Selasa, 01 Desember 2009

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag II)

Siang itu kedua ayah dan anak pergi mengunjungi Bonbon (kebun binatang) Surabaya. Sang ayah sudah tidak sabar untuk menunjukkan makna mem*k yang sebenarnya kepada anaknya.

Di depan kandang gajah, mereka berhenti. Sang ayah menunjukkan pada anaknya dengan menuding ke arah gajah.

“Nah, itu dia yang namanya mem*k!”

“Gajah itu mem*k,” Rikno garuk-garuk kepala, “wah besar sekaleeee…”

“Husy, bukan gajah, tapi ituuuu….”

“Yang mana yah…” Rikno berusaha menajamkan pengelihatannya. Tetap saja yang terlihat badan gajah yang besar.

“Ah, kamu ini gitu aja tidak tahu. Sudah jelas dari sini terlihat kok,” jawab ayahnya sedikit geram.

“Yang mana, apa yang panjang itu!” Seru Rikno.

“Kalau itu belalai namanya. Yang di belakang itu loh. Yang tepat di ekornya.”

“Oh, itu ya yang namanya mem*k. Iya yah aku tahu. Jadi mem*k itu fungsinya untuk nelek ya yah.” Sang ayah semakin frustasi dengan anaknya. Berkali-kali diberitahu tetap saja tidak tahu. Lelaki itu kehabisan ide.

“Ya sudah gini aja, kita lihat di sana lagi.” Dia menggandeng anaknya sembari menikmati kacang rebus.

Suasana hari itu cukup sejuk, mendung memayungi seisi penghuni Bonbin, sehingga tak ayal beberapa satwa pun memanfaatkan waktu untuk bercinta alias membuat anak.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat dua ekor kera sedang memadu kasih.

“Ah, ini dia,” celetuk sang ayah, “monyet adalah binatang yang menyerupai manusia. Jadi ini pasti mudah bagiku untuk menunjukkan mem*k kepada Rikno.”

“Rik…Rik…sini cepat!” Seru ayahnya. Rikno berlari-lari kecil dan kemudian berdiri tepat di samping ayahnya.

“Kamu lihat kera yang sedang berciuman itu,”

“Kenapa dengan mereka yah.”

“Lihat saja dulu.”

“Sudah yah.”

“Ya itu mem*k.” Sang ayah menyaksikan pemandangan dengan takjub. Dalam hatinya berkata, “hmm, rupanya kalau kera sedang bercinta juga mirip manusia. Jadi pengin nih.”

“Yah…yah…” Rikno menarik baju ayahnya, “Rikno masih belum paham. Yang mana mem*k?”

“Oh duasar anak guob…” buru-buru sang ayah meralat ucapannya, takut bila makian kasar itu justru akan mengganggu pendewasaan sang anak.

“Masak sudah jelas begitu kamu masih belum tahu.” Rikno menggeleng.

“Gini aja biar ayah jelaskan sedikit. Kamu tahu yang di atas itu.” Rikno mengangguk.

“Dia itu pejantannya. Nah, yang di bawah itu betinanya.” Rikno mengangguk paham.

“Kamu tahu apa yang sedang mereka lakukan?” Rikno menggeleng.

“Mereka sedang bercinta. Kamu lihat bagian bawah itu, apa yang dilakukan si jantan terhadap si betina. Lihat baik-baik.”

“Sudah yah, jadi itu ya yah.”

“Ya nak, itu yang namanya mem*k.” Sahut ayahnya.

“Iya yah, sekarang Rikno sudah paham.” “Kalau kamu sudah paham, kamu dilarang bertanya lagi soal mem*k ke orang lain. Kamu paham yang ayah katakan ini.” Rikno kembali menggangguk, tetapi sebenarnya dia belum paham betul. Benaknya terus berkecamuk, “Apa benar mem*k itu kera yang saling tumpang tindih. Masak kalau sekedar binatang yang tumpang tinding nenek, ibu, dan ayah marah. Pasti aku sedang dibohongi oleh mereka. Aku tidak percaya dengan kata-kata orang dewasa. Cara ayah menjelaskan padaku juga tidak ikhlas begitu. Masa cuma binatang saja begitu sulit menjelaskan. Aku yakin yang namanya mem*k lebih dari itu.”

Setelah itu keduanya pulang ke rumah. Sang ayah langsung masuk kamar dan tidur. Ibu Rikno menyambut kepulangan mereka dengan hati riang. Sebelum masuk kamar sang ibu menegur suaminya.

“Gimana yah, apa Rikno sudah diberi penjelasan?”

“Sudah, kamu ga usah mikir itu lagi. Ayah mengantuk.”

“Syukurlah kalau begitu yah. Kalau anak itu tidak segera diberi tahu, dia bakal melunjak, berani kepada orang tua.”

***

Menjelang sore, keluarga Rikno kedatangan tamu, seorang pejabat lokal. Ceritanya sang pejabat sedang ada keperluan bisnis dengan ayah Rikno. Ayah Rikno saat itu sedang di kamar untuk berganti pakaian. Sementara ibunya berada di dapur membuatkan minuman untuk sang tamu. Si nenek keluar membeli makanan snack.

Di ruang tamu hanya ada sang pejabat yang sedang duduk santai sambil menikmati lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Rikno melihat keberadaan orang asing langsung menemui. Tanpa banyak cincong Rikno segera bertanya dengan tema yang masih sama.

“Bapak siapa?”

“Hei, anak kecil, kamu siapa juga?”

“Huh, ditanya malah balik bertanya. Tidak sopan.” Celetuk Rikno dalam hati. “Bapak siapa kok?” Rikno bertanya merengek.

“Saya anggota dewan.”

“Apa itu anggota dewan?” Rikno balik bertanya.

“Wakil rakyat.” Jawab sang pejabat singkat.

“Jadi bapak tahu segalanya.” Sang pejabat tersenyum memandang Rikno.

Dengan senyuman itu, Rikno menganggap sang pejabat seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik. Pikirnya, ah, tidak ada salahnya bertanya soal mem*k kepada sang pejabat.

“Masa seorang wakil rakyat bisa marah, kan pertanyaanku juga bersangkutan dengan wakil rakyat, kan aku juga wakil rakyat yang suaranya perlu diwakili, perlu dijawab.”

“Pak, boleh Rikno bertanya?”

“Silahkan!”

“Tapi bapak jangan marah ya.”

“Tergantung pokok pembahasannya.”

“Lho, masa cuma anak kecil seperti Rikno yang bertanya bapak bisa marah. Berarti bapak bukan wakil rakyat. Bapak bohong.”

“Tidak…tidak…kamu jangan salah sangka begitu. Oke, apa pertanyaanmu, Insya Allah jika bisa, bapak akan menjawabnya.”

“Begini pak, selama ini keluarga Rikno selalu membohongi Rikno. Padahal Rikno bertanyanya sopan. Tapi menurut mereka pertanyaan Rikno tidak sopan dan kurang ajar.”

“Iya, apakah itu?” Sang pejabat penasaran.

“Apa itu mem*k, Pak?” Sang pejabat kaget. Matanya kemudian melotot. Tak lama dia mengumpat dengan umpatan tidak mencerminkan seorang anggota dewan, yang katanya wakil rakyat itu.

“Diamput…dasar anak bebal. Siapa yang mengajari kamu berkata seperti itu. Mana bapakmu, mana ibumu? Pasti mereka orang tua tidak berbudi, tidak berakal sampai membiarkan anaknya berbuat kurang ajar begini.”

“Tuh kan bapak pasti marah.”

“Bagaimana tidak marah, pertanyaanmu itu loh…akkhhh…panggil orang tuamu, cepat!” Sang pejabat marah dengan berkacak pinggang. Tak lama ayah Rikno dan istrinya keluar menemui tamunya. Tetapi mereka lantas disambut caci maki dan omelan.

“Apa kalian tidak pernah mengajarkan tata krama pada anak kalian. Bagaimana anak sekecil itu bisa berkata mem*k. Itu tidak sopan namanya. Bodoh!”

“Maafkan kami pak. Sebenarnya Rikno sudah berkali-kali kami berikan penjelasan, tetapi rupanya hingga detik ini belum mengerti juga. Riknoooo…..” sang ayah memanggil dengan gusar.

Betapa lelaki itu tidak bisa menyembunyikan rasa malunya di hadapan tamu agung. Rikno datang tersenyum seolah tanpa dosa sambil menenteng mainannya. Wajar Rikno tidak tahu apa-apa karena memang anak sekecil belum waktunya mengerti. Dikarenakan pula orang tuanya dan orang-orang di sekelilingnya tidak pernah mengajarinya pengetahuan yang layak.

“Apa benar kamu bertanya pada pak pejabat soal mem*k?” Rikno mengangguk.

“Sudah berapa kali ayah bilang jangan bertanya soal itu lagi.” Ancam sang ayah. Dan…tiba-tiba plok! Sebuah tamparan mendarat di wajah Rikno. Pukulan yang akan diingat untuk selamanya. Tentu saja ini membuat Rikno bersedih. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang dewasa. Bagaimana mungkin seorang anak kecil bertanya mengenai sesuatu yang tidak dipahami terus dilarang. Baginya ini tidak adil.

“Mulai sekarang kamu ayah usir. Kamu tidak boleh tinggal di sini lagi. Dan ayah tidak mau mengganggapmu sebagai anak. Mulai sekarang kamu tinggal saja di desa dengan bibimu.” Ancam ayahnya.

“Iya, kamu dasar anak tidak tahu balas budi. Mulai besok ayah akan mengantar kamu ke desa. Jangan lagi kamu berani kembali ke rumah ini. Awas ya!” Ancam ibunya.

(Bersambung lagi coy/novi)

NB: Ide cerita saya ambil saat mendengarkan monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam.

Tidak ada komentar: