(Sebelumnya)
Mendung memayungi kerajaan Romawi. Negara yang tak pernah sepi dari pesta itu sedang ditimpa prahara. Wabah demam melanda negeri ini. Banyak penduduk yang pagi sakit sore mati. Dan tak sedikit yang malam sakit pagi mati. Penyakit ini tak cuma menimpa penduduk biasa. Di dalam kerajaan sendiri, wabah itu telah menimbulkan kengerian.
Setelah puluhan nyawa melayang terkena demam, hari itu giliran Caligula yang terkena penyakit yang belum ada obatnya itu. Raja yang biasa berpenampilan gagah itu terbaring lemah di tempat tidur. Keringat membasahi sekujur tubuh raja ini. Dan para tabib istana dikumpulkan untuk menyembuhkan Sang Raja.
Saking panasnya, tubuh Caligula menggigil. Ia resah, dan sering menceracau. Para menteri menunggui raja ini, termasuk Sang Permaisuri, Caesonia. Tapi karena penyakit yang menjarah Sang Raja ini gampang menular, maka semua yang hadir tak berani mendekat pada raja. Ia memberi jarak karena takut tertular.
Demam itu amat menyiksa raja ini. Ia merasa nyawanya tak bakal tertolong. Sebab para tabib sudah memberinya vonis, umur raja tak lama lagi. Penyakit itu sudah menggerogoti tubuh Caligula. Kalaulah para menteri itu berkumpul di dekat raja, itu hanyalah untuk menunggu kapan raja wafat.
Ketika raja sedang stres dan berteriak-teriak melawan maut itu, tiba-tiba seorang menteri nyeletuk. Ia menyuruh raja untuk tenang menghadapi kematian. Ia akan berdoa untuk kebaikan raja dalam menghadapi sakaratul maut.
Mendengar ucapan itu, Caligula yang tadinya sudah koma itu tiba-tiba bangkit. Ia berang. Dengan suara lantang Caligula menyuruh prajurit menangkap menteri itu. Ia memerintahkan menteri itu dijatuhi hukuman mati. Dan para prajurit pun patuh untuk melaksanakan perintah itu.
Saat itulah Caligula memanggil-manggil nama Drussila, Sang Adik. Ia teringat akan kekasarannya menempeleng gadis yang juga kekasihnya itu. Ia meminta agar prajurit menjemput adiknya itu agar datang ke kamarnya. Ia akan menuliskan surat wasiat di detik-detik akhir hidupnya.
Namun belum sempat para prajurit menjemput Drussila, gadis itu sudah lari tergopoh-gopoh. Ia berlarian memakai kain tipis warna putih yang disingsing, hingga pahanya yang putih mulus itu menyilaukan mata. Nampak buahdadanya yang indah bergoyang-goyang diguncang tubuhnya. Dan bagian bawahnya yang tersembunyi secara transaparan kelihatan menonjol seperti bukit yang setengah gundul. Tapi gadis ini tak perduli dengan semua itu. Ia panik mendengar kakak yang sekaligus kekasihnya itu sakit parah. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar