Senin, 03 November 2008

MAKNA GANDA EKSEKUSI DAN TERORISME


JELANG eksekusi mati pelaku Bom Bali I, Amrozi Cs, kawasan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah telah diseterilkan. Dari apa? Alasannya kawasan tersebut harus steril dari siapapun, tak terkecuali penduduk setempat yang mata pencahariannya nelayan. Aneh, ini siapa yang salah sebenarnya. Mengapa yang salah malah diperlakukan bak raja? Saya bingung menjawabnya.
Ponakan saya yang masih duduk di bangku SMP bertanya: Mengapa orang jahat kok dielu-elu, bukankah mereka telah membunuh puluhan orang tidak berdosa?
Pertanyaan ponakan saya tidak salah. Kalau saya bisa menjawab tentu saat itu akan langsung saya jawab. Tapi tidak, pertanyaan semacam itu butuh waktu. Sampai sekarang saya masih mencari jawabannya. Mengapa eksekusi mati Amrozi Cs begitu penting? Sebaliknya mengapa mereka malah diperlakukan seperti moderat ulung yang baru turun dari podium? Apa yang membuat mereka begitu special di mata hukum, masyarakat umum maupun masyarakat korban Bom Bali I?
Pertanyaan demi pertanyaan ini seolah-olah memunculkan dua sisi yang saling berlawanan. Otak kiri dan otak kanan saya saling berbicara dan beradu, lalu menghasilkan apa yang dinamakan pro dan kontra. Seperti contohnya:
Mengapa untuk mengeksekusi mati Amrozi Cs butuh waktu 6 tahun?
Pro: karena pemerintah sedang dan tengah menggodok undang-undang eksekusi mati–yang kata kamus Amrozi tidak jelas alias mengada-ada. Otak kanan saya yang pro ini juga menganggap bahwa waktu yang diulur-ulur tersebut sedianya dilakukankan untuk memberi efek jera bagi pelaku. Bahkan kalau perlu 20 tahun penjara, baru setelah itu dieksekusi, seperti halnya kasus Sumiarsih. Di pihak lain, otak kanan saya berbicara, mungkin aparat hukum sedang melakukan penyidikan mengenai keterlibatan Amrozi Cs dengan jaringan Al-Qaeda.
Kontra: bisa jadi pemerintah dibuat ketakutan oleh Amrozi Cs, mengingat barangkali apa yang dilakukan oleh pelaku Bom Bali ada benarnya. Sewaktu-waktu Bali memang perlu dikasih pelajaran agar tidak sembarangan membiarkan pihak asing menginjak-injak harga diri pribumi. Sehingga ketika eksekusi mati dijalankan, mereka takut kuwalat atau terkena karma. Ada satu dugaan yang membuat otak kiri saya memilih kontra; saat ini pemerintah sedang malas mengungkit masa lalu mengingat masih banyak hal-hal pelik yang perlu penangan lebih dini ketimbang masalah Amrozi Cs. Yakni seperti mengusut kasus pelanggaran korupsi. Selain korupsi, masalah teroris adalah nomer dua.
Benarkah Amrozi Cs. layak diperlakukan bak pahlawan yang baru turun dari medan laga?
Pro: Ya, iyalah, masa iya iya dong. Sebagai pejuang agama wajarlah jika beberapa pihak menganggap Amrozi Cs. termasuk pahlawan. Ketika tuntutannya tidak pernah didengar atau digubris oleh dunia, saat itulah mereka mulai bermain dengan aksi atau tindakan. Dunia butuh penindak, bukan pembicara. Tampaknya Amrozi Cs. telah siap menerima resiko dari jalan kekerasan yang dipilihnya. Namun demikian aksi terorisme dalam bentuk apa pun selalu berkaitan dengan rasa takut yang ekstrem dalam masyarakat karena coraknya yang ekstranormal: melebihi batas-batas pelanggaran yang dapat diterima secara sosial. Rasa takut itu akan bergejolak pada masyarakat yang memiliki rentang mulai dari berpihak, netral, sampai menentang terorisme. Para teroris memilih bermain pada lapangan yang paling menakutkan manusia: kematian.
Kontra: Amrozi Cs. bukan pahlawan tapi pecundang. Seorang pejuang bukan saja berjuang demi agama, tapi juga demi negara dan bangsa. Perjuangan Amrozi Cs. sekedar memenuhi panggilan agama agar sekiranya dapat memuaskan guru ngajinya, teman-temannya, dan keluarganya. Dikatakan demi negara dan bangsa, masih sangat jauh, mengingat apa yang mereka lakukan adalah sengaja bertujuan melukai orang-orang senegara dan sebangsanya. Saya rasa itu bukan pejuang nasionalis melainkan agamis.
Perlukah Amrozi Cs. ditembak mati?
Pro: Tidak. Karena eksekusi termasuk perbuatan pembunuhan negara terhadap pribadi, bila menyimak kata-kata Abu Bakar Ba’asyir. Negara tidak berhak menjatuhkan hukuman apalagi bila melihat eksekusi tembak tidak sesuai dengan syariah agama. Penerima hukuman jelas akan merasakan sakit atau tersiksa. Apalagi tidak ada yang perorongan atau kelompok atau negara menyatakan bahwa hukuman mati itu sopan. Semua yang dinamakan hukuman mati tidak sopan, bahkan sadis. Kendati demikian, Amrozi Cs. telah siap menerima semua keputusan negera. Bahkan mereka sebelum keputusan dijatuhkan TPM (Tim Pembela Muslim) jauh hari telah mengajukan hukuman apa yang pantas bagi kliennya selain hukuman tembak, yakni pancung.
Kontra: Dilihat dari perbuatannya, tentu saja tindakan Amrozi Cs. patut mendapat hukuman yang setimpal. Lalu mengapa mereka harus bingung membahas hukuman mati. Singkatnya, jika tidak mau dihukum mati, ya, jangan membunuh orang. Yang namanya hukuman mati adalah pembunuhan. Tidak ada orang yang dihukum mati terus bisa berlenggang hidup. Orang yang dihukum mati pastilah mati. Hanya saja setiap negara memiliki aturan dan perundang-undangan sendiri bagaimana menindak terpidana mati. Amerika punya banyak cara menghukum orang mati. Di bagian negara ini, ada diterapkan hukuman mati dengan cara disuntik. Lalu di bagian negara lain, hukuman mati diterapkan dengan jalan disetrum. Di Cina, hukuman mati dijalankan dengan cara ditembak. Di Malaysia; digantung. Sedang di Arab; dipancung. Sementara jika saat ini Amrozi Cs. mengajukan PK (peninjauan kembali)–walau sudah terlambat–toh, bagaimana juga mereka tidak bisa mengatur negara. Hukuman mati tetaplah hukuman mati, tidak bisa diatur seenak perutnya sendiri. Kalau di Indonesia ditembak, ya, ditembaklah.

Mengenai Eksekusi Mati
Banyak tata cara melaksanakan hukuman mati. Ada yang bilang hukuman mati sebaiknya dilakukan dengan sikap-sikap sopan santun, sehingga ketika pelaksanaan dilakukan mereka tidak mengalami kesakitan. Kali ini saya tidak pro dan kontra lagi, sebab cara pandang saya mengenai pelaksanaan eksekusi mati dilihat dari sudut pandang yang berbeda jadinya akan begini:
Dari yang saya ketahui tiada seorang yang menjalankan eksekusi mati bangun dari kuburnya dan berkata: sewaktu ditembak, saya merasakan penderitaan. Atau sewaktu dipancung, saya merasakan enak. Dan atau ketika digantung tubuh saya bagai diangkat para malaikat.
Seorang pejuang asal Kuba, Che Guevara yang ditembak mati tentara Bolivia tentu tidak akan berdemo di liang lahatnya bahwa hukuman mati tembak dirasa terlalu berat. Begitu juga seorang Saddam Husein yang dihukum gantung tidak akan menyalahkan eksekutornya gara-gara kesakitan ketika dieksekusi. Setahu saya sampai sekarang tidak ada seorang pun yang sanggup membuktikan bahwa hukuman mati memiliki sopan santun. Yang saya tahu semua hukuman mati sama saja, tergantung dari orang yang menjalaninya. Menurut kitab, kematian seseorang bukan dinilai bagaimana cara dia mati, melainkan apa saja yang diperbuatnya selama hidup. Seseorang itu akan mati menderita bila dosa menggunung. Sebaliknya, kematian seorang nabi, wali, ulama, akan terasa sangat ringan ketika rohnya keluar dari jasad.
Kata kyai saya di pengajian mengatakan: Golongan Nabi akan dicabut rohnya melalui wajah, mengingat tiada dosa dimiliki mereka kecuali amalan ibadah. Sementara golongan ulama dan pelaku ibadah akan dicabut rohnya melalui punggung. Saking sedikit dosa-dosanya, sampai-sampai diceritakan malaikat maut merasa malu mencabut rohnya sebab semasa hidup seluruh anggota tubuhnya digunakan untuk meramal saleh. Sedang orang-orang yang berdosa, maka, ketika ajal menjemput mereka akan mengalami sakaratul maut yang tiada tara sakitnya. Tidak peduli bagaimana cara mereka mati, yang jelas semua kematian dijalani pribadi-pribadi sesuatu dengan amalah ibadah mereka.
