Kamis, 20 November 2008

SUDAH SAATNYA INDONESIA MENGGUGAT MEDIA


Saat ini media sedang digugat. Indonesia yang menggugat. Judulnya: INDONESIA MENGGUGAT MEDIA. Memasuki era reformasi, kini, media seolah disulap menjadi raja segala diraja. Peran media menjadi penentu perkembangan jaman. Yang baik tentu yang mampu membangun bangsa, yang jelek malah sebaliknya. Banyaknya berita-berita peristiwa–dari kecil hingga besar–membuat tayangan tidak tersaring dengan apik. Bahkan terkesan menjerumuskan. Para pengguna informasi ini juga merasa berhak untuk memberi kritik, saran, dan masukan. Seba selama ini peran media sudah kebablasan. Kurang tegasnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memantau gerak-gerik media membuat sebagian orang risih.

Selama ini masyarakat Indonesia selalu disuguhi tontonan penuh kesombongan dan kebanggan diri media, khususnya media elektronik yang memiliki kedekatan dengan pemirsa karena kemudahan memperoleh informasi. Tayangan-tayangan yang tidak layak–kendati sifatnya straightnews (peristiwa), seharusnya memiliki batasan-batasan tertentu. Berita-berita tentang kebrutalan seperti pembunuhan, pemusnahan massal, perampokan, pencurian hingga tawuran massal yang baru-baru ini kita saksikan, acapkali menyudutkan serta merugikan penonton. Tentu saja hal ini nantinya dapat memicu tindakan-tindakan seporadis yang (mungkin) dapat diikuti atau ditiru.
Sebagai contoh, berita-berita Ryan “Penjagal Manusia” selalu diekspos secara besar-besaran. Dia seolah-olah dijadikan selebriti dadakan untuk melariskan bisnis media. Cara Ryan memutilasi ini pada akhirnya ditiru oleh seorang di Bali yang membunuh korbannya dengan cara memutilasi pula. Ketika ditanya alasannya, dia menjawab ringan saja: Saya melakukannya karena meniru adegan mutilasi Ryan.

Kejadian ini tidak cukup sampai di sini. Kasus eksekusi tiga terpidana mati bom Bali I sempat menjadi berita terheboh bulan ini. Bahkan, hampir semua media menayangkan beritanya. Para redaksi media cetak–koran harian dan mingguan, tabloid dan majalah–saling berlomba mencari angle (sudut pandang) yang bagus untuk melariskan medianya. Paling gencar media elektronik. “Para pemusnah massal” tersebut mendadak dijadikan pahlawan spesial bagi televisi, yang seolah korban-korbannya di Bali adalah semua sampah masyarakat yang perlu dibumi hanguskan. Sampai-sampai seorang anak kecil sempat bertanya kepada orang tuanya karena tayangan yang sering ditontonnya. Begini katanya: Benarkah jika orang itu membunuh puluhan jiwa akan menjadi pahlawan? Pertanyaan ini tentu bukan menjadi tanggung jawab orang tua, tapi juga media sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk meluruskannya.

Yang menyedihkan, sebuah televisi swasta malah membentrokkan pemberitaan tentang perasaan keluarga terpidana mati menghadapi detik-detik eksekusi dengan perasaan korban atau keluarga korban bom Bali I. Pihak media memberi alasan sepele; bukankah sebuah tayangan atau pemberitaan itu harus memiliki keberimbangan berita? Retorika ini tentu ada benarnya bila dilihat dalam kacamata jurnalis. Tetapi bukankah masyarakat juga berhak menuntut berita berimbang yang bagaimanakah yang layak tayang, jadi bukan sekedar berita berimbang yang asal-asalan demi meningkatkan rating, sementara di sisi lain justru merugikan orang banyak, terutama pihak narasumber.

Pada kenyataannya beberapa berita memang sudah memenuhi kelayakan sebagai sebuah informasi, namun tetap saja sebagian pihak sangat menyayangkan pemberitaan semacam itu. Mereka menganggap berita-berita kebrutalan yang menampilkan tokoh-tokoh, dalam hal ini tokoh antagonis seperti Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, tidak layak untuk konsumsi publik. Kecuali jika memang sifatnya murni informasi tanpa dibubuhi dramatiasi yang berlebih, mungkin hal itu masih dalam batas kepatutan.

Tayangan kebrutalan lain yang baru-baru ini gencar diperbincangkan adalah maraknya tawuran antar mahasiswa. Sebagai seorang intelektual, bukan sepantasnya mahasiswa saling beradu fisik. Bahkan diberitakan akibat tawuran tersebut seorang mahasiswi meninggal dunia setelah mendapatkan serangan jantung saat kampusnya diserang mahasiswa dari kampus lain. Tayangan kebrutalan ini sangat tidak patut. Sebab hanya akan memberi keluasaan kepada pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk kemudian melakukan aksi-aksi yang lebih parah. Menjadikan mereka seorang jagoan. Bahwa mahasiswa tanpa perkelahian adalah kuno. Mereka menganggap dunia pendidikan seharusnya menjadi ajang perkelahian bergengsi kawula muda. Yang kemudian kebrutalan-kebrutalan semacam ini menjadi sebuah fenomena yang hukumnya wajib diikuti. Dan, semua itu gara-gara pemberitaan di media.

Anehnya, meski beberapa pihak sangat geram dengan berbagai pemberitaan media, tapi mereka tak sanggup untuk mengoceh. Hal ini dikarenakan terbatasnya ruang gerak bagi mereka untuk bersuara di hadapan media. Akhirnya, tuntutan Indonesia pun membisu dalam ketidakpastian. Sementara pihak media, dalam hal ini yang menjadi tergugat, seolah tidak merasa salah. Bahkan pengusaha media tidak pernah merespon kebutuhan masyarakatnya (pemirsa) karena dia cuma sibuk memikirkan bisnis ratingnya. Pun saat dipertemukan dalam satu ruangan bersama para praktisi dan akademisi, lagi-lagi media selalu menyangkal kekurangannya dan menganggap diri merasa benar. Alasan paling sederhana yang selalu dilantunkan media, mereka menganggap bahwa semua berita sifatnya informasi, mengingat fungsi media itu sendiri adalah sebagai informasi, pendidikan, hiburan dan kontroversi.

Kalau ujung saraf selalu menjadi utama dalam menangkal tuntutan, maka yang terjadi, media bukan lagi menjadi idealisme melainkan sudah mendekati arogansi. Jujur, padahal kalau mau tahu bahwa kebanggan serta kesombongan sebenarnya cermin kelemahan diri, kelompok dan golongan, serta negara. Sebaliknya mengharapkan pujian selalu lebih sulit. Yang ada dalam persediaan untuk pujian hanya satu jenis: terima kasih. Buntut pujian adalah kritik pedas atau permohonan yang mengiba-iba, tergantung pada permukaannya. Makin tinggi pujian yang diinginkan, makin tajam pula buntutnya. Tapi terhadap hinaan adalah tantangan sebuah otomat dalam diri dimana akan menghasilkan segala macam tanggapan, sikap, dan tindakan, yang terkemas dalam sederetan kata. Sekali waktu ada waktunya media harus menumbangkan prinsipnya atau mengalah demi orang banyak.

Kini, masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan peran media di era reformasi. Sudah saatnya Indonesia menggugat media dan menjadi pengadilan tertinggi bila mendapati media nakal dan senang melakukan pelanggaran. Jika melalui suara kita tidak sanggup mendobrak media, kita bisa mengawalinya dari diri sendiri, yakni dengan mematikan tayangan-tayangan televisi yang berbau porno, brutal, dan sadis. Atau, jika itu media cetak, kita tidak perlu membeli koran-koran yang menerbitkan berita-berita “tidak berimbang”. Nah, sekaranglah saatnya Anda menjadi juri sekaligus hakimnya.

Tidak ada komentar: