Rabu, 03 Februari 2010

Mahalnya Harga Sebuah Mem*k (Bag VI-TAMAT)

Ibu Guru Yanti telah tiada. Ia dimakamkan di pinggiran desa. Semua warga menolak jasad Ibu Guru Yanti, menurut mereka Ibu Guru Yanti tidak layak dimakamkan di desa Mayapada mengingat perbuatannya yang tidak dibenarkan oleh para wali murid. Di mata penduduk desa, nama Ibu Guru Yanti tidak berarti, bahkan desa tersebut mengharamkan nama Ibu Guru Yanti disebut-sebut. Sampai kapan? Sampai selama-lamanya. Mereka mengatakan Ibu Guru Yanti adalah aib bagi penduduk desa. Bahkan ketika dimakamkan tiada seorang pun yang datang melayat, begitu pula keluarga Ibu Guru Yanti terkesan cuek.

Lalu siapa yang memakamkan? Justru yang peduli dengan jenasah Ibu Guru Yanti adalah orang-orang dari luar , mereka mengurus dengan ikhlas, ada diantaranya pihak kepolisian, pihak rumah sakit, sopir ambulance dan penggali makam.

Namun demikian tidak semua orang menjauhi Ibu Guru Yanti. Seminggu usai pemakaman, beberapa orang nampak menziarahi makam. Mereka menangis di pusara pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Mereka tak lain keluarga Rikno: ayah Rikno, ibu Rikno, Nenek Rikno, Bibi Rikno, dan Rikno.

Di hadapan pusara Ibu Guru Yanti, mereka berdoa dengan khusyuk. Usai memimpin doa sang ayah mulai berbicara:

"Kau, adalah pahlawan kami. Darimulah sekarang Rikno mengetahui kebenaran. Kau, adalah kejujuran. Walau kejujuran yang kau jalani terasa pahit, tetapi kau tidak pernah mengeluh. Pengorbananmu terhadap kejujuran sangatlah kami hormati. Kau rela mati demi kejujuran. Kau tidak mempedulikan nyawamu walau sebenarnya kau sudah tahu resikonya. Kau, yah, kau adalah pahlawan kami. Telah banyak yang kau perbuat bagi keluarga kami. Meski kami belum pernah bertemu dengan dirimu, wajahmu tetap bersinar di hati kami. Kejujuranmu itulah yang membuat kami membuka mata lebar-lebar." Kata Ayah Rikno.

"Ibu Guru Yanti yang terhormat, yang kami cintai, kau bagai oase di padang tandus. Meski secuil kejujuran yang kau sebarkan, tetapi hal itu telah banyak memberi kami penerangan. Kini, kami menjadi sadar, bahwa tak selamanya kebenaran itu harus ditutup-tutupi. Dengan kejujuranmu itulah sekarang anak kami dapat mengetahui arti sebuah kebenaran akan mem*k. Kami yakin suatu hari kelak anak kami akan selalu mengingat kebaikan yang kau berikan, kami yakin kelak Rikno akan menghormati pengorbanan para guru dan pendidik, bila dewasa nanti dia juga akan tahu betapa mahalnya artinya sebuah kejujuran dan kebenaran. Dan karena kebenaran itulah Rikno sudah mengetahui apa itu mem*k, dan dengan pengetahuan serta pemahaman yang kau berikan ke anak kami, kami pun yakin suatu hari nanti dia akan semakin menghargai yang namanya perempuan. Ibu Guru Yanti, kau adalah pelita bagi kami. Jasa-jasamu takkan pernah kami lupakan." Ucap janji sang ibu.

"Rikno, anakku, adakah kata-kata yang hendak kau sampaikan pada Ibu Guru Yanti?" Tanya sang ayah.
Rikno mengangguk.

"Ada yah..."

"Apakah itu Rikno?" Sahut Sang Ibu.

"Rikno sangat berterima kasih kepada Ibu Guru Yanti atas kebaikan yang pernah beliau berikan. Sampai mati kebaikanmu akan selalu kupegang." Kata Rikno.

"Yah, kau dengar sendiri kan Ibu Guru Yanti. Betapa Rikno tak bisa melupakan jasa-jasamu. Karena kaulah dia sekarang sudah menjadi dewasa. Bukan kami, tapi kau. Kami justru hanya menjadi penghalang bagi perkembangannya. Kami adalah sebuah kebohongan yang selalu tersebar dimana-mana. Kami tak ubahnya kutu loncat yang ketika digusah akan pencolotan, tapi ketika musuh tidak kelihatan kami akan diam-diam mengambil hak orang lain. Memang benar apa yang telah kau lakukan, kejujuran sangat mahal harganya. Buktinya kami tidak bisa menjelaskan mem*k pada anak kami, padahal sebenarnya kami tahu. Kami adalah tukang tipu, selalu memojokkan orang, selalu menyusahkan orang, tak pernah serius menanggapi setiap permasalahan. Parahnya, kami adalah orang-orang munafik yang tak tahu diri. Tidak seperti kau, kau sangat berani menyatakan kejujuran. Kau berani menerjang bahaya. Kami semua tunduk padamu, tunduk terhadap pahlawan bangsa. Semoga arwahmu tenang di sisiNya. Amin."

Setelah itu Sang Ayah menyanyikan Hymne Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, semua orang luluh dalam keharuan:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Disusul dengan lagu Padamu Negeri dan semua orang ikut mengiringkannya:
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami (TAMAT/NOVI)

NB: Saya melihat sebuah ketakutan masih membayangi wajah-wajah mereka, kejujuran dan kebenaran akhirnya terhenti sesaat; dia bagaikan senjata Pasopati yang hendak membumi-hanguskan segalanya. Yah, mungkin bukan sekarang, mungkin nanti, bila mereka telah mengetahui makna kejujuran dalam hatinya. Namun saya yakin masih banyak kejujuran di negeri ini, walaupun itu secuil.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sungguh cerita inspirasi yg sangat dalam dan menyentuh.