MEMASARKAN buku-buku nonfiksi, terlebih bertema serius, tebal, tampaknya menjadi momok bagi sebagian besar penerbit di negeri ini. Pengalaman menunjukkan, antusiasme masyarakat mengonsumsi buku-buku semacam ini minim, terlebih jika buku semacam ini dijual dengan harga yang relatif lebih tinggi.
FAKTA semacam ini pula yang mengindikasikan kurang bergairahnya produksi buku-buku nonfiksi-di luar kategori buku pelajaran sekolah-jika dibandingkan dengan buku-buku fiksi. Sebagai gambaran, data penjualan buku-buku di bulan Mei 2005, yang dihimpun Kompas dari jaringan toko buku Gramedia dan Kharisma, memaparkan penjualan terbesar untuk satu judul komik sebanyak 6.815 eksemplar. Di sisi lain, penjualan terbesar untuk satu judul buku kategori fiksi sebanyak 974 eksemplar, sementara untuk satu kategori buku nonfiksi tidak lebih dari 453 eksemplar per judulnya. Angka ini menunjukkan, penjualan buku-buku nonfiksi terbawah tidak lebih dari separuh bagian buku-buku fiksi.
Sekalipun fakta mengungkapkan kondisi betapa tertinggalnya pemasaran buku-buku nonfiksi, hal itu tidak membuat surut langkah sebagian penerbit untuk tetap berkreasi memasarkan buku-buku serius semacam ini. Fakta pun menunjukkan, tidak jarang buku-buku demikian menuai sukses di pasaran.
Buku Batas Nalar karya Donald B Calne terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, misalnya, berhasil mematahkan argumen itu. Buku setebal 458 halaman yang membahas soal wawasan baru tentang hakikat dan peran nalar yang sesungguhnya ini sekarang telah dicetak ulang tiga kali dengan oplah sekitar 8.000 eksemplar, dalam tempo hanya tujuh bulan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila buku tersebut sempat tercatat menjadi salah satu buku laris untuk kategori buku nonfiksi di Pustakaloka edisi bulan Mei lalu.
Larisnya buku-buku dengan tema serius seperti yang terjadi pada buku Batas Nalar ini paling tidak telah memupus anggapan orang selama ini bahwa buku berat atau serius akan sulit terserap oleh pasar. Sebagai gambaran, buku serius yang umumnya merupakan buku nonfiksi bisa terjual 3.000 eksemplar dalam kurun waktu satu tahun sudah tergolong sangat bagus untuk ukuran dunia perbukuan di Indonesia. Umumnya, buku-buku nonfiksi dengan oplah 1.000 hingga 3.000 eksemplar baru terserap seluruhnya oleh pasar dalam waktu tidak kurang dua tahun.
Memang diakui, di belahan dunia mana pun buku nonfiksi sulit menandingi buku fiksi dalam soal jumlah penjualannya. Selain karena isinya kerap dianggap tidak semenarik buku fiksi, target pembacanya pun umumnya khusus dan jumlahnya terbatas. Sebagai contoh buku-buku yang bertutur tentang teori filsafat, mereka yang akan membaca atau membeli buku tersebut hampir bisa dipastikan merupakan kalangan yang sangat terbatas, seperti ahli filsafat, dosen filsafat, mahasiswa yang tengah mengambil mata kuliah filsafat. Buku semacam ini memang tidak menampik kehadiran pembeli dari luar kalangan itu, tetapi dipastikan jumlahnya sangat terbatas.
Hal ini sangat berbeda dengan buku fiksi. Buku fiksi, seperti novel serial teenlit yang saat ini digemari kaum remaja, penjualannya untuk satu judul dengan mudah bisa menembus angka puluhan ribu eksemplar dalam waktu kurang dari satu tahun.
Kendati sulit untuk menandingi omzet penjualan buku fiksi, dengan menarik pengalaman buku Batas Nalar, buku-buku nonfiksi pun tidak tertutup kemungkinan bisa laris di pasar. Persoalannya, apa yang harus dilakukan agar buku-buku serius itu bisa diserap dengan baik oleh masyarakat?
Menurut pengamat perbukuan Frans Parera, paling tidak ada dua kondisi yang perlu diciptakan agar buku bisa diserap secara luas. Pertama, menyangkut aspek psikologis yang di dalam teori pemasaran disebut segmentasi atau pengklasifikasian produk. "Segmentasi itu keluarnya dari kebutuhan psikologis orang," ungkap Parera.
Kedua, menyangkut aspek infrastruktur. Menurut Parera, infrastruktur bisa membuat pemasaran menjadi lebih baik. Jadi, bukan hanya dengan memengaruhi mental orang untuk membeli buku, mendidik orang membeli buku saja, tetapi juga ketersediaan infrastruktur, seperti toko buku dan keseluruhan sistem distribusi. Kedua faktor inilah yang dianggap memengaruhi penyerapan pasar.
Membidik komunitas
Pengalaman berbagai penerbit pun menuturkan hal serupa, betapa memasarkan buku serius atau pemikiran memang tidak mudah. Perlu kiat-kiat tertentu dan penanganan yang khusus pula. "Menurut saya, buku khusus harus dijual dengan cara khusus juga, Tidak bisa mengandalkan dengan penjualan seperti biasanya," kata Antonius Riyanto, Direktur Utama Grup Agromedia, yang membawahkan empat penerbitan, di antaranya penerbit Gagas Media. Cara khusus yang dimaksudkan tidak lagi hanya mengandalkan pola-pola penjualan konvensional dengan menggunakan toko buku sebagai outlet penjualan, tetapi juga mencoba berbagai alternatif pola penjualan lainnya.
Menurut Antonius, langkah pertama yang patut dilakukan dalam memasarkan buku pemikiran atau serius penerbit harus mampu mengidentifikasikan komunitas buku tersebut sehingga mengetahui siapa saja target pembelinya. Penerbit di bawah Grup Agromedia, misalnya, biasa menggunakan iklan di internet dan penyebaran informasi lewat surat elektronik atau e-mail.
"Buku khusus biasanya hanya dicetak sebanyak 1.500 eksemplar, maka jalan terbaik menggunakan internet karena, menurut saya, cara itulah yang memakan dana promosi sedikit. Jadi, kalau buku dicetak sedikit, dana promosinya juga sedikit," kata Antonius menjelaskan.
Tidak berbeda dengan Agromedia, penerbit asal Yogyakarta, Galangpress, pun menggunakan pendekatan komunitas untuk memasarkan buku-bukunya terutama buku-buku yang segmen pasarnya terbatas. Buku Bisik-bisik Remaja, misalnya, peluncurannya tidak di toko buku seperti biasanya, melainkan di sekolah-sekolah.
"Buku itu pasarnya memang anak-anak SMP dan SMA, jadi kami sengaja masuk ke sana (sekolah). Ternyata, respons untuk membeli cukup besar. Kalau di toko buku jumlah anak-anak sekolah yang masuk ke tempat itu lebih sedikit dibandingkan orang umum, otomatis pembelinya juga sedikit," kata Julius Felicianus, pemimpin Galangpress.
Tak hanya ke sekolah-sekolah, Galangpress juga mengadakan peluncuran-peluncuran buku di tempat-tempat mangkal para waria untuk memasarkan buku-buku bertema waria. "Beberapa waktu lalu kami coba di kota Malang di depan stasiun, tempat mangkalnya waria di sana. Buku yang kami bawa jumlahnya 25 habis dibeli, ternyata pembelinya teman-teman waria di sana," kata Julius menambahkan.
Hal serupa juga dilakukan penerbit ini dalam memasarkan buku Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang karya Romo Budi Subanar. Buku itu dicoba dipasarkan di toko buku ternyata tidak laku. Namun, setelah dipasarkan di komunitas-komunitas gereja, buku itu akhirnya bisa laku terjual.
Pengalaman penerbit KPG pun tidak berbeda. Sebelum sebuah buku terbit, KPG biasanya mulai mencari komunitas-komunitas yang diperkirakan akan menjadi pasar potensial. Pendekatan komunitas ini salah satunya dilakukan dalam memasarkan buku Orang Mandar Orang Laut. Berdasarkan informasi dari penulisnya, KPG berusaha untuk mendekati komunitas-komunitas Mandar yang merupakan satu daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Dari pendekatan itu akhirnya ada pengusaha dan pemerintah daerah di wilayah itu tertarik untuk membeli buku tersebut dengan jumlah sekitar 1.000 eksemplar.
"Kami berusaha langsung ke komunitas yang berkepentingan. Jadi, apabila awalnya hanya akan dicetak 2.000 sesuai dengan daya serap toko buku, dengan adanya pasar di luar itu maka buku tersebut akan dicetak lebih dari 2.000 eksemplar," kata Aris Suwartono, Manajer Pemasaran KPG.
Perencanaan promosi
Jika ditelusuri, berbagai upaya dilakukan penerbit untuk memasarkan buku dengan melakukan pendekatan komunitas, iklan, pameran, bedah buku maupun kegiatan-kegiatan promosi lainnya yang dipersiapkan sejak awal sebelum buku diluncurkan ke pasar. Tak ubahnya komoditas lainnya dalam merebut pasar, memasarkan buku juga memerlukan strategi pemasaran dan rencana promosi yang matang.
Menurut Anton dari Grup Agromedia, hal yang pertama dilakukan adalah membuat segmentasi pasar secara tajam dan menyusun cara untuk bisa menembus pasar tersebut. "Setelah itu baru kami atur promosinya. Dibedakan kalau buku serius seperti apa, buku populer seperti apa. Jadi, kami harus merancang teknik promosi dan penyebaran buku sebelum buku itu diterbitkan," tutur Anton.
Pentingnya menyusun perencanaan promosi dan pemasaran buku dengan matang juga diungkap Aris Buntarman. "Orang promosi itu harus punya yang namanya promotion plan. Mereka harus tahu materi bukunya seperti apa, siapa pengarangnya, bagaimana latar belakang si pengarang, siapa target marketnya, kira-kira luas target marketnya berapa?" kata Aris, pemerhati perbukuan yang lama bergelut di bidang pemasaran buku.
Menurut Aris, dari informasi yang dikumpulkan tersebut dibuatlah sebuah rencana promosi atau rencana pemasaran. Oleh karena itu, orang marketing harus menjiwai peranan marketing is behaviour dan marketing adalah program. Pimpinan di bagian marketing harus mengidentikkan seperti jenderal perang. Ia harus mempunyai pasukan komando yang melayani outlet, mempunyai pasukan promosi yang menyusun provokasi dan propaganda maupun pasukan yang mendata pasar dan mendata alamat-alamat target dengan lengkap. Oleh karena itu, dalam marketing diperlukan sebuah team work yang kuat dan kompak, seperti layaknya sebuah perang.
Agar kegiatan promosi dan pemasaran bisa mendulang sukses, mau tidak mau penerbit harus secara khusus mengalokasikan sebagian dana dan sumber daya manusia untuk kegiatan tersebut. Umumnya penerbit menyisihkan 5 hingga 8 persen dari ongkos cetak buku untuk kegiatan promosinya. Sementara itu, untuk pemasarannya, selain tenaga penjual, penerbit juga mempunyai checker-checker yang tiap harinya keliling ke toko-toko buku untuk mengecek ketersediaan buku-buku di tempat-tempat tersebut. Bahkan, penerbit seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) dan Grup Agromedia saat ini mempunyai tenaga salesman dan sales promotion girls (SPG) yang ditempatkan di toko-toko buku. "Tugas SPG kami untuk memperkenalkan buku GPU secara detail kepada setiap pengunjung," kata Danang Priyadi, Manajer Pemasaran GPU.
Kegiatan-kegiatan promosi memang penting, alokasi dana untuk promosi juga penting, ketersediaan infrastruktur pemasaran tak kalah pentingnya, namun dari semua itu yang paling penting adalah bagaimana buku itu sendiri bisa menarik sebanyak-banyaknya orang untuk membeli. Menurut ahli pemasaran Hermawan Kartajaya, hal yang paling penting agar buku itu laku adalah diferensiasi.
"Bagaimana membuat buku kita menjadi berbeda dari yang lainnya, sebab buku yang sejenis itu kan banyak. Judul harus menarik, singkat tapi dapat membedakan dengan buku sejenis, harus melihat tren buku sekarang, dan juga jangan memaksa orang untuk membaca sesuatu yang susah. Kalau ada buku yang susah harus dikemas dengan bahasa yang enak, dan gambar-gambar yang menarik," kata Hermawan menjelaskan.
Untuk itu, peran penerbit menjadi sangat vital dalam persoalan ini. Menurut dia, penerbitlah yang harus menyetir sehingga penulis bisa menyusun buku sesuai dengan keinginan pasar.
Hal semacam ini pula yang ditegaskan Frans Parera dalam memandang para penerbit di negeri ini. Menurut Parera, penerbit di Indonesia tidak tegas dalam merumuskan publishing policy atau editorial policy. Padahal, kedua kebijakan ini menjadi pijakan untuk mendekatkan penulis dengan pembacanya. Akibatnya, sering kali buku-buku karya penulis lokal tidak dapat memenuhi selera masyarakat. Karena itu, buku-buku tersebut tidak terserap pasar. Kalaupun laku, ia tidak akan menjadi best seller.
Jadi, penerbit harus berperan sebagai jembatan antara penulis dan pembaca. Di satu pihak harus dekat dengan pembaca atau konsumen agar tahu selera konsumen, sementara di pihak lain harus dekat dengan penulis agar bisa menulis dengan rutin, menulis dengan aspek-aspek menarik tentu saja.
(WEN/BIP/UMI/Litbang Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar