Kamis, 10 Desember 2009

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag IV)

Berita ibu guru menurunkan rok dan cdnya seketika menggemparkan desa. Para murid yang kebakaran jenggot akibat ulah bu guru langsung melaporkannya ke orang tua masing-masing. Para wali murid pun serempak berdemo. Mereka mendepak sang guru beramai-ramai. Yanti, demikian namanya tak kuasa menahan derita yang sedang dihadapi. Bu Guru Yanti diusir warga desa, karena dianggap telah mengajarkan pornografi kepada murid-muridnya. Sementara hanya satu anak yang tak bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Dialah Rikno. Karena kebaikan serta kejujuran sang guru itulah Rikno menjadi tahu yang namanya mem*k. Tetapi hal tersebut lantas diartikan banyak orang sebagai perbuatan yang tidak lazim. Yang membuat sang guru harus terlunta-lunta tanpa tempat tinggal.
Berhari-hari sang guru harus mengais makanan dari sampah. Ia seketika menjadi tunawisma "dadakan".
"Kasihan ibu guru Yanti ya," kata Rikno kepada bibinya.
"Sudah kamu tidak usah mikirin itu. Itu semua kan akibat perbuatannya sendiri," sambut sang bibi.
"Lho, kenapa kok bibi malah berkata seperti itu. Bukankah semua ini akibat dari ulah Rikno. Kalau Rikno tidak bertanya soal mem*k, mungkin ibu guru tidak akan menunjukkannya pada Rikno. Dan sekarang Rikno jadi tahu apa itu mem*k."
"Kamu sendiri kenapa tanya-tanya hal-hal yang tidak perlu begitu. Dan sekarang lihat ibu guru Yanti. Di sana sini dia tidak mendapat tempat. Dia sekarang menggelandang."
"Kalau Rikno tanya pada bibi, apakah bibi akan memberitahu?" Rikno membalas ucapan bibinya dengan tangkas.
Seketika mulut sang bibi seperti terkunci rapat. Kata-kata ponakannya seperti bola api panas yang meluncur mengenai dirinya.
"Memang benar Rik, tak semua orang dapat berbicara jujur. Negeri ini memang sedang dilanda krisis kejujuran. Moral semua orang pada rusak, tak terkecuali pemimpin kita. Kalau saja pemimpin kita dan orang-orang yang duduk di kursi terhormat itu mau meluangkan kejujurannya, mungkin negeri ini tidak akan seperti ini. Hanya kejujuranlah modal utama untuk membentuk karakter bangsa ini. Maafkan bibi ya karena telah salah menilaimu."
"Ah, tidak masalah bi. Rikno juga minta maaf jika telah kurang ajar terhadap bibi. Oh iya, bi, terus bagaimana dengan ibu guru Yanti. Apa perlu beliau kita tampung di sini?"
"Rikno, ssstt..." Sang bibi segera meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Apa? Apa maksud bibi ssst..."
"Sudah jangan diteruskan. Yang terjadi biarlah terjadi."
"Tapi Rikno belum paham."
"Apa kamu tidak mengerti dengan adat. Karena adatlah kita dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dan apabila adat sudah bertindak, maka jangan sekali-kali kita berani untuk memainkannya."
"Apa maksud bibi?" Rikno masih belum paham.
"Ibu guru Yanti saat ini tengah menjalani hukuman adat. Dia tak boleh dibantu siapapun."
"Jadi...ja...ja...di...beliau dibiarkan begitu saja!" Seru Rikno.
"Huss, kamu jangan berpikiran begitu. Kalau kita bantu, nanti kita sendiri yang akan kena adab dari adat itu."
"Lalu bagaimana dengan kata-kata ibu soal kejujuran tadi. Mana...mana...?"
Sang bibi segera menundukkan kepala mendengar suara keponakannya yang masih lugu tersebut. (Bersambung lagi coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Tidak ada komentar: