh Drussila. Drussila sendiri lupa diri. Ia merintih dan mengerang. Saat kemaluan Caligula mulai menyentuh kemaluan Drussila, gadis ini tiba-tiba membalikkan badan. Ia membiarkan Caligula terbanting ke samping. Setelah itu, dengan menelungkupkan tubuh, Drussila mengumpat-umpat Caligula. "Aku adikmu. Ini seks yang dilarang," katanya terpekik. (Bersambung)

Memasung Kebebasan Demi Sebuah Materi


Teman wanita saya, Kiki, kemarin, memberitahu kelulusannya mendaftar calon perwira TNI AD. Ia berhasil menyelesaikan tes terakhir. Setelah ini, ia melanjutkan pendidikan di Bandung. Betapa getolnya sampai-sampai Kiki rela mengorbankan segala-galanya. Bahkan, kebebasannya pun–barangkali–rela dikorbankan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari sorotan matanya.
Tak terhitung berapa banyak waktu Kiki terbuang hanya untuk mempersiapkan mental dan fisik menghadapi tes. Ia rela mengesampingkan urusan pribadi demi meraih cita-cita. Masalahnya, apakah itu termasuk cita-cita (mulia) ataukah sekedar pengharapan untuk meraih kehidupan yang layak. Yang jelas dua-duanya: SALAH.
Di tengah negara yang sedang kalut karena diapit krisis global –apa-apa serba susah–wajar jika banyak orang-orang menginginkan kehidupan layak dikemudian hari. Salah satu pekerjaan yang dianggap mampu mewadahi aspirasi mereka adalah yang berkaitan dengan negara–PNS, Aparatur Negara (POLRI, TNI, JAKSA), BUMN. Tetapi masalahnya tidak semudah itu bagi seseorang mengabdi demi negara?
Coba tengok; berapa juta orang yang gagal–menurut penilaian saya–mengabdi demi negaranya. Kebanyakan dari mereka cuma memikirkan perutnya sendiri. Substansinya tidak jelas. Padahal, untuk mengabdi demi negara dibutuhkan; niat, tekad, semangat yang gigih, tanpa pamrih, siap mati, dan bukan asal-asalan–mengisi formulir pendaftaran, menyelesaikan administrasi, mengikuti tes dan lulus. Saya tidak tahu apakah Kiki memiliki semua kriteria yang saya sebutkan di atas.
Sempat terlintas dalam benak saya beberapa orang memilih mengabdikan diri demi negara, karena sekedar ingin merubah image, itu yang pertama. Yang kedua, mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang ringan tanpa harus bersusah payah. Bahwa kerja demi negara selama ini diartikan (sebagian besar orang) banyak nganggurnya, senang berleha-leha, ongkang-ongkang semaunya. Ketiga, pensiun. Kesemua prinsip “Pengabdian” itu tidak dilandasi oleh keinginan yang jujur dari dalam diri. Ini sama saja dengan memasung kebebasan, yah, membelenggu diri demi sebuah materi. Berbeda kalau mereka melakukannya karena ajakan hati nurani. Bukankah yang dinamakan pekerjaan atau pengabdian atau apalah itu adalah ketika mereka benar-benar menikmati apa dikerjakannya, bukan karena embel-embel ini dan itu. Biarpun mereka bekerja di lingkungan berdisiplin tinggi, tapi jika mereka menikmatinya sudah barang tentu kebebasan-lah yang didapat. Justru betapa miris bila semua orang memasung kebebasannya demi cita-cita–yang acapkali menjerumuskan pikiran.
Memang, tiada seorang pun menginginkan hari tuanya susah; menderita. Sedikit banyak dalam benak mereka pasti tersimpan pikiran untuk membahagiakan keluarganya. Saya pun demikian. Dulu sempat terlintas dalam benak: ah, betapa enaknya bila suatu hari saya bisa menikmati uang pensiun. Saya bisa berleha-leha dan tinggal menunggu mati saja. Rupanya semua itu bualan belaka. Pensiun, menurut saya, adalah berhenti melakukan segala aktivitas–apakah itu bekerja atau berkarya–karena dianggap sudah tidak mampu lagi. Syaratnya: usia tua, cacat, meninggal, atau gila. Jadi, pensiun bukan diartikan berhenti bekerja lantas mendapatkan uang bulanan. Itu kan cuma pernak-perniknya saja.