Nah, kalau saja sampai sekarang kita masih meributkan masalah hukuman mati apa yang pantas bagi pelaku-pelaku kriminal berat, saya rasa hal itu sedikit berlebihan. Apalagi eksekusi mati ini harus dibahas di Mahkamah Agung. Betapa memalukannya bila saya yang duduk sebagai penggugat seperti Tim Pembela Muslim (TPM) atau tergugat–dalam hal ini negara.
Memang selama ini Undang-Undang Negara kita masih mengikuti pola-pola lama, yakni masih bertautan dengan sistem kolonial. Namun demikian, undang-undang tidak dibuat semata-mata demi kebaikan sang terpidana, juga pembuatannya, saya yakin dilakukan melalui proses yang lama.
Kalau saja Amrozi Cs. beranggapan bahwa hukuman pancung dapat menghilangkan penderitaan, saya rasa hal itu terlalu berlebihan. Mereka memandang hukuman pancung hanya dilakukan oleh Negara Arab, dimana kala itu timur tengah tidak pernah dijajah oleh kolonial. Bahwa kolonial hidup di masa sesudah Islam, otomatis hukuman yang diterapkan adalah hukum Islam, yakni pancung. Apalagi kala Islam berjaya (di masa Rasulullah), mereka tidak mengenal yang namanya senjata api. Wajar jika kemudian tata pelaksanaan hukuman mati dilakukan melalui pedang atau kampak. Berbeda dengan bangsa ini, ketika dimana tata cara atau perundang-undangan belum disahkan, masuklah kolonial yang kemudian membuat undang-undang pelaksanaan eksekusi mati. Hal ini, secara tidak langsung, mau atau tidak mau harus dipatuhi. Maka, jangan heran jika saat ini aturan atau tata cara eksekusi mati dilakukan dengan cara tembak.

Terorisme
Betapa simplenya kata-kata TERORISME. Diambil dari kata dasar Teror, lalu dengan mudah dibubuhi Isme. Sejak itu kata ini menjadi kata-kata paling menakutkan. Untuk menjelaskan makna terorisme, saya tentu tidak selihai dengan pengamat inteligen atau pengamat jaringan Al-Qaeda. Namun yang jelas, para pelaku teror ini tentu memiliki sesuatu yang berbeda bila dipandang dari sisi lain.
Sebut saja Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron, kebenaran mereka adalah menganggap segala sesuatu di dunia ini bersifat atributif, baik kebenaran tentang pendapat, hukum, filosofi, agama, tidak pernah dianggap substansiatif. Atau memang dimata mereka kebenaran tidak pernah menjadi kodrat tetapi selalu hanya merupakan sifat saja. Adapun ketiga pelaku tersebut dan atau kelompok tertentu yang sepaham memiliki paham "kebenaran suksesif", yaitu paham bahwa kebenaran agama terakhir menghapus dan menggantikan kebenaran agama-agama sebelumnya. Istilahnya jihad demi syahid. Paham ini teramat eksklusif dan ternyata sekaligus melawan kenyataan di lapangan. Karena kenyataannya agama-agama sebelumnya juga terus berkembang, diperbaharui, dan memiliki penganut baru yang semakin banyak. Maka bila ada paham bahwa mereka itu semuanya kafir dan pahamnya harus dibasmi dari muka bumi ini maka ciri otoriter pun nampak jelas sekali, sekaligus tidak membawa ciri 'pembawa damai' bagi seluruh alam. Bagi mereka darah syuhada (pejuang agama) adalah benih umat beriman baru. Padahal sebenarnya istilah jihad sendiri adalah bersungguh-sungguh berbuat kebaikan dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah. Benarkah jihad yang dilakukan Imam Samudra adalah jihad kebaikan atau sebaliknya?
Yang jelas setiap penjuang seperti kelompok Imam Samudra cs selalu akan berhadapan frontal dengan pemerintah yang sah karena mereka selalu memilih jalan Terorisme daripada Demokrasi, yang dinilai sebagai 'agama baru' dari masyarakat kafir barat atau kebarat-baratan. Kapan dan dimana pun mereka selalu akan melecehkan muslim pejuang demokrasi atau yang akrab dengan umat agama lain seperti Aa Gym, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Ulil, dan sebagainya. Kelompok mereka adalah 'penjuang kebenaran sejati' sedangkan kelompok moderat adalah pengecut yang senang "berzinah" dengan komunitas kafir.
Tindakan teroris bagi mereka bukanlah tindakan irasional, melainkan rasional. Kerasionalan kelompok ini terlihat jelas dalam idealisme yang diperjuangkan. Dalam setiap aksinya, kelompok teroris selalu mempropagandakan perjuangan yang belum selesai atau aspirasi yang belum tersalurkan. Tetapi perlu dilihat juga aksi tersebut juga sebagai frustrasi yang muncul dalam idealisme mereka. Pertanyaannya: mengapa terorisme selalu dijadikan instrumen perjuangan ideologi? Mengapa mereka memilih strategi perlawanan dengan bom? Dan, yang sering kali terlupakan, mengapa mereka mampu merekrut pengikut-pengikut loyal yang notabene adalah kaum muda? Pertanyaan-pertanyaan ini mestinya dilihat dengan kacamata psikologi politik. Atau mungkin mereka hanya sekedar alat sejarah tanpa disadarinya.
Namun aku setuju dengan teori psikososial Erikson dalam memahami memahami perilaku “gila” ini. Pencarian jati diri adalah permasalahan sentral dalam hidup manusia. Mencari jati diri berarti berusaha menemukan diri (siapa sih aku ini?).
Cermatilah pelaku-pelaku bom bunuh diri itu! Mereka adalah pemuda-pemuda yang masih remaja atau dewasa awal. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka memisahkan diri dari masyarakat dan masuk ke dalam subkultur radikal seperti itu? Menurut Erikson, perkembangan jati diri manusia berjalan melalui delapan tahap yang meliputi: kepercayaan lawan ketidakpercayaan (0-1 tahun), otonomi lawan keraguan (2-3 tahun), inisiatif lawan rasa bersalah (4-5 tahun), kerajinan lawan rasa rendah diri (6-11 tahun), identitas lawan kebingungan peran (masa remaja), keintiman lawan isolasi (masa dewasa awal), generativitas lawan stagnasi (masa dewasa madya), integritas lawan keputusasaan (lanjut usia).
Dari sini kemudian saya membayangkan Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron di dalam sel yang pastilah mereka akan berfikir seperti ini: Ohh, senangnya, sebentar lagi kami akan masuk surga. Disambut oleh para bidadari bertelanjang dada. Di sana kami akan mandi di sungai susu. Selesai mandi kami akan menunjuk 4 bidadari jelita untuk melayani kami.
Setidaknya mereka akan tersenyum lega karena hendak masuk surga yang kekal abadi sebagai imbalan jasanya berjuang atas nama agama. Sementara teman-teman terorisnya yang belum tertangkap, lega karena dengan di berangkatkannya Imam Samudra dkk ke surga, informasi tentang mereka yang masih tersembunyi di kepala Imam Samudra cs akan tertutup selamanya. Aman. Begitu juga keluarga yang ditinggalkan para korban, meski hal itu tidak akan mengembalikan orang-orang terkasih yang kehilangan nyawa akibat kekuatan iman Imam Samudra cs, setidaknya hal itu bisa sedikit melegakan. Di sisi lain, pemerintah berhasil membantu mereka berhalusinasi, merasa sudah melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan hukum. Semoga saja hukuman yang sama juga bisa ditimpakan pada para koruptor. Dan yang terakhir, guru-guru Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron, terutama guru-guru spiritualnya, mereka pasti sangat terharu dan bangga, melihat murid-muridnya sukses menjadi orang yang berguna bagi agama, bukan nusa atau bangsa.
Kini, kita pun mulai berbicara soal sebuah negara berpenduduk 200 jiwa yang terseok-seok menghadapi ancaman teror bertubi-tubi. Sebuah negara besar yang lemah dalam nyaris segala hal, kian terombang-ambing dalam apa yang disebut sebagai “Perang melawan terorisme” yang dihembuskan oleh negara-negara maju. Semua itu membuatku berpikir, pantaskah nyawa seseorang yang baik dikorbankan demi sebuah negara? Dulu di jaman Pangeran Diponegoro kita memang pernah meyakininya, begitu pula pada masa Bung Karno kita berkorban demi memerdekakan diri. Tapi sekarang, pantaskah nyawa itu dikorbankan sia-sia di negeri yang indah ini? Benarkah kata Taufiq Ismail: Malu aku jadi orang Indonesia!

Tidak ada komentar: