Pulang dari Kediri naik bus. Lihat ibu-ibu naik dari Jombang membawa dua anaknya yang masih kecil. Saya punya nama panggilan buat mereka. Yang kecil saya namai Eki. Umur 1 tahun. Yang besar saya panggil Pasha. Umurnya 2 tahun. Awalnya biasa-biasa saja. Tak lama Pasha tiba-tiba menangis. Entah siapa yang mengganggu, dia merengek kepada ibunya. Rupanya si ibu ini bukan seorang yang sabar.
Dengan lantang dia mengancam anaknya begini:
"Husy, jangan nangis..." katanya sambil meletakkan jari telunjuk di mulutnya.
Tapi Pasha tetap saja rewel dan tak mau berhenti.
Dan...plok...tiba-tiba mendarat tamparan di pipi Pasha karena geramnya si ibu.
Saya cuma bisa istighfar melihatnya.
Ya Allah, apa benar yang dilakukan si ibu ini?
Si anak belum juga reda tangisannya. Malah menjadi-jadi. Rengekannya, kalau boleh saya artikan, sampai membuat seisi penumpang terbangun.
Mungkin si ibu saking jengkel dan malunya, dia kembali melemparkan berpuluh-puluh ancaman dan makian. Dari yang saya kutip begini:
"Kalau kamu masih berani, akan ibu lempar sekarang juga dari bus." Ancamnya.
Padahal saat itu bus melaju cukup kencang.
Saya khawatir kalau ancaman itu benar-benar jadi kenyataan. Apalagi si ibu dan anaknya duduk di deretan kursi paling belakang, tepat di samping pintu. Sedang saya berada di sebelahnya.
Mendengar ancaman si ibu, saya pun mulai pasang kuda-kuda. Kalau hal itu sampai terjadi saya siap menyelematkan nyawa Pasha. Tapi rupanya semua itu hanya gertakan sambal saja. Mungkin cuma ingin menakut-nakuti si bocah. Namun demikian ancaman itu semakin bertambah kencang. Si bocah yang tak mau diam terus-terusan dihujani ancaman yang menurut saya tidak pantas didengar.
Salah satunya ini:
"Kamu kalau masih belum diam, ibu turunkan di sini. Ibu sudah ga mau menganggapmu sebagai anak. Dasar bandel. Lihat adikmu saja diam."
Plok...suara tamparan kembali menimpa mulut Pasha kecil.
Aih...benar-benar kasar kata-kata si ibu. Saya terus bertanya, kira-kira apa sudah benar cara mendidik ibu ini. Mungkinkan si kecil mau menuruti kata-kata ibunya, walau sebenarnya sangat merugikan dirinya.
Berulang kali saya memutar otak, menyalahkan pringai si ibu dan ketidakberdayaan Pasha dan Eki, yang tak lama ikut menangis karena tak tahan mendengar omelan ibunya kepada kakaknya.
Eki yang nangis juga tak luput dari omelan si ibu:
"Kamu juga, kalau ikutan nangis, nanti ibu buang di sini biar ditemu orang lain. Biar saja sekalian ibu tidak memiliki anak-anak seperti kalian tidak apa-apa"
Ya Allah, seketika pikiran saya langsung lemas. Apa tidak salah kata-kata si ibu ini. Masakah karena menangis saja mereka mau dibuang. Saya memang berusaha tidak mempedulikan, tetapi telinga saya sepertinya tak bisa dibohongi. Setiap dialog yang terjadi antara si ibu dan anak-anaknya, selalu masuk ke telinga kanan dan kemudian merangsek memasuki hati nurani. Berkali-kali saya menyumpahi si ibu. Tapi kemudian ada kekuatan lain yang merong-rong pendalaman saya. Katanya begini: seorang ibu tahu apa yang dilakukan, apa yang terbaik bagi anak-anaknya?
Benarkah itu? pikiran saya tetap tidak menentu.
Tak lama seorang penjual tahu naik.
"Tahu...tahu..."
Si anak kembali merengek, meminta dibelikan tahu. Sebaliknya si ibu malah marah.
"Kan sudah ada. Ga usah beli."
Rengekan Pasha kembali memuncak. Si ibu malah berang. Berkali-kali mulutnya ditampar agar diam.
Plok...
Yah, ditampar lagi, kata saya dalam hati. Kasihan benar nasib anak ini. Mungkinkah dia nasibnya akan seperti Ari Hanggara, sebuah peristiwa memilukan hati semua orang dimana akibat kemarahan orang tuanya, Ari Hanggara kemudian tewas.
Aku harus turun tangan, pikir saya waktu itu. Kalau si ibu tidak membelikan "tahu" itu, biar saya yang membelikannya. Tetapi sekali lagi ada rasa yang lain yang membuat saya menghentikan langkah. Yah, secara tiba-tiba saja rasa itu kembali menyeruak tajam dan berkata demikian, "seorang ibu tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya?"
Duh, Gusti, apalagi ini...
Benar juga, saya pikir saya orang yang perlu campur tangan. Saya sekedar orang lain. Tidak sepatutnya saya campur tangan untuk urusan seperti ini, kecuali memang hal ini sangat emergency. Sepintas saya melihat memang tidak darurat. Cara penanganan si ibu menurut saya masih dalam batas kewajaran, tetapi iya begitu, dalam batas wajar yang tetap saja tidak wajar bagi hati nurani saya.
Apa mungkin saya harus membelikan "tahu"?
Tak lama si penjual tahu yang mengetahui rengekan si anak, tiba-tiba dia memberikan sebuahnya gratis.
Apa yang terjadi? Si ibu malah menolaknya.
Loh...loh...mana ini yang benar, pikir saya.
Si ibu berkata dengan wajah geram:
"Enggak pak, di tas sudah ada kok."
Saya tidak tahu apakah di tas ada atau tidak atau si ibu sengaja membohongi agar anak-anaknya patuh padanya. Yang jelas pada waktu itu saya bersyukur karena tidak jadi malu. Seandainya waktu itu saya berusaha turun tangan, entah mau ditaruh ke mana muka ini. Masih beruntung si penjual tadi, dia tidak akan malu karena memang profesinya sebagai penjual. Tugasnya menjual dan memberi. Andaikata ditolak atau tidak direken, itu hal yang biasa.
Setelah itu saya terus berpikir, apa yang sebenarnya ada dalam benak si ibu ini. Apakah ini salah bentuk pendidikan yang baik buat anak-anaknya. Dan lagi-lagi kata-kata yang muncul dalam benak selalu sama: seorang ibu tahu apa yang mesti dilakukannya. Seorang ibu tahu apa yang terbaik buat anaknya.
Benarkah itu? Pikir saya.
Tak lama...sebuah kejadian yang menurut saya ajaib terjadi.
Tak ada rengekan, tangisan, kerewelan di bus yang melaju dari Kediri menuju Surabaya tersebut. Saya heran. Apa yang terjadi?
Saya sempat melihat, Pasha dengan manja merajut ke pundak ibunya. Membelai pipi ibunya dengan manja. Si kecil, si Eki malah ngempong di dada ibunya. Mereka saling akur.
Saya bertanya-tanya dalam hati, lalu dimana semua ancaman tadi, ancaman yang tidak mau mengakui mereka sebagai anak, ancaman menampar dan memukul, ancaman yang hendak membuang mereka. Mana semua itu?
Kembali saya dihadapkan pada perkara semula. Yah...seorang ibu tahu apa yang terbaik buat anaknya. Kiranya hanya itu jawaban yang bisa saya terjemahkan dengan kejadian ini. Dan sebelum turun, si ibu sempat melemparkan senyum kepada saya. Senyum yang menurut saya sangat aneh dan sekaligus luar biasa. Senyum yang sulit diterjemahkan dengan semua kamus di dunia ini. Senyum yang mengundang hal-hal baru bagi kehidupan saya. Sebuah senyum yang penuh misterius yang sampai sekarang sulit saya tangkap dengan akal pikir saya sebagai seorang bujangan.
Catatan saya dari bus Harapan Jaya
Kediri menuju Surabaya
4 Nov 09. Pukul 15.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar