Jumat, 14 November 2008

Wawancara Imaginer Bersama Roh 3 Terpindana Mati Bom Bali I >> “DISKUSI MASUK SURGA”


Hebohnya eksekusi mati tiga terpidana mati Bom Bali I; Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, menyisakan banyak pertanyaan sebagian pihak. Kelompok-kelompok moderat kerapkali menafsirkan kematian mereka tidak syahid. Sementara kelompok garis keras (Islam radikal) menganggap ketiganya mati sebagai syuhada. Soal itu tentu urusan Yang Di Atas. Manusia punya akal untuk berpikir, tapi Tuhan yang menilai.

Di sini saya tidak membahas mengenai berbagai julukan yang disematkan kepada mereka. Saya cuma ingin mengetahui sampai sejauh mana perjalanan ketiga terpidana mati Bom Bali di alam baka sana. Tentu saja ini sekedar wawancara imaginer yang selalu merasuki daya pikir (alam bawah sadar) saya sebagai jurnalis. Tanpa melibatkan integritas kebenaran yang ada, semua wawancara ini sifatnya fiktif belaka, tentunya agar sekiranya kau dapat menerimanya sebagai versi saya.

Saat ini saya sedang berada di alam kubur. Hal ini saya lakukan mengingat sebagian orang telah menganggap kuburan ketiga “syuhada” mampu mendatangkan kemujuran. Sebagian peziarah datang dan pergi sambil membawa tanah kuburan untuk jimat. Tak heran jika di sekelilingnya timbul kecemasan, tak terkecuali keluarga ketiga mantan terpidana mati tersebut. Adanya sebagian orang yang datang ke makam membuat saya merasa harus meluruskan segalanya. Maka, saya pun masuk jauh menembus ke liang lahat ketiga terpidana. Di situ saya pun mendapati ketiganya sedang duduk-duduk membahas sesuatu yang (menurut pengamatan saya) penting. Dilihat dari keadaannya tampaknya mereka baik-baik saja. Awalnya saya beruluk salam.

Saya: Assalamualaikum…!!!

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Waalaikumsalam…!!! (berbarengan).

Amrozi: Allahuakbar! (sambil mengepalkan tangannya).

Mukhlas: Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! (tiga kali takbir).

Imam Samudera: Allahuakbar! (menyambut kata-kata temannya).

Saya: Bagaimana kabarnya?

Amrozi: Alhamdulillah baik-baik saja.

Imam Samudera: kami sedang membahas keadaan di negara baru ini. Silahkan masuk!

Mukhlas: Dari mana, Mas?

Saya: Saya dari Surabaya. Saya ke sini mau wawancara Anda bertiga.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Silahkan, Mas. Oh iya, kalau boleh tahu Mas ini dari koran apa? (ketiganya menjawab hampir bersamaan).

Saya: Dari media Jejak Manusia.

Imam Samudera: Wah, bagus benar namanya. Berarti Mas ini selalu meliput segala berita yang bersangkutan dengan jejak atau perjalanan manusia. Apa itu termasuk yang sudah meninggal?

Saya: Iya.

Mukhlas: Trus jabatan Mas ini apa?

Saya: Reporter. Hanya saja saya bagian meliput mereka yang sudah tiada. Dulu saya juga pernah meliput Raja Iblis lho.

Amrozi: Wah, hebat tuh! Terus sekarang apa yang hendak Anda tanyakan!

Saya: Begini, saat ini di alam fana Anda bertiga dianggap sebagai syuhada. Bagaimana perasaan Anda?

Imam Samudera: Ah, biasa aja, itu hanya perasaan mereka saja.

Amrozi: Alhamdulillah (manggut-manggut, sambil memegangi jenggotnya)

Mukhlas: Itu terserah anggapan orang, Mas!

Saya: Tapi apa Anda tidak merasa bertanggung jawab terhadap keimanan mereka. Sebagian dari mereka telah musyrik. Ada yang menganggap Anda pahlawan yang mendatangkan kemujuran kemudian mengambil tanah di pekuburan Anda dan menjadikannya ajimat.

Amrozi: Wah, wah kalau itu jangan sampai deh.

Imam Samudera: Iya, yang patut disembah hanya Allah. Tiada selain Dia.

Mukhlas: Kalau saja kami bisa hidup lagi kami pasti akan mencegah mereka. (kata-kata Mukhlas ini diikuti anggukan Imam S dan Amrozi)

Saya: Bagaimana menurut Anda tentang eksekusi kemarin?

Mukhlas: Tidak ada yang perlu dibahas lagi, Mas!

Imam Samudera: Iya, karena hal itu tidak ada gunanya. Lagipula kami sudah pindah alam.

Amrozi: Sekarang yang kita pikirkan adalah perjalanan kita berikutnya.

Saya: Setelah ini Anda mau kemana?


Amrozi, Imam Samudera, Muklas:
Perjalanan kami masih panjang, Mas. Insya Allah, kami juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan kami kepada Yang Di Atas.

Saya: Menurut Anda apakah perbuatan kali mengebom Bali dibenarkan?

Amrozi: Allahuakbar! (kembali mengepalkan tangan)

Imam Samudera: Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Muklas: Allahuakbar! (mengikuti takbir sahabat-sahabatnya)

Saya: Anda selalu menyebut Allahuakbar, apakah Anda sudah menemuinya.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (ketiganya saling pandang-pandangan)

Amrozi: Kita harus yakin bahwa Allah selalu ada di hati kita.

Imam Samudera: Allah tidak pernah meninggalkan kami.

Mukhlas: Dia selalu di sisi kami. Apapun yang kami lakukan semua itu demi Allah.

Saya: Tapi bukankah orang-orang di Bali yang menjadi korban peledakan Anda juga makhluk Allah. Bisa saja berarti Anda juga melukai Allah!

Muklas: Itu hanya pendapat, Mas!

Saya: Yang benar gimana?

Amrozi: Yang kami tentang adalah Amerika. Kaum zionis. Yahudi. Kafir.

Imam Samudera: Mereka semua kafir. Allahuakbar! (sekali lagi gema takbir meraung-raung di alam kubur).

Saya: Bukankah yang menilai kafir dan tidaknya adalah Allah. Anda kan manusia. Bagaimana Anda bisa menilai manusia itu salah dan benar?

Amrozi: Lihat saja Rasulullah.

Saya: Emangnya kenapa dengan Rasul?

Mukhlas: Rasulullah adalah makhluk Tuhan paling suci di muka bumi ini. Dan itu bisa dilihat dari akhlaq beliau.

Imam Samudera: Akhlaq beliau sungguh mulia. Tiada seorang pun makhluk yang mampu menyamainya.

Saya: Korelasinya dengan pertanyaan saya tadi?

Amrozi: Itu artinya benar dan salah bisa dilihat, bisa dinilai. Tidak perlu harus menunggu perintah Allah. Semua sudah tersebutkan dalam kitab suci.

Saya: Apakah dengan melukai sesamanya juga termasuk dalam kitab?

Mukhlas: Itu jihad namanya.

Saya: Tapi jihad kan tidak perlu harus melukai, bahkan membunuh!

Imam Samudera: Anda ini wartawan kok ngeyelan. Yang namanya jihad itu harus dilakukan dengan tindakan. Kalau lewat omongan tidak berhasil, maka jalan satu-satunya adalah tindakan.

Saya: Lho, lho, kenapa Anda harus marah!

Mukhlas: Bukan marah, kami hanya menjelaskan saja. Sebab Anda orangnya ngeyelan sih!

Saya: Lho bukannya itu tugas saya sebagai wartawan.

Amrozi: Sudah tidak perlu dibahas lagi. Sebab itu sudah masa lalu.

Saya: Tuh kan, Anda emosi lagi. Ini kan wawancara imaginer. Kenapa Anda harus marah. Lagipula Anda bertiga sudah mati. Jadi tak ada yang perlu disesali lagi. Seharusnya yang berhak emosi adalah saya. Sebab saya masih hidup, dan saya masih memiliki nafsu untuk marah. Sebaliknya, Anda kan hanya roh. Masa roh bisa marah.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (Ketiganya menunduk malu).

Saya: Anda yakin setelah ini akan masuk surga?

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: (Ketiganya tidak menjawab)

Saya: Lho kok diam saja.

Amrozi:
Kami belum ketemu Mungkar dan Nakir.

Imam Samudera: Iya, makanya kami sekarang sedang mencari mereka. Kiranya apa yang hendak ditanyakan oleh mereka ya…

Muklas: Mungkin mereka takut dengan kami, atau tidak sudi menemui kami.

Saya: Bagaimana seandainya Anda dimasukkan neraka?

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Wallahua’lam.

Saya: Mungkinkah Anda akan menuntut?

Amrozi: Bisa iya, bisa tidak.

Saya: Kok jawabannya tidak yakin.

Imam Samudera: Makanya sekarang ini kami sedang membahas itu. Yang jelas tujuan kami adalah surga.

Saya: Untuk ke sana Anda harus menghindari Malik.

Mukhlas: Iya, itu rencana kami. Sedianya kami memang hendak menemui Ridwan agar diijinkan masuk surga.

Saya: Kalau gitu saya doakan semoga cita-cita Anda terwujud.

Amrozi, Imam Samudera, Muklas: Amin.

1 komentar:

Nisa mengatakan...

Pak, lucu sekali dialognya... saya sampai kayak orang gila tertawa-tawa di warnet...
Oia...mumpung ingat...mengenai wanita yang dilarang berjilbab di sebuah perusahaan... kalau saya jadi wanita itu, saya bakalan keluar dari pekerjaan itu dan cari perusahaan lain yang memperbolehkan saya pakai jilbab...toh Allah sudah menebar rizqi-Nya di muka bumi ini...tinggal kitanya aja yang mau usaha nyari atau nggak...
Atau kalau emang bener-bener ekstrim, nggak ada satu perusahaan pun yang memperbolehkan, ya saya bakal bikin kerjaan sendiri... ngapain kek...saya kan punya ilmu... Pokoknya demi melaksanakan syariat Islam, apapun saya lakukan, insyaAllah...