Begitu juga mengabdi demi negara tidak lantas membuat orang tersebut bergabung dengan instansi pemerintahan, bila itu yang diartikan oleh Kiki. Saya sendiri sebenarnya sangsi apakah kelak Kiki bersedia–bila sudah menjadi perwira–dikirim ke medan laga. Mengingat ia anak semata wayang di keluarganya. Pasti keluarganya sedih melihat sang anak menantang maut. Mati di medan laga memang pahlawan, tapi mati tanpa membawa ideologi adalah sia-sia. Paling tidak yang terjadi; ia akan berusaha menyuap komandannya agar tidak ditugaskan jauh-jauh dari rumah, seperti paklik saya yang dinas di Koramil. Dulu, seusai mengikuti tes kenaikan pangkat, paklik saya sempat ditugaskan ke Madura, sebelumnya di Timor Timur. Itu pun dirasa berat. Nah, karena lokasi Madura dirasa terlalu jauh dari keluarga, ia kemudian menyogok pimpinannya agar kembali ditugaskan di dekat rumah saja. Dan, berhasil.
Inilah sebenarnya kekurangan yang tidak disadari banyak orang. Mereka tidak pernah melihat bahwa apa yang dimauinya kadang tidak sesuai harapan. Semestinya apapun yang diberikan negara buat kita, kita wajib menerimanya. Apalagi bila mereka murni mengabdi demi negaranya. Memang mengabdi demi negara bukan semudah membalikkan telapak tangan. Ada berpuluh-puluh ideologi yang perlu kita kembangkan dan diseriusi. Kadang satu saja belum berhasil, apalagi puluhan. Membayangkannya sudah membuat mata perih. Ah, betapa sulitnya seseorang memenuhi panggilan ibu pertiwi. Kita harus mati-matian mempertahankannya. Dan sebagai sipil yang berprofesi jurnalis tentu saya selalu dihadapkan pada pilihan yang mengacak-acak hati nurani. Tidak semua bisa saya lakukan. Satu hal yang menjadi acuan saya: always keep thinking positif. Kata orang, dengan begitu saya sudah berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Bukankah kata-kata ini yang sering kita dengarkan sewaktu di sekolah dasar. Pak guru sering menggembor-gemborkan dalam pelajaran PPKN mengenai hak dan kewajiban kita sebagai warga negara. Dan ini saatnya negara menuntut haknya, atau kita memiliki kewajiban memenuhi tugas sebagai warga negara yang baik. Bagaimana caranya? Memang sih tidak mudah untuk melakukannya. Perlu tantangan dan perjuangan. Bahkan kalau perlu nyawa taruhannya. Rasanya cocok filosofi yang dianut bangsa Amerika: Jangan tanyakan apa yang bisa dilakukan negaramu, tapi apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu.
Kadang kala kita selalu bersikap pesimis dengan apa yang kita lakukan. Bahwa kata pengabdian sering kita persepsikan hanyalah milik orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan. Bullshit, itu pikiran salah, anggapan keliru. Saya sendiri yang menyalahkan. Untuk mengabdi kepada negara tidak semua orang harus menjadi PNS. Saya pun bisa mengabdi demi negara dengan menggeluti bidang yang saya kuasai. Seorang buruh pabrik bisa mengabdi demi negaranya dengan mengembangkan produksi-produksi pabriknya sebaik mungkin agar dapat dinikmati oleh orang banyak. Bahkan tukang becak sekalipun sanggup mengabdi untuk negaranya. Siapa bilang tukang becak hanya profesi rendahan. Tanpa mereka (orang kecil), toh Anda bukan siapa-siapa. Selama semua pekerjaan dan profesi digeluti dengan serius, maka sebenarnya kita sudah mengabdi demi negara.

kumpulan bob marley

Bob Marley --- NABI PARA RASTA


Reggae jadi mendunia karena satu orang yang bernama Bob Marley. Para duta besar regage berebut memberi label atau penghargaan kepada Bob Marley. Dari tangan cowok blasteran ini lahirlah hits klasik seperti No Woman No Cry, I Shot the Sheriff, dan Waiting in Vain.

Bob Marley memiliki nama lengkap Robert Nesta Marley Bob Marley seorang penyanyi, penulis lagu, gitaris dan aktivis Jamaica. Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles, Saint Ann Parish dan besar di lingkungan miskin di Trenchtown, Jamaika. Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Tinggi badannya 172 cm
Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Karier profesional dimulai ketika Bob masih remaja berusia 16an, bersama dua temannya, Bunny Livingston dan Peter McIntosh (Peter Tosh). Ia pertama kali rekaman pada tahun 1962, bersama The Teenagers atau yang juga dikenal sebagai The Wailing Rudeboys. Album perdana mereka keluar tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston.
The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Tahun 1966, setelah menikahi Rita Anderson. Dan Rita-lah yang memperkenalkan Bob pada Rastafarianism.
April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.
Reggae sendiri merupakan irama musik yang berkembang di Jamaika. Reggae mungkin membekas di perasaan sebagian besar musik Jamaika, termasuk Ska, rocksteady, dub, dancehall, dan ragga.
Barangkali istilah pula berada dalam membeda-bedakan gaya teliti begitu berasal dari akhir 1960-an, apalagi sejak masa kepindahan Bob Marley. Musik reggae mulai membumi dan dikenal dunia.
Reggae sendiri berdiri di bawah gaya irama yang berkarakter mulut prajurit tunggakan pukulan, dikenal sebagai "skank", bermain oleh irama gitar, dan pemukul drum bass di atas tiga pukulan masing-masing ukuran, dikenal dengan sebutan "sekali mengeluarkan". Karakteristik, ini memukul lambat dari reggae pendahuluan, ska dan rocksteady.
Namun demikian, kepindahan Bob ke Amerika Serikat tidak bertahan lama. Dirinya tidak betah. Lantas Bob memutuskan untuk pulang dan memilih menyempurnakan lagu yang ditulisnya. Tahun 1973 bersama Island Records, Bob merekam dan merilis Catch a Fire.
The Wailers berkolaborasi dengan Lee Scratch Perry, menghasilkan hit-hit unggulan seperti Soul Rebel, Duppy Conquerer, 400 Years dan Small Axe. Kolaborasi tersebut berakhir pahit karena Perry menjualnya di Inggris tanpa persetujuan the Wailers. Namun peristiwa tersebut berbuah manis, Chris Blackwell, pemilik Island Records mengontrak the Wailers dan memproduseri album mereka CATCH A FIRE dan BURNIN.
Album inilah yang menyebarkan demam Reggae ke seluruh dunia. Pada saat itu Bob mampu memberikan pilihan baru kepada penggemar rock, bahwa dalam reggae Bob Marley menghadirkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan keadilan.
Akhir yang Tragis
Pada tahun 1976, Bob Marley hijrah ke Inggris. Kreatifitasnya tak mereda, EXODUS berhasil nangkring di British charts selama 56 minggu. Kesuksesan ini diikuti album berikutnya, yaitu KAYA. Kesuksesan tersebut mampu mengantarkan musik reggae ke dunia barat untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1977, Bob Marley divonis terkena kanker kulit, namun disembunyikan dari publik. Bob Marley kembali ke Jamaica tahun 1978, dan mengeluarkan SURVIVAL pada tahun 1979 diikuti oleh kesuksesan tur keliling Eropa.
Sampai tahun 1979, Bob jadi orang super sibuk karena turnya laku digelar di seluruh penjuru dunia dan juga di Madison Square Garden, venue yang waktu itu jadi barometer buat popularitas seorang artis kelas dunia.
Bob Marley melakukan 2 pertunjukan di Madison Square Garden dalam rangka merengkuh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Namun pada tanggal 21 September 1980, Bob Marley pingsan saat jogging di NYC's Central Park. Kankernya telah menyebar sampai otak, paru-paru dan lambung. Tim dokter memastikan bahwa kanker yang mula-mula hanya ada di kaki sudah menjalar ke mana-mana, mulai dari ke otak, paru-paru, bahkan sampai ke liver.
Penyanyi reggae inipun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Miami Hospital pada 11 Mei 1981 di usia 36 tahun, dengan meninggalkan seorang istri dan 5 orang anak.
Walaupun telah meninggal, nama Bob Marley seakan tidak pernah lenyap dari dunia musik, khususnya musik Reggae. Bahkan musik Reggae pun semakin diterima dunia. Mungkin ini lah salah satu cara yang harus dilakukan oleh sang dewa Reggae untuk tetap menghidupkan musik Reggae.
Bob Marley, sang legenda reggae, memang pantas menjadi legenda. Kesadarannya untuk mengajak orang memperjuangkan hak asasi mereka, kental tertuang dalam petikan salah satu syair lagunya yang sangat populer. Kesadaran dan kepeduliannya pada persoalan-persoalan sosial-politik bermetamorfosis dalam lagu-lagu ciptaannya sebagai satu kekuatan tersendiri yang menggelitik para penggemarnya. Itulah Bob Marley. Sikap dan perjuangannya jelas. Tak heran jika ada yang menjuluki Bob Marley sebagai nabinya para rasta, nabinya para reggae atau bahkan nabinya para pecandu.
Di Indonesia, kita punya Gombloh. Legenda penyanyi jalanan negeri kita yang tak berumur panjang itu, menggugah semua penggemarnya lewat lagu-lagu heroik untuk mencintai negerinya.
Sampai kini, lagu Kebyar Kebyar masih kerap berkumandang di sekolah-sekolah, di kampung-kampung kumuh, atau di lapak-lapak kaki lima. "Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangat...." Syair sederhana yang dinyanyikan dengan tulus ini, tetap mampu menggetarkan sanubari dan merindingkan jiwa kita. Itulah Gombloh. Sikap dan perjuanganya juga jelas.
Gombloh memang telah tiada. Bob Marley pun sudah lama hengkang dari kejamnya dunia. Tapi sikap dan semangat perjuangan mereka terus hidup dan bisa kita rasakan melalui lagu-lagu mereka. Dan untuk mengubah kondisi Indonesia saat ini, perpaduan sikap dan semangat perjuangan Gombloh dan Bob Marley, sangatlah pas. Kita butuh semangat cinta bangsa cinta negeri yang tulus seperti yang didendangkan Gombloh. Kita juga perlu semangat keberanian untuk memperjuangkan hak-hak kita seperti yang dinyanyikan Bob Marley.

Penghargaan sang legenda
Pemerintah Jamaika menyatakan, pihaknya akan mendeklarasikan rumah Bob Marley di Kingston sebagai sebuah monumen nasional, 25 tahun setelah kematian legenda reggae itu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Maxine Henry Wilson, pernah mengemukakan penghormatan itu diberikan sebagai pengakuan terhadap segala yang telah dikerjakan Marley untuk mempromosikan tanah airnya di Karibia di luar negeri.
Pada tahun 1978, Bob Marley pernah menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)

Marley, yang meninggal dunia akibat kanker di Amerika Serikat pada 1981, akan genap berusia 62 tahun pada Mei ini. Dikenal sebagai Tuff Gong International, rumah Marley kini merupakan sebuah studio musik dan tujuan kunjungan wisata terkemuka bagi para turis.
Marley, yang masih tetap dianggap sebagai salah satu bintang pop musik paling dikenal, menerima Bintang Jasa (Order of Merit), penghargaan nasional tertinggi ketiga Jamaika, tak lama setelah kematiannya.
Namun demikian, para pejabat pemerintah telah berulang kali tak menanggapi seruan agar menjadikan Marley sebagai pahlawan nasional.
Sebagai penganut Rastafarian yang taat, dan seseorang yang menggunakan marijuana sebagai bagian kepercayaan agamanya, Marley telah lama berjuang bagi legalisasi dedaunan yang dikenal secara lokal sebagai ganja.
Belum diketahui secara pasti kapan upacara peresmian Tuff Gong, yang dalam bahasa slank Jamaika berarti suara keras, menjadi monumen nasional akan diselenggarakan.(*)

Lahirnya Rambut Gimbal
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur.
Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan.
Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.