Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Februari 2010

Air Rondo Kembar


Yen tak rasakne wong-wong saiki do aneh-aneh. Sing aneh-aneh kadang diomongne ajaib. Ajaib ono kaitane karo gaib, mergo ono buktine, bukti sing nganeh-nganehi. Sing aneh maneh, masyarakat ngaku nggunakne sumber banyu kuwi wes suwe, sak durunge kondang. Malah nggo ngombe, masak, ngombeni sapi, mergo pancen angel udan, angel banyu, salahe dhewe alase dientekne.
Ontran-ontrane wong ben misuwur pancen yo isooooo ae..... Koyo Ponari kae. Saiki ning Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar, tinemu sumber Banyu Rondo Kembar. Banyu kuwi dijupuki karo wong diombekne wong sing loro, sakite nemen, ndilalah mari. Ono sing strook gak iso mlaku, digawani banyu ko kono, diombekne, terus iso mlaku. Saking bungahe terus nekani panggon sumber banyu kuwi. Ngandakne syukuran mergo wes berobat tekan endi-endi gak mari, entek pirang-pirang juta gak mari, mergo ngombe banyu campur lumpur sak cendok, kok ndilalah mari. Iku jareee.... wong aku yo durung temu wonge.
Aku jane yo ora penasaran, wong pancen ndilalah nganggur ningomah, gek libur wes entek pisan arep nyaopo... ? akhire tak jak bojo lan anakku mlaku-mlaku, ning gak tak omongi arep nangendi. Banjur nglewati alas ndeso nanging dalane hotmik kabeh, bupatine rodok beneh iki, terus tak duduhne, yo kuwi sing jenenge Monumen Trisula, pas lewat, jaman biyen nggo peringatan masyarakat, mergo panggone PKI ning kene iki. Sing tak elingi jenenge Olean Hutapea, Muso, kabeh tokohe ono ing Blitar. Yo kuwi tugu peringatanne. Monumen Trisula.
Yo bar lewat kono terus nganan ono dalan munggah ora adoh wes ditulisi, Sumber Air Rondo Kembar, pokoke melu dalan kuwi mau. Akhire tekan juga. Ning sedane gak iso lewat, mlaku yo ora adoh.
Ning kono wes okeh wong dodolan bakso, dodolan Aqua, ning kok durung ono sing dodolan es degan, wah padahal ngelak poool.... Arep nyucup mbok rondo kembar ngko malah piye, diamok masyarakat kono ngko. Hehehe.....
Tekan kono yo mung mak blunus, wong aku macak rodo kereng, gak dicegat karo wong kampung sing do nawani tiket, ee... tibake tiket antri. Desane Tumpakoyot ketoke nek rak Tumpakkepuh. Sak elingku aku wes tau rono, pas nontok sekolahan elek-elek ning kono, ben oleh bantuan DAK. Tapi yo aku wes biasa karo wong kampung, macak sumeh, wong-wong do sungkan malah nyopo, monggo Pak...!
Crita kondange mergo jare ono Wong Wlingi diimpeni, ono sumber ning daerah Bakung. Bareng diparani, tibake sing wes tak kandakne mau, wes dinggo ngombeni sapi wes dinggo masak wes suwe. Mergo awale pancen rodo aneh, wong panggone puthukan duwur kok ngrembes banyu, terus dipidek, lemahe ora nemplek ngregeti sikile, terus diduduk, tibake ono banyune. Makane akhire kanggo masak nggo ngombeni sapi lan liya-liyane. Mbasan ono wong Wlingi mau akhire kondang mergo oleh impen nek banyu kuwi iso nggo ngobati wong gerah. Wong Jowo nek rak njajal ora marem, dijajal deweke duwe loro batu ginjal, bareng diombe, jare... lho ya, jare metu watune metu glundung bareng uyuhe. Aku yo mikir, maksute opo wonge nguyuh ning watu terus watune glundung opo wonge nguyuh ning nduwure watu terus glundung. Wong jare... hehehe....
Tapi yo wes bene, sopo ngerti sugestine wong reno-reno. Soko sugesti wong lumpuh iso mlayu mergo ngerti ono ulo arep nyaplok deweke. Yo ngono kuwi kekuatan tenaga dalam diri kadang iso luar biasa.
Ning kono tak tontok bek wong do antri, padahal banyune sak tlowakan sikil sapi, isine banyu yo sithik, nanging jare nek diciduk mbok rondo kembar mau, banyune panggah gak kalong. Iki nyalahi hukum kekekalan energi, kudune kelong ning sumbere teko maneh. Tapi sing nyiduk wong liyo, iso entek gari lumpure. Wes embuh pokoke jarene critane okeh sing mari bar ngombe banyu buthek kuwi.
Eh, mbok rondo kembar kuwi ora kembar, tapi mbok rondo loro, sijine ponakane. Nek kanggoku iku sing jenenge Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Ono pangonan nylempit sing jarang diendangi wong liyo, akhire misuwur diparani wong ko ngendi-ngendi. Sayange sig dodolan mau kok dudu wong kono dhewe. Akhire aku ngusulne wong sing tak nggo markir kendaraanku mau, "Mbah, sampeyan dodolan es degan mawon, kersane wonten gawean. Nek sampeyan dol kambil saiki 900, nek dol degan iso 2.500 nganti 4.000. Tapi jare malah, mergo gak bakat dodolan, padahal wet kambil akeh do ting ngglantung. Padahal maneh, karepku nek aku mancing lewat kono iso tuku Es Degan.... hehehe....(B-Elyas)

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag VI-TAMAT)

Ibu Guru Yanti telah tiada. Ia dimakamkan di pinggiran desa. Semua warga menolak jasad Ibu Guru Yanti, menurut mereka Ibu Guru Yanti tidak layak dimakamkan di desa Mayapada mengingat perbuatannya yang tidak dibenarkan oleh para wali murid. Di mata penduduk desa, nama Ibu Guru Yanti tidak berarti, bahkan desa tersebut mengharamkan nama Ibu Guru Yanti disebut-sebut. Sampai kapan? Sampai selama-lamanya. Mereka mengatakan Ibu Guru Yanti adalah aib bagi penduduk desa. Bahkan ketika dimakamkan tiada seorang pun yang datang melayat, begitu pula keluarga Ibu Guru Yanti terkesan cuek.

Lalu siapa yang memakamkan? Justru yang peduli dengan jenasah Ibu Guru Yanti adalah orang-orang dari luar , mereka mengurus dengan ikhlas, ada diantaranya pihak kepolisian, pihak rumah sakit, sopir ambulance dan penggali makam.

Namun demikian tidak semua orang menjauhi Ibu Guru Yanti. Seminggu usai pemakaman, beberapa orang nampak menziarahi makam. Mereka menangis di pusara pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Mereka tak lain keluarga Rikno: ayah Rikno, ibu Rikno, Nenek Rikno, Bibi Rikno, dan Rikno.

Di hadapan pusara Ibu Guru Yanti, mereka berdoa dengan khusyuk. Usai memimpin doa sang ayah mulai berbicara:

"Kau, adalah pahlawan kami. Darimulah sekarang Rikno mengetahui kebenaran. Kau, adalah kejujuran. Walau kejujuran yang kau jalani terasa pahit, tetapi kau tidak pernah mengeluh. Pengorbananmu terhadap kejujuran sangatlah kami hormati. Kau rela mati demi kejujuran. Kau tidak mempedulikan nyawamu walau sebenarnya kau sudah tahu resikonya. Kau, yah, kau adalah pahlawan kami. Telah banyak yang kau perbuat bagi keluarga kami. Meski kami belum pernah bertemu dengan dirimu, wajahmu tetap bersinar di hati kami. Kejujuranmu itulah yang membuat kami membuka mata lebar-lebar." Kata Ayah Rikno.

"Ibu Guru Yanti yang terhormat, yang kami cintai, kau bagai oase di padang tandus. Meski secuil kejujuran yang kau sebarkan, tetapi hal itu telah banyak memberi kami penerangan. Kini, kami menjadi sadar, bahwa tak selamanya kebenaran itu harus ditutup-tutupi. Dengan kejujuranmu itulah sekarang anak kami dapat mengetahui arti sebuah kebenaran akan mem*k. Kami yakin suatu hari kelak anak kami akan selalu mengingat kebaikan yang kau berikan, kami yakin kelak Rikno akan menghormati pengorbanan para guru dan pendidik, bila dewasa nanti dia juga akan tahu betapa mahalnya artinya sebuah kejujuran dan kebenaran. Dan karena kebenaran itulah Rikno sudah mengetahui apa itu mem*k, dan dengan pengetahuan serta pemahaman yang kau berikan ke anak kami, kami pun yakin suatu hari nanti dia akan semakin menghargai yang namanya perempuan. Ibu Guru Yanti, kau adalah pelita bagi kami. Jasa-jasamu takkan pernah kami lupakan." Ucap janji sang ibu.

"Rikno, anakku, adakah kata-kata yang hendak kau sampaikan pada Ibu Guru Yanti?" Tanya sang ayah.
Rikno mengangguk.

"Ada yah..."

"Apakah itu Rikno?" Sahut Sang Ibu.

"Rikno sangat berterima kasih kepada Ibu Guru Yanti atas kebaikan yang pernah beliau berikan. Sampai mati kebaikanmu akan selalu kupegang." Kata Rikno.

"Yah, kau dengar sendiri kan Ibu Guru Yanti. Betapa Rikno tak bisa melupakan jasa-jasamu. Karena kaulah dia sekarang sudah menjadi dewasa. Bukan kami, tapi kau. Kami justru hanya menjadi penghalang bagi perkembangannya. Kami adalah sebuah kebohongan yang selalu tersebar dimana-mana. Kami tak ubahnya kutu loncat yang ketika digusah akan pencolotan, tapi ketika musuh tidak kelihatan kami akan diam-diam mengambil hak orang lain. Memang benar apa yang telah kau lakukan, kejujuran sangat mahal harganya. Buktinya kami tidak bisa menjelaskan mem*k pada anak kami, padahal sebenarnya kami tahu. Kami adalah tukang tipu, selalu memojokkan orang, selalu menyusahkan orang, tak pernah serius menanggapi setiap permasalahan. Parahnya, kami adalah orang-orang munafik yang tak tahu diri. Tidak seperti kau, kau sangat berani menyatakan kejujuran. Kau berani menerjang bahaya. Kami semua tunduk padamu, tunduk terhadap pahlawan bangsa. Semoga arwahmu tenang di sisiNya. Amin."

Setelah itu Sang Ayah menyanyikan Hymne Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, semua orang luluh dalam keharuan:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Disusul dengan lagu Padamu Negeri dan semua orang ikut mengiringkannya:
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami (TAMAT/NOVI)

NB: Saya melihat sebuah ketakutan masih membayangi wajah-wajah mereka, kejujuran dan kebenaran akhirnya terhenti sesaat; dia bagaikan senjata Pasopati yang hendak membumi-hanguskan segalanya. Yah, mungkin bukan sekarang, mungkin nanti, bila mereka telah mengetahui makna kejujuran dalam hatinya. Namun saya yakin masih banyak kejujuran di negeri ini, walaupun itu secuil.

Kamis, 10 Desember 2009

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag IV)

Berita ibu guru menurunkan rok dan cdnya seketika menggemparkan desa. Para murid yang kebakaran jenggot akibat ulah bu guru langsung melaporkannya ke orang tua masing-masing. Para wali murid pun serempak berdemo. Mereka mendepak sang guru beramai-ramai. Yanti, demikian namanya tak kuasa menahan derita yang sedang dihadapi. Bu Guru Yanti diusir warga desa, karena dianggap telah mengajarkan pornografi kepada murid-muridnya. Sementara hanya satu anak yang tak bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Dialah Rikno. Karena kebaikan serta kejujuran sang guru itulah Rikno menjadi tahu yang namanya mem*k. Tetapi hal tersebut lantas diartikan banyak orang sebagai perbuatan yang tidak lazim. Yang membuat sang guru harus terlunta-lunta tanpa tempat tinggal.
Berhari-hari sang guru harus mengais makanan dari sampah. Ia seketika menjadi tunawisma "dadakan".
"Kasihan ibu guru Yanti ya," kata Rikno kepada bibinya.
"Sudah kamu tidak usah mikirin itu. Itu semua kan akibat perbuatannya sendiri," sambut sang bibi.
"Lho, kenapa kok bibi malah berkata seperti itu. Bukankah semua ini akibat dari ulah Rikno. Kalau Rikno tidak bertanya soal mem*k, mungkin ibu guru tidak akan menunjukkannya pada Rikno. Dan sekarang Rikno jadi tahu apa itu mem*k."
"Kamu sendiri kenapa tanya-tanya hal-hal yang tidak perlu begitu. Dan sekarang lihat ibu guru Yanti. Di sana sini dia tidak mendapat tempat. Dia sekarang menggelandang."
"Kalau Rikno tanya pada bibi, apakah bibi akan memberitahu?" Rikno membalas ucapan bibinya dengan tangkas.
Seketika mulut sang bibi seperti terkunci rapat. Kata-kata ponakannya seperti bola api panas yang meluncur mengenai dirinya.
"Memang benar Rik, tak semua orang dapat berbicara jujur. Negeri ini memang sedang dilanda krisis kejujuran. Moral semua orang pada rusak, tak terkecuali pemimpin kita. Kalau saja pemimpin kita dan orang-orang yang duduk di kursi terhormat itu mau meluangkan kejujurannya, mungkin negeri ini tidak akan seperti ini. Hanya kejujuranlah modal utama untuk membentuk karakter bangsa ini. Maafkan bibi ya karena telah salah menilaimu."
"Ah, tidak masalah bi. Rikno juga minta maaf jika telah kurang ajar terhadap bibi. Oh iya, bi, terus bagaimana dengan ibu guru Yanti. Apa perlu beliau kita tampung di sini?"
"Rikno, ssstt..." Sang bibi segera meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Apa? Apa maksud bibi ssst..."
"Sudah jangan diteruskan. Yang terjadi biarlah terjadi."
"Tapi Rikno belum paham."
"Apa kamu tidak mengerti dengan adat. Karena adatlah kita dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dan apabila adat sudah bertindak, maka jangan sekali-kali kita berani untuk memainkannya."
"Apa maksud bibi?" Rikno masih belum paham.
"Ibu guru Yanti saat ini tengah menjalani hukuman adat. Dia tak boleh dibantu siapapun."
"Jadi...ja...ja...di...beliau dibiarkan begitu saja!" Seru Rikno.
"Huss, kamu jangan berpikiran begitu. Kalau kita bantu, nanti kita sendiri yang akan kena adab dari adat itu."
"Lalu bagaimana dengan kata-kata ibu soal kejujuran tadi. Mana...mana...?"
Sang bibi segera menundukkan kepala mendengar suara keponakannya yang masih lugu tersebut. (Bersambung lagi coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Selasa, 01 Desember 2009

Dari Mana Kita Peroleh Info Bencana ?

Assalaamu'alaykum Wr. Wb,

Bencana mestinya bisa membuat kita mawas diri, terutama kita sebagai orang yang beriman. Terlepas dari apakah ini azab atau ujian dari Allah SWT, yang jelas Allah sedang menurunkan tanda-tanda kebesarannya. Kalau kita mau memikirkan dan mau "melihatnya".
Gempa di Sumatra Barat kemarin dan hari ini sangat menarik. Saya menerima sms dari adik yang isinya sbb: Coba kita perhatikan waktu gempa utama yang terjadi kemarin, jam 17:16 WIB. Sekarang, coba kita simak Quran Surat 17 (Al Isra) ayat 16:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَافَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَاتَدْمِيرًا"

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkankepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta'ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Kemudian gempa susulan terjadi pukul 17.38. Kita buka Quran Surat 17 (Al Isra) ayat 38:

كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيٍّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا"

Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.
"Saya jadi tergelitik.. .. Gempa susulan lagi yang terjadi tadi pagi di Kerinci (perbatasan Sumatra Barat-Jambi) , kejadiannya pada pukul 8.52. Dengan bergetar... saya coba buka Quran Surat 8 (Al Anfal) Ayat 52:

كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَفَرُواْ بِآيَاتِاللّهِ فَأَخَذَهُمُ اللّهُ بِذُنُوبِهِمْ إِنَّ اللّهَ قَوِيٌّ شَدِيدُالْعِقَابِ"

(keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutny a serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi amat keras siksaan-Nya.
SUBHANALLAH
rom: Azrif Irdam Zahir, Sent: Friday, October 02, 2009 9:20 AM

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag III)

Rikno sekarang disekolahkan ayahnya di desa. Dia ikut bibinya. Tetapi Rikno sudah mulai paham mengenai keadaan di luar sana yang seperti hukum rimba. Orang salah ngomong saja langsung dihakimi, seperti halnya dirinya. Hanya ingin tahu arti mem*k saja semua orang langsung memarahi dan mengumpatnya. Padahal dia benar-benar tidak tahu yang artinya mem*k. Hingga dia memasuki tahun ajaran baru di TK, rasa penasaran Rikno semakin menjadi-jadi. Cuma kali ini Rikno sadar akan posisinya. Yah, dia tak lagi berharap mengetahui jawaban dari orang-orang terdekatnya atau keluarganya. Sebab hal itu nantinya justru akan menambah masalah lagi. Sebenarnya rasa penasaran RIkno sangat besar dan ingin sekali menanyakan prihal mem*k ini ke bibinya. Tetapi lantas dia urungkan.

“Aku takut jika bertanya ke bibi, nanti masalah akan kembali panjang. Di sana saja aku sudah diusir ayah. Masa di sini juga harus diusir lagi. Ah, biarlah nanti aku tanyakan kepada bu guru saja. Mungkin bu guru bisa membantu kerisauanku.” Kata Rikno.

Masa orientasi sekolah TK sudah selesai. Kini Rikno memulai ajaran baru sebagai siswa kelas Nol Besar. Besar harapan Rikno di sekolah barunya ini dia akan menemukan jawaban dari pertanyaannya tersebut.

Saat bu Yanti membuka ajaran pertama, dia kemudian bertanya kepada murid-muridnya.

“Hayo anak-anak, ada yang pengin bertanya?”

Semua murid diam. Tak ada yang berani bertanya. Saat itu kegundahan Rikno timbul tenggelam.

“Ini waktunya aku bertanya. Siapa tahu ibu Yanti bisa menjawabnya!” Seru Rikno.

“Hayo anak-anak siapa yang mau bertanya, kalau tidak ada ibu hitung tiga kali. Satu….dua…tiii…”

“Saya bu…” terdengar jawaban dari belakang bangku.
Rupanya Rikno yang mengacungkan tangan. Semua mata memandang pada anak berumur 5 tahun tersebut. Anak yang duduk di bangku depan serempak menoleh ke belakang, berharap ingin tahu pertanyaan yang diacukan temannya itu.

“Anu bu, Riknomau tanya, tapi ibu jangan marah ya…”

“Lho buat apa ibu marah, lha wong kamu aja belum bertanya!” Seru Ibu Yanti.

“Tapi…tapi…”

“Rikno ga usah takut, bilang saja apa yang mau kamu tanyakan.”

“Biasanya kalau Rikno bertanya demikian ini, semua orang pada marah ke Rikno.”

“Rikno, tidak ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Semua pertanyaan pasti ada jawabannya. Mungkin mereka marah karena sedang capek saja.”

“Bukan itu bu, kata mereka pertanyaan Rikno ini tidak sopan.”

“Rikno apa kata ibu barusan. Kamu tidak perlu takut. Ibu pasti akan menjawabnya sebisa mungkin. Ayo ngomong saja ke ibu ada apa?” Desak Ibu Yanti.

“Rikno cuma pengin tahu sebenarnya mem*k itu apa?”

“Apa, Rik…” Seketika raut wajah sang ibu guru menjadi memerah.
Rikno sudah merasa bahwa pertanyaannya bakal memicu polemik. Dia sadar apa yang diucapkanya tidak sopan. Tetapi dikarenakan rasa keingintahuan Rikno yang besar, maka dia memberanikan bertanya ke gurunya, tak peduli apakah pertanyaannya itu sopan atau tidak.

“Kamu yakin dengan pertanyaanmu itu Rik?” Sang guru bertanya balik ke Rikno.

Rikno mengangguk dengan pandangan mata serius.

“Halah, ga usah dijawab bu. Wong cuma Rikno aja kok. Masa cuma nanya hal-hal yang tidak berbobot gitu.” Sahut teman-teman Rikno sekelas.

“Iya bu, pertanyaan Rikno sungguh lucu. Masa cuma nanya mem*k. Lucu banget.”

“Emang kalian tahu apa itu mem*k?” Ibu guru balik bertanya ke murid satu kelas. Seketika itu suasana yang tadinya hingar bingar menjadi hening. Semua anak saling beradu pandangan. Mencari-cari jawaban yang pas, tetapi justru mereka sendiri tidak tahu yang namanya mem*k.

“Gimana apa kalian tahu apa itu mem*k?”
Semua anak membisu. Sebagian menggeleng kepala.

“Rikno , apa kamu yakin pengin tahu apa itu mem*k.”

“Iya bu.” Jawab Rikno mantab.

“Apa kamu sudah siap mental?” Tanya ibu guru Yanti.

“Iya bu. Rikno sudah siap lahir dan batin.

“Baiklah kalau itu kemauanmu. Ibu tidak akan menjelaskan padamu, sebab kamu sendiri pasti tidak akan mengerti. Ibu akan menunjukkannya padamu.”

Semua anak baik Rikno tak sabar menanti detik-detik mendebarkan itu.

“Rikno…” kata Ibu guru Yanti dengan yakin sambil berdiri di depan Rikno, “kalau kamu pengin tahu yang namanya mem*k. Ini dia mem*k.” Seketika itu si ibu guru membuka rok dan cdnya tepat di depan Rikno dan murid-murid satu kelas lainnya. Dia lalu menunjuk ke arah mem*k yang dimaksud.

“Akh…akhh…ibu guru jorok….ibu guru jorok..” Seketika ruangan kelas menjadi hingar. Para murid saling berhamburan keluar. Mereka yang melihat ulah sang ibu guru tidak tahan, lari tunggang langgang, kecuali Rikno.Dengan penuh kesabaran dan rasa keingintahuan yang sangat tinggi, Rikno memperhatikan meme*k sang ibu guru.

“Jadi ini yang dinamakan mem*k itu?” Tanya Rikno.
Ibu guru Yanto mengangguk.

“Jadi ini yang membuat Rikno keluar ke muka bumi ini?”

“Iya Rikno. Dari sinilah kamu, ibu, dan orang tua sedunia ini dilahirkan. Jadi kamu sudah tahu kan yang namanya mem*k!” Jawab ibu guru yang kemudian menutup kembali auratnya dengan cd dan menurunkan roknya. (Bersambung lagi coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag II)

Siang itu kedua ayah dan anak pergi mengunjungi Bonbon (kebun binatang) Surabaya. Sang ayah sudah tidak sabar untuk menunjukkan makna mem*k yang sebenarnya kepada anaknya.

Di depan kandang gajah, mereka berhenti. Sang ayah menunjukkan pada anaknya dengan menuding ke arah gajah.

“Nah, itu dia yang namanya mem*k!”

“Gajah itu mem*k,” Rikno garuk-garuk kepala, “wah besar sekaleeee…”

“Husy, bukan gajah, tapi ituuuu….”

“Yang mana yah…” Rikno berusaha menajamkan pengelihatannya. Tetap saja yang terlihat badan gajah yang besar.

“Ah, kamu ini gitu aja tidak tahu. Sudah jelas dari sini terlihat kok,” jawab ayahnya sedikit geram.

“Yang mana, apa yang panjang itu!” Seru Rikno.

“Kalau itu belalai namanya. Yang di belakang itu loh. Yang tepat di ekornya.”

“Oh, itu ya yang namanya mem*k. Iya yah aku tahu. Jadi mem*k itu fungsinya untuk nelek ya yah.” Sang ayah semakin frustasi dengan anaknya. Berkali-kali diberitahu tetap saja tidak tahu. Lelaki itu kehabisan ide.

“Ya sudah gini aja, kita lihat di sana lagi.” Dia menggandeng anaknya sembari menikmati kacang rebus.

Suasana hari itu cukup sejuk, mendung memayungi seisi penghuni Bonbin, sehingga tak ayal beberapa satwa pun memanfaatkan waktu untuk bercinta alias membuat anak.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat dua ekor kera sedang memadu kasih.

“Ah, ini dia,” celetuk sang ayah, “monyet adalah binatang yang menyerupai manusia. Jadi ini pasti mudah bagiku untuk menunjukkan mem*k kepada Rikno.”

“Rik…Rik…sini cepat!” Seru ayahnya. Rikno berlari-lari kecil dan kemudian berdiri tepat di samping ayahnya.

“Kamu lihat kera yang sedang berciuman itu,”

“Kenapa dengan mereka yah.”

“Lihat saja dulu.”

“Sudah yah.”

“Ya itu mem*k.” Sang ayah menyaksikan pemandangan dengan takjub. Dalam hatinya berkata, “hmm, rupanya kalau kera sedang bercinta juga mirip manusia. Jadi pengin nih.”

“Yah…yah…” Rikno menarik baju ayahnya, “Rikno masih belum paham. Yang mana mem*k?”

“Oh duasar anak guob…” buru-buru sang ayah meralat ucapannya, takut bila makian kasar itu justru akan mengganggu pendewasaan sang anak.

“Masak sudah jelas begitu kamu masih belum tahu.” Rikno menggeleng.

“Gini aja biar ayah jelaskan sedikit. Kamu tahu yang di atas itu.” Rikno mengangguk.

“Dia itu pejantannya. Nah, yang di bawah itu betinanya.” Rikno mengangguk paham.

“Kamu tahu apa yang sedang mereka lakukan?” Rikno menggeleng.

“Mereka sedang bercinta. Kamu lihat bagian bawah itu, apa yang dilakukan si jantan terhadap si betina. Lihat baik-baik.”

“Sudah yah, jadi itu ya yah.”

“Ya nak, itu yang namanya mem*k.” Sahut ayahnya.

“Iya yah, sekarang Rikno sudah paham.” “Kalau kamu sudah paham, kamu dilarang bertanya lagi soal mem*k ke orang lain. Kamu paham yang ayah katakan ini.” Rikno kembali menggangguk, tetapi sebenarnya dia belum paham betul. Benaknya terus berkecamuk, “Apa benar mem*k itu kera yang saling tumpang tindih. Masak kalau sekedar binatang yang tumpang tinding nenek, ibu, dan ayah marah. Pasti aku sedang dibohongi oleh mereka. Aku tidak percaya dengan kata-kata orang dewasa. Cara ayah menjelaskan padaku juga tidak ikhlas begitu. Masa cuma binatang saja begitu sulit menjelaskan. Aku yakin yang namanya mem*k lebih dari itu.”

Setelah itu keduanya pulang ke rumah. Sang ayah langsung masuk kamar dan tidur. Ibu Rikno menyambut kepulangan mereka dengan hati riang. Sebelum masuk kamar sang ibu menegur suaminya.

“Gimana yah, apa Rikno sudah diberi penjelasan?”

“Sudah, kamu ga usah mikir itu lagi. Ayah mengantuk.”

“Syukurlah kalau begitu yah. Kalau anak itu tidak segera diberi tahu, dia bakal melunjak, berani kepada orang tua.”

***

Menjelang sore, keluarga Rikno kedatangan tamu, seorang pejabat lokal. Ceritanya sang pejabat sedang ada keperluan bisnis dengan ayah Rikno. Ayah Rikno saat itu sedang di kamar untuk berganti pakaian. Sementara ibunya berada di dapur membuatkan minuman untuk sang tamu. Si nenek keluar membeli makanan snack.

Di ruang tamu hanya ada sang pejabat yang sedang duduk santai sambil menikmati lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Rikno melihat keberadaan orang asing langsung menemui. Tanpa banyak cincong Rikno segera bertanya dengan tema yang masih sama.

“Bapak siapa?”

“Hei, anak kecil, kamu siapa juga?”

“Huh, ditanya malah balik bertanya. Tidak sopan.” Celetuk Rikno dalam hati. “Bapak siapa kok?” Rikno bertanya merengek.

“Saya anggota dewan.”

“Apa itu anggota dewan?” Rikno balik bertanya.

“Wakil rakyat.” Jawab sang pejabat singkat.

“Jadi bapak tahu segalanya.” Sang pejabat tersenyum memandang Rikno.

Dengan senyuman itu, Rikno menganggap sang pejabat seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik. Pikirnya, ah, tidak ada salahnya bertanya soal mem*k kepada sang pejabat.

“Masa seorang wakil rakyat bisa marah, kan pertanyaanku juga bersangkutan dengan wakil rakyat, kan aku juga wakil rakyat yang suaranya perlu diwakili, perlu dijawab.”

“Pak, boleh Rikno bertanya?”

“Silahkan!”

“Tapi bapak jangan marah ya.”

“Tergantung pokok pembahasannya.”

“Lho, masa cuma anak kecil seperti Rikno yang bertanya bapak bisa marah. Berarti bapak bukan wakil rakyat. Bapak bohong.”

“Tidak…tidak…kamu jangan salah sangka begitu. Oke, apa pertanyaanmu, Insya Allah jika bisa, bapak akan menjawabnya.”

“Begini pak, selama ini keluarga Rikno selalu membohongi Rikno. Padahal Rikno bertanyanya sopan. Tapi menurut mereka pertanyaan Rikno tidak sopan dan kurang ajar.”

“Iya, apakah itu?” Sang pejabat penasaran.

“Apa itu mem*k, Pak?” Sang pejabat kaget. Matanya kemudian melotot. Tak lama dia mengumpat dengan umpatan tidak mencerminkan seorang anggota dewan, yang katanya wakil rakyat itu.

“Diamput…dasar anak bebal. Siapa yang mengajari kamu berkata seperti itu. Mana bapakmu, mana ibumu? Pasti mereka orang tua tidak berbudi, tidak berakal sampai membiarkan anaknya berbuat kurang ajar begini.”

“Tuh kan bapak pasti marah.”

“Bagaimana tidak marah, pertanyaanmu itu loh…akkhhh…panggil orang tuamu, cepat!” Sang pejabat marah dengan berkacak pinggang. Tak lama ayah Rikno dan istrinya keluar menemui tamunya. Tetapi mereka lantas disambut caci maki dan omelan.

“Apa kalian tidak pernah mengajarkan tata krama pada anak kalian. Bagaimana anak sekecil itu bisa berkata mem*k. Itu tidak sopan namanya. Bodoh!”

“Maafkan kami pak. Sebenarnya Rikno sudah berkali-kali kami berikan penjelasan, tetapi rupanya hingga detik ini belum mengerti juga. Riknoooo…..” sang ayah memanggil dengan gusar.

Betapa lelaki itu tidak bisa menyembunyikan rasa malunya di hadapan tamu agung. Rikno datang tersenyum seolah tanpa dosa sambil menenteng mainannya. Wajar Rikno tidak tahu apa-apa karena memang anak sekecil belum waktunya mengerti. Dikarenakan pula orang tuanya dan orang-orang di sekelilingnya tidak pernah mengajarinya pengetahuan yang layak.

“Apa benar kamu bertanya pada pak pejabat soal mem*k?” Rikno mengangguk.

“Sudah berapa kali ayah bilang jangan bertanya soal itu lagi.” Ancam sang ayah. Dan…tiba-tiba plok! Sebuah tamparan mendarat di wajah Rikno. Pukulan yang akan diingat untuk selamanya. Tentu saja ini membuat Rikno bersedih. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang dewasa. Bagaimana mungkin seorang anak kecil bertanya mengenai sesuatu yang tidak dipahami terus dilarang. Baginya ini tidak adil.

“Mulai sekarang kamu ayah usir. Kamu tidak boleh tinggal di sini lagi. Dan ayah tidak mau mengganggapmu sebagai anak. Mulai sekarang kamu tinggal saja di desa dengan bibimu.” Ancam ayahnya.

“Iya, kamu dasar anak tidak tahu balas budi. Mulai besok ayah akan mengantar kamu ke desa. Jangan lagi kamu berani kembali ke rumah ini. Awas ya!” Ancam ibunya.

(Bersambung lagi coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Jumat, 27 November 2009

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag I)

Rikno, anak TK yang lugu, keras, pantang menyerah, dan memiliki rasa keingintahuan sangat tinggi. Suatu hari Rikno mendatangi neneknya dan bertanya sesuatu hal yang selama ini telah membelenggu otaknya.
"Nenek, boleh ngga Rikno tanya sesuatu?"
"Mau tanya apa toh, Cu!" Seru sang nenek penasaran.
"Anu nek, itu loh, Rikno mo nanya sebenarnya mem*k itu apa?"
"Apa???" Si nenek kaget bukan alang kepalang. Ia naik pitam, "dasar anak guoblok. Anak cecunguk. Dungu. Tidak tahu aturan. Siapa yang mengajari kamu berbicara tidak sopan begitu, hah, ayo jawab?"
Rikno diam saja.
Si nenek semakin tidak bisa menahan emosinya. Berkali-kali Rikno mendapat cubitan dan makian. Tetapi Rikno tetap diam, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan neneknya. Sampailah kesabaran si nenek memuncak.
"Riri...Riri...kemari kamu nak. Ini anakmu telah berbuat kurang ajar pada orang tua." Si nenek memanggil anaknya, yang juga ibu Rikno.
Riri yang berada di dapur merasa telinganya kepanasan, dia buru-buru menghampiri ibunya yang berada di ruang tengah.
"Ya ampun bu, ada apa toh kok teriak-teriak, malu tuh didengar tetangga."
"Biar saja, ini lho anakmu sudah kurang aja sama orang tua."
"Ada apa toh tole?" Tanya Riri mendekati Rikno yang sedang bersedih.
"Ndak kok bu..."
"Ayo jangan bohong kamu, tadi kamu bilang apa sama nenek." Si nenek mendesak Rikno sambil mencubit-cubit pahanya.
Dengan terbata-bata Rikno menjawab lirih:
"Rikno...Rikno...cuma pengin tahu....ah, ga jadi ah, nanti ibu juga marah!"
"Sudahlah kamu bilang saja sama ibu, ibu ga akan marah kok!"
"Rikno cuma ingin tahu mem*k itu apa?"
"Hah," plok, seketika itu tamparan Riri melesat di pipi anaknya, "dasar anak tidak tahu diri. Nih rasakan lagi," plok! plok!
Seketika itu Rikno menangis sejadi-jadinya.
"Hua....hua...hua..."
Murka sang ibu rupanya melebihi murka sang nenek.
"Biar saja, ayo nangis yang keras, biar sekalian ditambah pukulan oleh ayahmu."
Tak lama sang ayah yang merasa terusik tidurnya terbangun dan menunjukkan raut muka merah padam.
"Ada apa ini. Apa kalian tidak tahu kalau ada orang tidur?"
"Ini yah, anakmu sudah mulai kurang ajar. Kecil-kecil sudah mikir pornografi. Siapa yang mengajarimu, hah, ayo jawab." Jawab Riri geram.
Rikno yang mendengar kata "pornografi" semakin tidak paham. Kemana arah orang tuanya berbicara. Masa cuma bertanya arti kata mem**k saja tidak boleh, batin Rikno berkata.
"Apa yang telah dilakukan anak kita, bu?" Tanya ayahnya.
"Itu yah, dia sudah berani bertanya soal mem*k. Pasti yang ngajarin ayah ya?" Tuding Riri.
"Ah, kamu bu bisa-bisa aja, apa benar yang dikatakan ibumu itu Rik?"
Rikno tidak berani menjawab. Sebab setiap pertanyaan yang keluar selalu membuat orang naik pitam. Lebih baik aku diam, gumamnya dalam hati.
"Ayo jawab dong, apa benar yang dikatakan ibumu itu!" Sang ayah terus mendesak.
Rikno malah menggeleng.
"Jangan bohong ya, atau ayah bisa marah nih. Katakan saja, ayah tidak akan marah kok."
"Itu yang nenek dan ibu katakan sebelumnya. Tidak akan marah, tapi buktinya..."
"Jadi kamu sudah tidak percaya dengan ayahmu lagi ya."
"Percaya kok yah."
"Kalau begitu bilang ke ayah apa masalahmu?"
"Rikno tadi cuma tanya mem*k itu apa?"
"Hmm...jadi itu yang kamu tanyakan." Untuk sesaat sang ayah berpikir. Menurut sang ayah memang tidak salah seorang anak bertanya sesuatu yang belum diketahui, apalagi yang bersangkutan dengan yang namanya mem*k. Ini adalah tugas orang tua untuk menunjukkan kapasitasnya kepada orang tua. Tetapi untuk yang demikian ini, memang berat. Bagaimana cara untuk menunjukkan mem*k pada Rikno, sang ayah berpikir dengan keras.
"Kamu tahu Rik, darimana kamu keluar?"
Rikno menggeleng.
"Ya, dari mem*k itu." Jawab ayahnya.
Rikno tetap menggelang bahkan posisi tubuhnya diatur untuk mendengarkan wejangan sang ayah.
"Bagaimana kamu sudah paham?" Tanya ayahnya yang sudah tidak sabar ingin melanjutkan tidur siangnya.
"Belum yah. Masih bingung. Emang mem*k itu tempatnya dimana?" Rikno balik bertanya.
"Hmmm...gitu ya. Kamu yakin pengin tahu mem*k?"
Rikno mengangguk.
"Ya udah sana kamu ganti baju dulu, trus ikut ayah. Akan ayah tunjukkan dimana mem*k itu."
Betapa senang hati Rikno karena ternyata ayahnya seorang pengertian. Sebentar lagi rasa penasarannya segera terobati sebab ayah akan menunjukkan kepada Rikno apa itu mem*k. (bersambung coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Kamis, 26 November 2009

Seorang Ibu Tahu Apa yang Terbaik Buat Anaknya...

Pulang dari Kediri naik bus. Lihat ibu-ibu naik dari Jombang membawa dua anaknya yang masih kecil. Saya punya nama panggilan buat mereka. Yang kecil saya namai Eki. Umur 1 tahun. Yang besar saya panggil Pasha. Umurnya 2 tahun. Awalnya biasa-biasa saja. Tak lama Pasha tiba-tiba menangis. Entah siapa yang mengganggu, dia merengek kepada ibunya. Rupanya si ibu ini bukan seorang yang sabar.

Dengan lantang dia mengancam anaknya begini:
"Husy, jangan nangis..." katanya sambil meletakkan jari telunjuk di mulutnya.
Tapi Pasha tetap saja rewel dan tak mau berhenti.

Dan...plok...tiba-tiba mendarat tamparan di pipi Pasha karena geramnya si ibu.

Saya cuma bisa istighfar melihatnya.
Ya Allah, apa benar yang dilakukan si ibu ini?

Si anak belum juga reda tangisannya. Malah menjadi-jadi. Rengekannya, kalau boleh saya artikan, sampai membuat seisi penumpang terbangun.
Mungkin si ibu saking jengkel dan malunya, dia kembali melemparkan berpuluh-puluh ancaman dan makian. Dari yang saya kutip begini:
"Kalau kamu masih berani, akan ibu lempar sekarang juga dari bus." Ancamnya.
Padahal saat itu bus melaju cukup kencang.

Saya khawatir kalau ancaman itu benar-benar jadi kenyataan. Apalagi si ibu dan anaknya duduk di deretan kursi paling belakang, tepat di samping pintu. Sedang saya berada di sebelahnya.

Mendengar ancaman si ibu, saya pun mulai pasang kuda-kuda. Kalau hal itu sampai terjadi saya siap menyelematkan nyawa Pasha. Tapi rupanya semua itu hanya gertakan sambal saja. Mungkin cuma ingin menakut-nakuti si bocah. Namun demikian ancaman itu semakin bertambah kencang. Si bocah yang tak mau diam terus-terusan dihujani ancaman yang menurut saya tidak pantas didengar.

Salah satunya ini:
"Kamu kalau masih belum diam, ibu turunkan di sini. Ibu sudah ga mau menganggapmu sebagai anak. Dasar bandel. Lihat adikmu saja diam."
Plok...suara tamparan kembali menimpa mulut Pasha kecil.

Aih...benar-benar kasar kata-kata si ibu. Saya terus bertanya, kira-kira apa sudah benar cara mendidik ibu ini. Mungkinkan si kecil mau menuruti kata-kata ibunya, walau sebenarnya sangat merugikan dirinya.

Berulang kali saya memutar otak, menyalahkan pringai si ibu dan ketidakberdayaan Pasha dan Eki, yang tak lama ikut menangis karena tak tahan mendengar omelan ibunya kepada kakaknya.

Eki yang nangis juga tak luput dari omelan si ibu:
"Kamu juga, kalau ikutan nangis, nanti ibu buang di sini biar ditemu orang lain. Biar saja sekalian ibu tidak memiliki anak-anak seperti kalian tidak apa-apa"

Ya Allah, seketika pikiran saya langsung lemas. Apa tidak salah kata-kata si ibu ini. Masakah karena menangis saja mereka mau dibuang. Saya memang berusaha tidak mempedulikan, tetapi telinga saya sepertinya tak bisa dibohongi. Setiap dialog yang terjadi antara si ibu dan anak-anaknya, selalu masuk ke telinga kanan dan kemudian merangsek memasuki hati nurani. Berkali-kali saya menyumpahi si ibu. Tapi kemudian ada kekuatan lain yang merong-rong pendalaman saya. Katanya begini: seorang ibu tahu apa yang dilakukan, apa yang terbaik bagi anak-anaknya?

Benarkah itu? pikiran saya tetap tidak menentu.

Tak lama seorang penjual tahu naik.
"Tahu...tahu..."

Si anak kembali merengek, meminta dibelikan tahu. Sebaliknya si ibu malah marah.
"Kan sudah ada. Ga usah beli."

Rengekan Pasha kembali memuncak. Si ibu malah berang. Berkali-kali mulutnya ditampar agar diam.
Plok...

Yah, ditampar lagi, kata saya dalam hati. Kasihan benar nasib anak ini. Mungkinkah dia nasibnya akan seperti Ari Hanggara, sebuah peristiwa memilukan hati semua orang dimana akibat kemarahan orang tuanya, Ari Hanggara kemudian tewas.

Aku harus turun tangan, pikir saya waktu itu. Kalau si ibu tidak membelikan "tahu" itu, biar saya yang membelikannya. Tetapi sekali lagi ada rasa yang lain yang membuat saya menghentikan langkah. Yah, secara tiba-tiba saja rasa itu kembali menyeruak tajam dan berkata demikian, "seorang ibu tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya?"

Duh, Gusti, apalagi ini...

Benar juga, saya pikir saya orang yang perlu campur tangan. Saya sekedar orang lain. Tidak sepatutnya saya campur tangan untuk urusan seperti ini, kecuali memang hal ini sangat emergency. Sepintas saya melihat memang tidak darurat. Cara penanganan si ibu menurut saya masih dalam batas kewajaran, tetapi iya begitu, dalam batas wajar yang tetap saja tidak wajar bagi hati nurani saya.

Apa mungkin saya harus membelikan "tahu"?

Tak lama si penjual tahu yang mengetahui rengekan si anak, tiba-tiba dia memberikan sebuahnya gratis.
Apa yang terjadi? Si ibu malah menolaknya.

Loh...loh...mana ini yang benar, pikir saya.

Si ibu berkata dengan wajah geram:
"Enggak pak, di tas sudah ada kok."

Saya tidak tahu apakah di tas ada atau tidak atau si ibu sengaja membohongi agar anak-anaknya patuh padanya. Yang jelas pada waktu itu saya bersyukur karena tidak jadi malu. Seandainya waktu itu saya berusaha turun tangan, entah mau ditaruh ke mana muka ini. Masih beruntung si penjual tadi, dia tidak akan malu karena memang profesinya sebagai penjual. Tugasnya menjual dan memberi. Andaikata ditolak atau tidak direken, itu hal yang biasa.

Setelah itu saya terus berpikir, apa yang sebenarnya ada dalam benak si ibu ini. Apakah ini salah bentuk pendidikan yang baik buat anak-anaknya. Dan lagi-lagi kata-kata yang muncul dalam benak selalu sama: seorang ibu tahu apa yang mesti dilakukannya. Seorang ibu tahu apa yang terbaik buat anaknya.

Benarkah itu? Pikir saya.

Tak lama...sebuah kejadian yang menurut saya ajaib terjadi.
Tak ada rengekan, tangisan, kerewelan di bus yang melaju dari Kediri menuju Surabaya tersebut. Saya heran. Apa yang terjadi?

Saya sempat melihat, Pasha dengan manja merajut ke pundak ibunya. Membelai pipi ibunya dengan manja. Si kecil, si Eki malah ngempong di dada ibunya. Mereka saling akur.

Saya bertanya-tanya dalam hati, lalu dimana semua ancaman tadi, ancaman yang tidak mau mengakui mereka sebagai anak, ancaman menampar dan memukul, ancaman yang hendak membuang mereka. Mana semua itu?

Kembali saya dihadapkan pada perkara semula. Yah...seorang ibu tahu apa yang terbaik buat anaknya. Kiranya hanya itu jawaban yang bisa saya terjemahkan dengan kejadian ini. Dan sebelum turun, si ibu sempat melemparkan senyum kepada saya. Senyum yang menurut saya sangat aneh dan sekaligus luar biasa. Senyum yang sulit diterjemahkan dengan semua kamus di dunia ini. Senyum yang mengundang hal-hal baru bagi kehidupan saya. Sebuah senyum yang penuh misterius yang sampai sekarang sulit saya tangkap dengan akal pikir saya sebagai seorang bujangan.

Catatan saya dari bus Harapan Jaya
Kediri menuju Surabaya
4 Nov 09. Pukul 15.00

HAI SUARA, AKU SANGAT MENCINTAI DIA...

Cintaku padanya da sangat besar sebesar gunung Mahameru.

Saking besarnya sampai-sampai aku dibuatnya gusar, bingung, sumpek, stress, gila.

Suara: Siapa? Ana?

Aku: Eh, bukan.

Suara: Lalu siapa? Ani?

Aku: Bukan juga.

Suara: Di pesbuk itu banyak, ada Lia Kanzha, apa dia?

Aku: Nganu...emm...bukan dia...

Suara: Trus diapa dong?

Aku: Ada deh!

Suara: Ih, curang deh kamu, masa kamu boleh dengerin suaraku, tapi aku tidak boleh tahu pacarmu...

Aku: coba tebak aja?

Suara: Apa neni widayani?

Aku: Ah, enggak. Dia cuma teman kuliahku.

Suara: Aha, aku tahu tuh, pasti cinta mahar ya.

Aku: Bukan juga. Ah, masa kamu suara tidak bisa menebak sih. Apa kekuatanmu yang selalu disokong oleh angin, bumi, air dan api itu sudah hilang. Kacian deh lu...

Suara: Jangan begitu, aku tetap suara sebagaimana mestinya suara. Aku bisa mengetahui apa-apa yang orang tidak ketahui, yakni melalui tingkah laku mereka.

Aku: Tapi kamu kan tidak bisa menebak hati manusia. Sebab hati manusia itu sehalus sutra dan seluas samudera. Jangankan kamu, para malaikat yang duduk di langit saja tidak bisa tahu bagaimana hati manusia.

Suara: Tapi hati manusia bisa congkak juga, ya...kayak kamu itu!

Aku: Ah, itu perasaanmu saja. Aku biasa-biasa saja kok!!

Suara: Trus siapa dong kekasihmu itu. Apa dia anak orang kaya?

Aku: Ga tuh. Biasa-biasa saja tapi dia hebat sekali.

Suara: Apa dia Novi Kusuma?

Aku: Bukan!!!

Suara: Oh, aku tahu apa dia bernama Astrid Reva Angelica yang mantanmu dulu.

Aku: Salah besar.

Suara: Yah, di bukumu ada juga tulisan soal Kiftiya. Apa dia?

Aku: Wrong! Wrong! Wrong!

Suara: Trus siapa dong pacarmu yang sekarang. Oia aku baru tahu kemarin kamu ke Jogja kan. Trus ketemu cewek. Namanya sangat indah, menggambarkan betapa megahnya alam. Namanya Tunjung Pratiwi kan? Tunjung artinya bunga dan pratiwi berarti bumi pertiwi atau tanah air.

Aku: Emm...apa ya...malu aku ngomongnya. Tapi artinya memang bener itu. Dia bener-bener sosok yang luar biasa.

Suara: Iya kan bener dia. Aku sih no problem kamu sama dia!

Aku: Bukan.

Suara: Hah, bukan juga. Trus siapa dong?

Aku: Kamu mau tahu kekasihku yang telah membuatku jadi seperti ini, yang senantiasa membuatku bingung tujuh keliling, yang membuatku tidak bisa tidur nyenyak, yang membuatku seperti terkontaminasi oleh polah tingkahnya dia, yang membuatku tergila-gila sampai nyaris aku dibuat stress, yang membuat seluruh panca inderaku mati rasa, yang membuat tubuhku bergetar hebat manakala dia kusebut namanya, yang membuatku...ah, pokoknya gundah gulana deh!

Suara: Iya, siapa....

Aku: Aku akan beritahu ke kamu, tapi jujur ya kamu tidak akan bilang ke siapa-siapa.

Suara: Iya aku janji akan menutup suaraku.

Aku: Alah, yang namanya suara tidak bisa ditepati kata-katanya. Kau selalu ada dimana manusia ada. Kadang kau buruk, kadang kau baik hanya sesuai yang kamu ingini.

Suara: Trus maumu aku apa, diam selama-lamanya. Itu namanya kiamat bung...yang namanya kehidupan itu adalah pertumbuhan atau perkembangan. Suara akan selalu ada dimana ada manusia.

Aku: Ya sudah terserah kamu. Sini kubisikkan, dia...oleh orang-orang...dipanggil...Allah. Tapi aku lebih menyukai dia sebagai kekasihku.


Wallahua'lam bissawaf

Rabu, 20 Mei 2009

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 14) -- Caligula Merantau Keluar Istana

(Sebelumnya)
Suasana Romawi di luar tembok istana sangatlah kelam. Kemiskinan merajalela. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penjarahan hak milik terjadi dimana-mana. Dan martabat wanita sangatlah rendah. Ia diperjualbelikan bebas. Malah organ tubuh tersembunyinya bisa dijual secara eceran. Colek dan remas payudara ada harganya. Dan pegang serta permainkan kemaluan perempuan, harga yang lain lagi.

Caligula ada di daerah yang kumuh dan kacau itu. Raja ini memakai pakaian hitam dekil, sama seperti yang dikenakan rakyat kebanyakan. Hanya, agar wajahnya tak dikenali, ia memakai penutup kain hitam, untuk menyembunyikan sebagian wajahnya.

Raja yang gemar pesta itu seperti orang asing di negeri sendiri. Kini ia harus menghadapi kenyataan hidup. Tak ada pengawalan istimewa. Tak ada perlindungan. Dan harus berperang melawan hidup yang keras dan ganas di masyarakatnya sendiri yang hidup papa.

Caligula harus menghindari berbagai cekcok yang terjadi. Ia perlu melakukan perlawanan jika ada yang akan menodongnya. Dan sewaktu-waktu, terutama jika ada yang mengenalinya sebagai raja, maka jiwanya bisa melayang sewaktu-waktu. Sebab rakyat Romawi telah menaruh dendam. Mereka menganggap, kemelaratan yang mereka jalani akibat kebijakan raja yang hidup hura-hura dan foya-foya.

Tapi raja yang sudah sakit jiwa itu tak memperdulikan semua itu. Ia tegar hidup di tengah kekacauan, karena tak menyadari bahaya yang tersembunyi di balik semua itu. Malah ia seperti keasyikan. Ia merasa menjadi hero sekaligus dewa, yang punya kekuatan metafisis dan bebas kemana saja dan mau berbuat apa saja.

Petualangan Caligula di luar istana itu akhirnya sampai di kerumunan massa. Ia menyeruak disana. Tampak pertunjukan teater rakyat sedang digelar. Lakon yang digelar adalah kisah tentang dirinya. Para seniman itu sedang melempar kritik terhadap arogansi raja. Ia juga mengecam hubungan intim Sang Raja dengan adiknya, Drussila.

Ketika seorang pemain yang berperan sebagai Drussila muncul ke panggung, emosi Caligula tak terbendung. Ia mengamuk. Ia maju ke tengah tontonan itu, dan membabibuta merusak pagelaran yang berjalan.

Senin, 16 Februari 2009

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 13) -- Caligula Menjadi Gila

(Sebelumnya)

Caligula kini histeris. Ia berteriak dan menggoyang-goyang tubuh Drussila yang telanjang dan lunglai. Laki-laki ini kemudian mendudukkan tubuh adiknya. Ia peluk tubuh itu. Ia dekap erat sambil airmatanya bercucuran. Ia hilang akal membangkitkan adiknya dari kematian.

Tubuh gadis itu kemudian diangkatnya. Ia bopong. Dengan tertatih-tatih mayat Drussila dibawa turun dari peraduan. Mayat itu diangkat ke altar penyembahan. Ia tempatkan mayat adiknya yang bugil itu di singgasana yang biasa menjadi tahta Dewi Ishes. Caligula berharap muncul kemujijatan. Datangnya kekuatan dari dunia lain yang bisa menghidupkan kembali adik terkasihnya.

Namun setelah segala upaya yang dilakukan tak mampu menghidupkan kembali Drussila, laki-laki ini pun putus asa. Ia hanya mampu menangis dan menangis. Dan itu dilakukan di samping mayat adiknya, hingga laki-laki yang sangat berkuasa itu tertidur pulas disana.

Ketika terbangun, para menterinya dengan sikap santun berdiri di dekatnya. Wajahnya nampak sendu, sebagai ungkapan ikut berbela sungkawa. Para pengawal istana juga melakukan gaya yang sama. Saat itulah dengan suara lantang Caligula memberi instruksi negara sedang berduka. Seluruh pesta ditiadakan. Keramaian dihapuskan. Dan penduduk Romawi diwajibkan melakukan perkabungan total. Dilarang tertawa selama masa berkabung!

Saat itulah suasana kelam memayungi kerajaan Romawi. Istana sepi dan mencekam. Raja menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia berganti kain hitam. Begitu juga dengan para elitnya. Para pembesar itu tak berani memakai pakaian lain. Ia terpaksa harus berpakaian sama seperti yang dikenakan Caligula.

Raja yang stres ini juga mulai tak kerasan berlama-lama di kamar. Ia berjalan mengelilingi istana. Memonitor para elit politik dan keluarganya. Jika ada yang tertawa di hari perkabungan itu, maka nyawanya akan melayang. Ia dijatuhi hukuman mati.

Istana Romawi kusam. Riuh rendah pesta hilang sudah. Bunyi-bunyian senyap. Saban hari yang terdengar adalah kematian. Orang yang dieksekusi mati. Itu terjadi berulangkali. Akibatnya, suasana istana jadi mencekam. Tak ada yang berani bicara dan berkumpul. Sebab jika itu terjadi dan disalahartikan, maka nyawa bakal melayang.

Memang, instruksi raja soal kerajaan berduka sangatlah ketat. Tertawa, cekikikan, desahan nafas hubungan intim laki perempuan, serta senyuman tak sengaja sekalipun dianggapnya pantangan. Hal-hal itu ditafsirkan sebagai bentuk kegembiraan.

Caligula secara terus menerus menginspeksi kondisi para elit politik yang tinggal dalam istana itu. Raja ini tak pernah diam. Ia berjalan kaki kemana-mana dan melakukan pemeriksaan. Jika ada yang dianggapnya sedang bergembira, Caligula langsung masuk rumah itu. Ia perintahkan para pengawal menyeret yang bersangkutan ke ruang pembantaian, dan disana dibunuh dengan kejam.

Itulah yang menjadikan istana menjelma menjadi kawasan yang menakutkan. Dimana-mana tampak muka-muka tegang. Jika berjalan dan kebetulan kepergok raja, semuanya harus berakting sedih. Lebih terpuji lagi kalau bisa menangis dengan berurai airmata.

Setelah suasana mencekam itu berlangsung lama, suatu hari, Caligula berteriak-teriak tak karuan di dalam istana. Kain hitam yang dikenakan dilebarkan dengan dua tangan. Ia mengepak-kepakkan kain itu. Ia kembali terbius imajinasi lamanya, ingin menjadi burung yang terbang bebas kemana ia suka.

Bicaranya pun mulai ngelantur. Ia merasa telah menjadi dewa. Dewa penguasa jagat raya yang tak ada tandingnya. Caligula berlarian dalam halaman luas istana. Saban bertemu orang ia paksa untuk mengatakan itu. Jika tidak, akan dibunuh.

Setelah mengusik ketenangan penghuni istana, Caligula tiba-tiba meloncat terbang ke luar istana. Ia berbaur dengan rakyat jelata yang nasibnya amat menderita. Ia hidup liar disana. Dan bahaya sedang mengancam raja. Sebab kemelaratan sedang terjadi dimana-mana, karena urat nadi ekonomi rakyat semuanya disedot masuk ke dalam istana. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Selasa, 03 Februari 2009

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 12) -- Merangsang Birahi Sang Mayat

(Sebelum)

Melihat Drussila meninggal dunia, Caligula seperti tak percaya. Hatinya guncang. Ia panik. Laki-laki ini tak terkontrol lagi geraknya. Ia naik turun ranjang, dan tak jelas apa yang diinginkan. Saat itulah ia berteriak histeris. Ia mengusir seluruh yang hadir di ruangan itu untuk keluar ruangan.
Kini Caligula sendiri di kamar. Ia hilang akal. Ia mendekati patung Dewi Ishes yang selama ini dipercaya sebagai sumber kekuatan, kekuasaan, dan kelanggengan hidup. Di bawah patung ini ia menyembah. Ia menghiba seperti anak kecil, minta agar Drussila yang telah terpisah jiwa dan raganya disatukan kembali.

Tapi patung itu bisu seribu kata. Patung itu tak bergerak dan menjawab permintaan Caligula. Laki-laki ini pun sangat marah. Ia mengumpat dan mencaci patung itu. Dengan kekuatannya ia dorong dan banting patung itu hingga pecah berkeping-keping.

Dengan kebingungan laki-laki ini kembali mendekati mayat adiknya. Ia goyang-goyang dan dengarkan detak jantungnya. Tapi semuanya tetap sama. Drussila terdiam tak bernyawa. Saat itulah, seperti orang kesetanan, Caligula merobek satu persatu kain penutup tubuh gadis ini. Ia telanjangi mayat gadis ini.

Setelah bugil, tubuh Drussila diciumi. Dengan bernafsu, Caligula melakukan itu. Mulutnya bergerak bebas di wajah, leher, dan berhenti di payudara gadis yang telah menjadi mayat ini. Ia kulum payudara itu sepenuh hati. Ia perlakukan payudara itu seperti sumber kehidupan bagi seorang bayi. Caligula merasa tentram dengan melakukan ulah itu. Tapi harapannya agar Sang Adik hidup kembali taklah kesampaian.

Melihat adiknya masih lemas terkulai tak bernyawa, tubuh Caligula melorot ke bawah. Wilayah sensitif gadis ini diciumi dan diraba-raba. Jari tangannya bermain di wilayah terlarang gadis itu. Ia terus melakukan itu sambil nafasnya memburu, berusaha menjiwai sepenuh hati.
Tapi rangsangan itu tak membangkitkan nafsu birahi Sang Adik. Drussila tidak terangsang. Ia tetap terbujur kaku, tak ada tanda-tanda gadis ini akan kembali hidup lagi. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Senin, 02 Februari 2009

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 11) -- Drussila Meninggal Dunia

(Sebelumnya)
Caligula nampak terkejut. Ada mimik kecewa terhadap jenis kelamin bayi itu. Melihat perubahan wajah Sang Kakak, Drussila cepat tanggap. Ia langsung bilang, biar wanita, ia bisa menjadi pewaris tahta. Ia bisa menggantikan ayahnya untuk menjadi raja Romawi.

Kalimat Drussila itu membahagiakan Caligula. Raja pemarah itu tak lagi bersungut. Ia kembali bahagia. Ia berteriak-teriak kegirangan. Dengan lantang Caligula mengumumkan kerajaan Romawi bakal melakukan pesta besar-besaran untuk menyambut kelahiran jabang bayi itu.
Sabda pandita ratu. Yang terucap langsung direspons yang hadir. Dalam tempo cepat, keriuhan pesta pun berjalan. Hiruk-pikuk terjadi di dalam istana ini. Makanan dan minuman keras dihidangkan. Termasuk laki-laki telanjang dan perempuan bugil berserak di ruang itu. Pesta gila-gilaan terjadi. Dan adegan sodomi, oral seks, serta heteroseks pun memenuhi aula prosesi kelahiran itu.

Saat para elit politik kerajaan Romawi melakukan pesta massal itu, Drussila merasakan kepalanya pening. Tubuh gadis ini menggigil. Keringat bercucuran. Pakaian tipis warna putih yang dikenakan basah oleh keringat. Nampak guratan dari lekuk liku tubuhnya yang indah.
Gadis ini terduduk di ruang itu. Ia berusaha menghindar dari ruang pesta. Ia berusaha menguatkan diri agar tidak tampak sakit. Tapi kakinya sulit untuk diajak melangkah. Akhirnya ia pingsan. Gadis ini tak sadarkan diri di tengah keramaian suasana pesta yang meriah.
Caligula melihat kondisi Drussila yang mengkhawatirkan, langsung menghentikan pesta. Suaranya menggelegar di ruangan. Ia berteriak histeris. Ia menyuruh adiknya dibawa ke peraduannya. Ia menghentikan pesta. Dan seluruh tabib istana diperintahkan untuk merawat Drussila.

Drussila dibopong ramai-ramai ke kamar tidur raja. Gadis itu tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Saat dibaringkan di kamar, gadis ini sudah sangat lemah. Dan yang menakutkan, ketika para tabib yang berusaha mengobati gadis ini ditanya Caligula, semuanya menggelengkan kepala.

Caligula panik. Ia duduk dan merangkul kepala adiknya. Ia melihat wajah Drussila sudah kepucatan. Matanya sayu, dan bibirnya melukis sesungging senyum. Seperti senyum ucapan selamat tinggal.

Saat Caligula menangis histeris, mata Drussila terbuka. Bibir gadis itu kelu. Ia tak mampu mengucapkan kata-kata. Senyumnya kembali mengembang. Tapi itu tak lama. Hanya sekejap. Setelah itu matanya terpejam, dan kepalanya lunglai. Drussila, adik Caligula yang merangkap kekasih, orangtua, dan guru etikanya itu menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan segalanya. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Rabu, 14 Januari 2009

OSAMAH BIN LADEN SERUKAN JIHAD ke GAZA

Bagaimana bila pucuk pimpinan Al Qaidah Usamah bin Laden menyerukan agar umat muslim berjihad untuk menghentikan serangan Israel ke Jalur Gaza. Yah, inilah yang diserukan Usamah atau Osama dalam memerangi kekejian bangsa Israel terhadap Palestina.

Reuters menulis, melalui rekaman suara, selain menyerukan jihad, Usamah juga menyesalkan pemerintah Arab yang mencegah aksi penduduknya untuk menyuarakan kemerdekaan Palestina.

Berita rekaman suara Usamah bin Laden itu disebarkan dari situs Islam yang selama ini selalu menyebarkan rekaman suaranya. Pusat Intelijen Amerika Serikat menyatakan bahwa suara rekaman yang dikirimkan kemarin dipastikan keotentikannya.

"Hanya ada satu jalan untuk membawa kembali Al Aqsa dan Palestina, dan itu adalah jihad di jalan Allah," ujarnya.

Dalam rekaman sepanjang 22 menit itu, Usamah juga menyebut calon musuh besarnya, presiden terpilih AS Barack Obama, akan mendapat warisan masalah yang sangat berat dari George W. Bush.

"Sekarang Amerika telah menjadi pengemis dan ke depan akan semakin tidak berdaya," katanya merujuk pada krisis finansial yang menghancurkan perekonomian AS.

Usamah menegaskan, kebangkrutan ekonomi itulah yang mendorong AS mendukung Israel menggempur Gaza untuk mengalihkan perhatian dunia.

Menanggapi kemunculan kembali musuh besarnya, Gedung Putih menuding dirilisnya lagi pidato Usamah tersebut semakin menunjukkan bahwa terdakwa otak serangan ke WTC pada 11 September 2001 itu telah terisolasi.

"Rekaman itu hanya demonstrasi bahwa dia semakin terisolasi serta ideologi, misi, dan agendanya semakin ditentang dunia," ujar Juru Bicara Gedung Putih Gordon Johndroe kemarin sebagaimana dilansir AP.

Terakhir rekaman pidato Usamah muncul pada Mei 2008, saat Israel memperingati hari berdirinya ke-60. Pada rekaman itu, Usamah juga menyerukan kemerdekaan Palestina.

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 9) -- Caesonia Melahirkan Putra Mahkota

(Sebelumnya)
Caligula ditakdirkan tak mati akibat demam. Ia tetap sehat bugar, dan kembali memerintah kerajaan Romawi dengan gayanya sendiri. Suka pesta minum minuman keras. Seks bebas, serta menghukum sekehendaknya pada siapa saja yang membantah. Malah yang kelihatan agak kurang enak badan justru adiknya, yaitu Drussila.

Setelah kesembuhan itu, seperti hari-hari biasanya, malam itu, istana sedang menggelar pesta. Pesta malam ini agak berbeda dengan beberapa pesta sebelumnya. Sebab pesta yang digelar malam ini adalah pesta menunggu kelahiran bayi. Bayi yang bakal menjadi pengganti penguasa kerajaan Romawi.

Ya, Caesonia, Sang Permaisuri yang hamil besar, malam ini diperkirakan bakal melahirkan. Sebuah upacara besar sudah disiapkan. Wanita itu harus melewati prosesi kelahiran berdasar kebiasaan Romawi.

Sebuah ruang dengan kayu pancang berbentuk salib berdiri megah. Caesonia yang perutnya sudah mulas-mulas dibawa ke tiang itu. Wanita ini ditelanjangi. Nampak perutnya yang buncit. Ia dipapah masuk ke ruangan, dan mulai dinaikkan ke tiang pancang.

Kedua tangannya diikat di kayu salib. Dua kakinya direntangkan sehingga bagian intimnya terbuka lebar. Kaki itu diikat di tiang, dan ia dibiarkan mengaduh kesakitan menunggu keluarnya jabang bayi dari kandungannya.

Hampir semua elit politik hadir. Tak terkecuali Drussila, Sang Adik, yang agak kelihatan sakit, serta Caligula. Mereka menunggu dengan tenang. Yang hadir nampaknya sudah terbiasa melihat kesakitan orang melahirkan dengan cara dipasung seperti itu.

Ketika rintihan Caesonia menggema, yang hadir bertepuk tangan. Mereka memberi semangat. Seorang dukun bayi menyuruh agar Caesonia mengumpulkan dan mengerahkan tenaganya di wilayah bawah. Sedang Caligula, dengan gaya cueknya menerka dan menebak bayi yang bakal dilahirkannya.

Saat itulah terdengar tangis bayi. Bayi merah itu baru sebagian tubuhnya yang keluar dari rahim Caesonia. Seorang dukun bayi membantu mengeluarkannya, dan bayi itu ditentengnya. Setelah keluar dari kemaluan Caesonia, bayi dirawat di bawah kaki wanita ini, dan dibersihkan dari noda darah.

Melihat anaknya sudah lahir, Caligula dengan sikap gugup dan gembira mulai berteriak-teriak kegirangan. Ia menyebut pewaris tahta Romawi telah lahir. Ia adalah putra mahkota yang akan membawa Romawi dalam kejayaan.

Saat itulah Drussila meralat ucapan Caligula. Gadis ini dengan setengah berteriak bilang, bahwa bayi yang dilahirkan itu bukanlah putra, tetapi putri. Sebab memang itulah kenyataannya. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 9) -- Raja Tulis Surat Wasiat

(Sebelumnya)

Drussila masuk ke peraduan raja. Ia histeris melihat kakaknya sedang berperang melawan maut. Gadis ini merangkul kakaknya. Ia mengelap dahi raja yang dipenuhi keringat. Dan menciumi pipi raja yang terserang penyakit akut itu.

Para tabib yang ada di dekat raja mengingatkan Drussila agar tidak dekat-dekat raja.

Mereka berusaha agar gadis ini tak menyentuh tubuh raja. Sebab jika itu dilakukan, mereka takut gadis ini akan tertulari virus demam yang membawa maut itu.
Tapi Drussila tak perduli. Ia tetap melakukan itu. Malah saking tak perdulinya, gadis ini pun sampai lupa menjaga bagian tubuh terlarangnya agar tak dilihat orang.

Maka di balik rasa kasihan melihat raja yang sakit, para tabib dan menteri pun menarik nafas panjang. Mereka tergoda melihat kemaluan Drussila yang terbuka.

Gadis ini merangkul Sang Raja. Ia menciumi dengan sepenuh jiwa wajah Sang Kakak. Dan seperti biasa, dengan watak keibuan, gadis ini menyorongkan payudaranya. Dan kakaknya dengan rakus menciumi dan mengulum payudara Drussila seperti seorang bayi yang sedang netek.

Saat itulah Caligula mendapat ketenangan. Nafasnya tak lagi memburu. Dan ketakutannya menghadapi maut tak lagi nampak. Malah, dengan suara yang tenang ia meminta Longinus, bendahara istana untuk mendekat. Caligula ingin menuliskan surat wasiat, jika umurnya tak lagi panjang.

Menteri Keuangan yang berpenampilan aneh ini pun duduk di dekat Sang Raja. Dengan tertatih-tatih Caligula mulai mendikte. Ia mengatakan, bahwa segala harta benda dan kekuasaan yang ada akan jatuh ke tangan Drussila, jika sampai raja wafat. Dan ia ingin keputusan itu didukung oleh seluruh elit politik kerajaan Romawi.

Habis menulis surat wasiat itu, Caligula tidur tenang. Panasnya tetap menaik, keringatnya tetap membasahi sekujur tubuhnya, tetapi dari raut mukanya tampak, bahwa rasa sakit yang menimpa Sang Raja mulai berkurang. Namun benarkah Caligula akan mati akibat sakit demam? (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Selasa, 06 Januari 2009

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 8) -- Caligula Diserang Demam Akut

(Sebelumnya)
Mendung memayungi kerajaan Romawi. Negara yang tak pernah sepi dari pesta itu sedang ditimpa prahara. Wabah demam melanda negeri ini. Banyak penduduk yang pagi sakit sore mati. Dan tak sedikit yang malam sakit pagi mati. Penyakit ini tak cuma menimpa penduduk biasa. Di dalam kerajaan sendiri, wabah itu telah menimbulkan kengerian.

Setelah puluhan nyawa melayang terkena demam, hari itu giliran Caligula yang terkena penyakit yang belum ada obatnya itu. Raja yang biasa berpenampilan gagah itu terbaring lemah di tempat tidur. Keringat membasahi sekujur tubuh raja ini. Dan para tabib istana dikumpulkan untuk menyembuhkan Sang Raja.

Saking panasnya, tubuh Caligula menggigil. Ia resah, dan sering menceracau. Para menteri menunggui raja ini, termasuk Sang Permaisuri, Caesonia. Tapi karena penyakit yang menjarah Sang Raja ini gampang menular, maka semua yang hadir tak berani mendekat pada raja. Ia memberi jarak karena takut tertular.
Demam itu amat menyiksa raja ini. Ia merasa nyawanya tak bakal tertolong. Sebab para tabib sudah memberinya vonis, umur raja tak lama lagi. Penyakit itu sudah menggerogoti tubuh Caligula. Kalaulah para menteri itu berkumpul di dekat raja, itu hanyalah untuk menunggu kapan raja wafat.

Ketika raja sedang stres dan berteriak-teriak melawan maut itu, tiba-tiba seorang menteri nyeletuk. Ia menyuruh raja untuk tenang menghadapi kematian. Ia akan berdoa untuk kebaikan raja dalam menghadapi sakaratul maut.

Mendengar ucapan itu, Caligula yang tadinya sudah koma itu tiba-tiba bangkit. Ia berang. Dengan suara lantang Caligula menyuruh prajurit menangkap menteri itu. Ia memerintahkan menteri itu dijatuhi hukuman mati. Dan para prajurit pun patuh untuk melaksanakan perintah itu.

Saat itulah Caligula memanggil-manggil nama Drussila, Sang Adik. Ia teringat akan kekasarannya menempeleng gadis yang juga kekasihnya itu. Ia meminta agar prajurit menjemput adiknya itu agar datang ke kamarnya. Ia akan menuliskan surat wasiat di detik-detik akhir hidupnya.

Namun belum sempat para prajurit menjemput Drussila, gadis itu sudah lari tergopoh-gopoh. Ia berlarian memakai kain tipis warna putih yang disingsing, hingga pahanya yang putih mulus itu menyilaukan mata. Nampak buahdadanya yang indah bergoyang-goyang diguncang tubuhnya. Dan bagian bawahnya yang tersembunyi secara transaparan kelihatan menonjol seperti bukit yang setengah gundul. Tapi gadis ini tak perduli dengan semua itu. Ia panik mendengar kakak yang sekaligus kekasihnya itu sakit parah. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Senin, 29 Desember 2008

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 7) -- Penis Dipotong, Vagina Dibasahi Darah

(Sebelumnya)
Malang nian prajurit istana ini. Hanya gara-gara dekat-dekat raja yang sedang emosi, ia terkena getahnya. Bukan jabatan yang dicopot, tetapi nyawanya yang dipisahkan dari raganya. Ia dieksekusi mati. Kematiannya dilakukan secara perlahan-lahan.
Caligula memang raja yang pemberang. Protes Drussila yang tak setuju kakak iparnya yang sedang hamil besar disuruh menari bugil menelan jiwa. Seorang prajurit yang dekat dengan peristiwa itu langsung dieksekusi.

Prajurit itu digelandang keluar. Di ruang pembantaian, laki-laki itu ditelanjangi. Caligula mencabut pedang dari prajurit yang lain. Dengan sadis ia menorehkan pedang itu ke tubuh prajurit tak berdosa itu. Ia menusukkan pedang itu berulangkali. Dan setelah itu memberi instruksi pada prajurit yang lain agar membunuhnya secara pelan-pelan.

Prajurit yang lain, karena takut, melakukan perintah itu. Ia tusuk perutnya, dan ia penggal kepalanya. Prajurit yang malang itu pun menemui ajalnya. Ia tewas bermandi darah.

Melihat prajurit yang dibencinya itu cepat mati, Caligula marah-marah. Ia menyebut kematian itu terlalu cepat. Untuk melampiaskan kemarahannya itu, raja ini pun menyuruh agar penis laki-laki malang itu dipotong dan diberikan untuk makanan anjing. Dan, tak ada yang berani untuk tidak melakukan instruksi itu.

Saat anjing besar memakan penis prajurit itu, Caligula bersuka cita. Ia merasakan kejengkelannya terobati. Ia pun berteriak kegirangan, dan memanggil Caesonia, permaisurinya.
Ketika wanita hamil besar ini datang, Caligula menyuruh wanita itu membasuh liang peranakannya dengan darah segar prajurit itu. Raja ini menyebut, itu sebagai bagian dari pengalihan kekuatan Sang Prajurit ke bayi yang bakal dilahirkan.

Caesonia pun patuh. Ia kembali menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia telanjang bulat. Nampak payudaranya kencang dan padat berisi. Perutnya membuncit. Pusarnya menonjol keluar. Dan bulu kemaluan wanita ini tumbuh lebat menutupi sebagian wilayah yang tersembunyi.

Tanpa ragu wanita itu jongkok mekangkang di atas tubuh prajurit yang mati bermandi darah itu. Ia menempatkan kemaluannya di bekas penis prajurit yang sudah dipotong itu. Darah yang menggenang di daerah itu ia duduki. Ia putar pantatnya, agar darah prajurit itu bisa membasahi sampai ke dalam lobang peranakannya.

Tak puas hanya itu, melalui tangannya, Caesonia meraup darah itu, dan memasukkan ke dalam kemaluannya. Nampak wilayah sensitif permaisuri ini basah kuyup. Darah yang sudah menggumpal itu memenuhi paha, kemaluan, sampai perutnya yang sudah menggunung. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

Minggu, 21 Desember 2008

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 6) - Hamil Wajib Menari Bugil

(Sebelumnya)

Caesonia tak bisa menolak. Ia mulai melepas pakaian yang dikenakan. Satu demi satu busana wanita ini dilepas. Dari penutup payudara sampai penutup bagian bawah. Wanita ini bugil. Tubuh mulusnya tak terhalangi selembar kain pun. Perutnya yang membesar nampak indah. Pusarnya menonjol. Dan di daerah vitalnya, rimbun perdu menggumpal.
Payudara wanita ini sangat indah. Kelihatan montok dan kencang. Bagian itu tak terlalu besar, tetapi jelas-jelas kelihatan subur. Itu sebagai pertanda, usia kehamilan wanita ini sudah tua. Setelah bugil, ia melangkah ke depan. Langkah yang agak ragu dan sedikit tertekan karena merasa dilecehkan.
Musik pun mulai bergema. Geraknya tertata. Ia melenggak-lenggokkan pinggulnya yang mulus dan berisi. Payudaranya bergoyang-goyang menggairahkan. Dan tangannya merentang menirukan gerak burung seperti sering yang diimpikan Caligula.
francesco-vezzol-caligulaSecara berirama, kaki wanita ini bergerak lincah. Tarian yang dibawakan wanita ini begitu mempesona. Menyita perhatian yang hadir. Dan menyihir para laki-laki yang malam itu ikut menyaksikan penampilan wanita mantan gundik yang kini menjadi permaisuri raja itu.
Gerak dari tubuh bugil Caesonia itu membangkitkan nafsu birahi. Ada banyak wajah-wajah menegang yang terbuai dengan gerakan tubuh wanita ini. Namun yang hadir tak berani menggoda atau berteriak kasar. Sebab mereka sadar, yang sekarang telanjang dan menerbitkan birahi itu bukanlah orang sembarangan. Ia adalah permaisuri raja. Salah sedikit saja memberi apresiasi, bisa-bisa nyawa taruhannya.
Caligula nampaknya terpesona dengan penampilan istrinya itu. Ia memberi applaus. Ia menyingkirkan dua gundik yang merayapi tubuhnya. Setelah itu ia berdiri, merangkul, dan mencumbu istrinya yang bugil itu.
caligula_oneCaesonia sebagai wanita yang profesional dalam menservis laki-laki, menyambut cumbuan itu. Tubuhnya bergelenjot mesra. Melalui mulut dan tangannya, wanita ini melakukan perangsangan. Saat Caligula mulai terbangkitkan nafsunya, Caesonia pun dibopong masuk peraduan. Di tempat itulah Caligula dan Caesonia melepas hajatnya. Tapi adakah hanya itu? Tidak, sebab ada prajurit yang harus menjadi korban pesta malam itu? (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.

PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 5) -- Caligula Tampar Drusila

(Sebelumnya)

Malam di istana. Seperti biasa, malam itu sedang digelar pesta. Selain makanan dan minuman sebagai menu utama. Yang tak bisa ditinggalkan adalah para wanita. Gadis-gadis telanjang disuruh menemani dan merangsang laki-laki. Dan kalau birahi telah memuncak, mereka pun sah-sah saja untuk disetubuhi di arena pesta itu.

Caligula datang di pesta ini bersama Drussila dan Caesonia. Ada yang berubah dalam diri wanita ini. Tubuhnya tak langsing lagi. Ia agak gemuk. Itu bisa dimaklumi. Sebab perut permaisuri ini kelihatan buncit. Ia sedang hamil.

Ketiga orang terhormat ini dipersilahkan duduk di singgasana tanpa kursi. Mereka bertiga menempati itu. Tak lama kemudian datang tiga gadis cantik. Mereka datang untuk menemani Sang Raja. Mereka telanjang. Duduk manis menunggu perintah. Perintah Sang Raja terhadapnya.

Perintah itu sudah bisa diterka. Kalau tidak untuk ditowel dan dimainkan bagian tubuh sensitifnya. Tentu, ia disuruh untuk merangsang Sang Raja. Rangsangan dari tingkat rendah, hanya sekadar menciumi dan mengelus-elus tubuh raja. Sampai rangsangan tingkat tinggi, memainkan oral seks, heteroseks hingga sodomi.

Itu semua dimaklumi. Raja sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan, didalamnya secara implisit juga terkandung kekuatan seks dan pemenuhan kebutuhan itu. Maka tak berlebihan, dimana saja raja berada, maka perempuan cantik selalu tersedia. Caesonia, sebagai permaisuri yang bekas gundik istana, sangat paham soal itu.

Saat Caligula dan rombongan telah duduk, laki-laki ini menepuk tangan. Tiga dara bugil itu pun mendekat. Ia bergelenjot di tubuh raja muda ini, dan dengan buahdada serta mulutnya, gadis-gadis itu menggesek-gesek punggung, paha, dan bagian sensitif raja. Dirangsang seperti itu, Caligula biasa-biasa saja.

Untuk memulai acara, musik pun mulai bergema. Suara dari berbagai perkusi itu menghidupkan pesta. Caligula dengan gagahnya berdiri. Ia mengatakan, hari itu ia ingin bergembira. Dan untuk menyemarakkan pesta itu, ia ingin Caesonia menari.

Mendengar itu Caesonia protes. Ia sudah hamil tua. Tak mungkin itu dilakukan. Kalaulah dipaksa, ia takut akan keguguran. Bayi yang dikandungnya gugur. Protes Caesonia ini juga diperkuat Drussila. Ia menolak keinginan raja.

Caligula bersikukuh. Ia berdiri sambil marah. Ia menampar Drussila, Sang Adik. Drussila pun keluar pesta. Ia lari. Kabur ke kamarnya. Yang mengejutkan, kemarahan Caligula itu membawa korban lain. Seorang prajurit yang berdiri menghalangi, disuruh dibunuh. Ia ditangkap dan digelandang ke ruang eksekusi. (bersambung/JOSS)

NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.