(Sebelumnya)
Caligula kini histeris. Ia berteriak dan menggoyang-goyang tubuh Drussila yang telanjang dan lunglai. Laki-laki ini kemudian mendudukkan tubuh adiknya. Ia peluk tubuh itu. Ia dekap erat sambil airmatanya bercucuran. Ia hilang akal membangkitkan adiknya dari kematian.
Tubuh gadis itu kemudian diangkatnya. Ia bopong. Dengan tertatih-tatih mayat Drussila dibawa turun dari peraduan. Mayat itu diangkat ke altar penyembahan. Ia tempatkan mayat adiknya yang bugil itu di singgasana yang biasa menjadi tahta Dewi Ishes. Caligula berharap muncul kemujijatan. Datangnya kekuatan dari dunia lain yang bisa menghidupkan kembali adik terkasihnya.
Namun setelah segala upaya yang dilakukan tak mampu menghidupkan kembali Drussila, laki-laki ini pun putus asa. Ia hanya mampu menangis dan menangis. Dan itu dilakukan di samping mayat adiknya, hingga laki-laki yang sangat berkuasa itu tertidur pulas disana.
Ketika terbangun, para menterinya dengan sikap santun berdiri di dekatnya. Wajahnya nampak sendu, sebagai ungkapan ikut berbela sungkawa. Para pengawal istana juga melakukan gaya yang sama. Saat itulah dengan suara lantang Caligula memberi instruksi negara sedang berduka. Seluruh pesta ditiadakan. Keramaian dihapuskan. Dan penduduk Romawi diwajibkan melakukan perkabungan total. Dilarang tertawa selama masa berkabung!
Saat itulah suasana kelam memayungi kerajaan Romawi. Istana sepi dan mencekam. Raja menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia berganti kain hitam. Begitu juga dengan para elitnya. Para pembesar itu tak berani memakai pakaian lain. Ia terpaksa harus berpakaian sama seperti yang dikenakan Caligula.
Raja yang stres ini juga mulai tak kerasan berlama-lama di kamar. Ia berjalan mengelilingi istana. Memonitor para elit politik dan keluarganya. Jika ada yang tertawa di hari perkabungan itu, maka nyawanya akan melayang. Ia dijatuhi hukuman mati.
Istana Romawi kusam. Riuh rendah pesta hilang sudah. Bunyi-bunyian senyap. Saban hari yang terdengar adalah kematian. Orang yang dieksekusi mati. Itu terjadi berulangkali. Akibatnya, suasana istana jadi mencekam. Tak ada yang berani bicara dan berkumpul. Sebab jika itu terjadi dan disalahartikan, maka nyawa bakal melayang.
Memang, instruksi raja soal kerajaan berduka sangatlah ketat. Tertawa, cekikikan, desahan nafas hubungan intim laki perempuan, serta senyuman tak sengaja sekalipun dianggapnya pantangan. Hal-hal itu ditafsirkan sebagai bentuk kegembiraan.
Caligula secara terus menerus menginspeksi kondisi para elit politik yang tinggal dalam istana itu. Raja ini tak pernah diam. Ia berjalan kaki kemana-mana dan melakukan pemeriksaan. Jika ada yang dianggapnya sedang bergembira, Caligula langsung masuk rumah itu. Ia perintahkan para pengawal menyeret yang bersangkutan ke ruang pembantaian, dan disana dibunuh dengan kejam.
Itulah yang menjadikan istana menjelma menjadi kawasan yang menakutkan. Dimana-mana tampak muka-muka tegang. Jika berjalan dan kebetulan kepergok raja, semuanya harus berakting sedih. Lebih terpuji lagi kalau bisa menangis dengan berurai airmata.
Setelah suasana mencekam itu berlangsung lama, suatu hari, Caligula berteriak-teriak tak karuan di dalam istana. Kain hitam yang dikenakan dilebarkan dengan dua tangan. Ia mengepak-kepakkan kain itu. Ia kembali terbius imajinasi lamanya, ingin menjadi burung yang terbang bebas kemana ia suka.
Bicaranya pun mulai ngelantur. Ia merasa telah menjadi dewa. Dewa penguasa jagat raya yang tak ada tandingnya. Caligula berlarian dalam halaman luas istana. Saban bertemu orang ia paksa untuk mengatakan itu. Jika tidak, akan dibunuh.
Setelah mengusik ketenangan penghuni istana, Caligula tiba-tiba meloncat terbang ke luar istana. Ia berbaur dengan rakyat jelata yang nasibnya amat menderita. Ia hidup liar disana. Dan bahaya sedang mengancam raja. Sebab kemelaratan sedang terjadi dimana-mana, karena urat nadi ekonomi rakyat semuanya disedot masuk ke dalam istana. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Senin, 16 Februari 2009
Selasa, 03 Februari 2009
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 12) -- Merangsang Birahi Sang Mayat
(Sebelum)
Melihat Drussila meninggal dunia, Caligula seperti tak percaya. Hatinya guncang. Ia panik. Laki-laki ini tak terkontrol lagi geraknya. Ia naik turun ranjang, dan tak jelas apa yang diinginkan. Saat itulah ia berteriak histeris. Ia mengusir seluruh yang hadir di ruangan itu untuk keluar ruangan.
Kini Caligula sendiri di kamar. Ia hilang akal. Ia mendekati patung Dewi Ishes yang selama ini dipercaya sebagai sumber kekuatan, kekuasaan, dan kelanggengan hidup. Di bawah patung ini ia menyembah. Ia menghiba seperti anak kecil, minta agar Drussila yang telah terpisah jiwa dan raganya disatukan kembali.
Tapi patung itu bisu seribu kata. Patung itu tak bergerak dan menjawab permintaan Caligula. Laki-laki ini pun sangat marah. Ia mengumpat dan mencaci patung itu. Dengan kekuatannya ia dorong dan banting patung itu hingga pecah berkeping-keping.
Dengan kebingungan laki-laki ini kembali mendekati mayat adiknya. Ia goyang-goyang dan dengarkan detak jantungnya. Tapi semuanya tetap sama. Drussila terdiam tak bernyawa. Saat itulah, seperti orang kesetanan, Caligula merobek satu persatu kain penutup tubuh gadis ini. Ia telanjangi mayat gadis ini.
Setelah bugil, tubuh Drussila diciumi. Dengan bernafsu, Caligula melakukan itu. Mulutnya bergerak bebas di wajah, leher, dan berhenti di payudara gadis yang telah menjadi mayat ini. Ia kulum payudara itu sepenuh hati. Ia perlakukan payudara itu seperti sumber kehidupan bagi seorang bayi. Caligula merasa tentram dengan melakukan ulah itu. Tapi harapannya agar Sang Adik hidup kembali taklah kesampaian.
Melihat adiknya masih lemas terkulai tak bernyawa, tubuh Caligula melorot ke bawah. Wilayah sensitif gadis ini diciumi dan diraba-raba. Jari tangannya bermain di wilayah terlarang gadis itu. Ia terus melakukan itu sambil nafasnya memburu, berusaha menjiwai sepenuh hati.
Tapi rangsangan itu tak membangkitkan nafsu birahi Sang Adik. Drussila tidak terangsang. Ia tetap terbujur kaku, tak ada tanda-tanda gadis ini akan kembali hidup lagi. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Melihat Drussila meninggal dunia, Caligula seperti tak percaya. Hatinya guncang. Ia panik. Laki-laki ini tak terkontrol lagi geraknya. Ia naik turun ranjang, dan tak jelas apa yang diinginkan. Saat itulah ia berteriak histeris. Ia mengusir seluruh yang hadir di ruangan itu untuk keluar ruangan.
Kini Caligula sendiri di kamar. Ia hilang akal. Ia mendekati patung Dewi Ishes yang selama ini dipercaya sebagai sumber kekuatan, kekuasaan, dan kelanggengan hidup. Di bawah patung ini ia menyembah. Ia menghiba seperti anak kecil, minta agar Drussila yang telah terpisah jiwa dan raganya disatukan kembali.
Tapi patung itu bisu seribu kata. Patung itu tak bergerak dan menjawab permintaan Caligula. Laki-laki ini pun sangat marah. Ia mengumpat dan mencaci patung itu. Dengan kekuatannya ia dorong dan banting patung itu hingga pecah berkeping-keping.
Dengan kebingungan laki-laki ini kembali mendekati mayat adiknya. Ia goyang-goyang dan dengarkan detak jantungnya. Tapi semuanya tetap sama. Drussila terdiam tak bernyawa. Saat itulah, seperti orang kesetanan, Caligula merobek satu persatu kain penutup tubuh gadis ini. Ia telanjangi mayat gadis ini.
Setelah bugil, tubuh Drussila diciumi. Dengan bernafsu, Caligula melakukan itu. Mulutnya bergerak bebas di wajah, leher, dan berhenti di payudara gadis yang telah menjadi mayat ini. Ia kulum payudara itu sepenuh hati. Ia perlakukan payudara itu seperti sumber kehidupan bagi seorang bayi. Caligula merasa tentram dengan melakukan ulah itu. Tapi harapannya agar Sang Adik hidup kembali taklah kesampaian.
Melihat adiknya masih lemas terkulai tak bernyawa, tubuh Caligula melorot ke bawah. Wilayah sensitif gadis ini diciumi dan diraba-raba. Jari tangannya bermain di wilayah terlarang gadis itu. Ia terus melakukan itu sambil nafasnya memburu, berusaha menjiwai sepenuh hati.
Tapi rangsangan itu tak membangkitkan nafsu birahi Sang Adik. Drussila tidak terangsang. Ia tetap terbujur kaku, tak ada tanda-tanda gadis ini akan kembali hidup lagi. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Senin, 02 Februari 2009
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 11) -- Drussila Meninggal Dunia
(Sebelumnya)
Caligula nampak terkejut. Ada mimik kecewa terhadap jenis kelamin bayi itu. Melihat perubahan wajah Sang Kakak, Drussila cepat tanggap. Ia langsung bilang, biar wanita, ia bisa menjadi pewaris tahta. Ia bisa menggantikan ayahnya untuk menjadi raja Romawi.
Kalimat Drussila itu membahagiakan Caligula. Raja pemarah itu tak lagi bersungut. Ia kembali bahagia. Ia berteriak-teriak kegirangan. Dengan lantang Caligula mengumumkan kerajaan Romawi bakal melakukan pesta besar-besaran untuk menyambut kelahiran jabang bayi itu.
Sabda pandita ratu. Yang terucap langsung direspons yang hadir. Dalam tempo cepat, keriuhan pesta pun berjalan. Hiruk-pikuk terjadi di dalam istana ini. Makanan dan minuman keras dihidangkan. Termasuk laki-laki telanjang dan perempuan bugil berserak di ruang itu. Pesta gila-gilaan terjadi. Dan adegan sodomi, oral seks, serta heteroseks pun memenuhi aula prosesi kelahiran itu.
Saat para elit politik kerajaan Romawi melakukan pesta massal itu, Drussila merasakan kepalanya pening. Tubuh gadis ini menggigil. Keringat bercucuran. Pakaian tipis warna putih yang dikenakan basah oleh keringat. Nampak guratan dari lekuk liku tubuhnya yang indah.
Gadis ini terduduk di ruang itu. Ia berusaha menghindar dari ruang pesta. Ia berusaha menguatkan diri agar tidak tampak sakit. Tapi kakinya sulit untuk diajak melangkah. Akhirnya ia pingsan. Gadis ini tak sadarkan diri di tengah keramaian suasana pesta yang meriah.
Caligula melihat kondisi Drussila yang mengkhawatirkan, langsung menghentikan pesta. Suaranya menggelegar di ruangan. Ia berteriak histeris. Ia menyuruh adiknya dibawa ke peraduannya. Ia menghentikan pesta. Dan seluruh tabib istana diperintahkan untuk merawat Drussila.
Drussila dibopong ramai-ramai ke kamar tidur raja. Gadis itu tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Saat dibaringkan di kamar, gadis ini sudah sangat lemah. Dan yang menakutkan, ketika para tabib yang berusaha mengobati gadis ini ditanya Caligula, semuanya menggelengkan kepala.
Caligula panik. Ia duduk dan merangkul kepala adiknya. Ia melihat wajah Drussila sudah kepucatan. Matanya sayu, dan bibirnya melukis sesungging senyum. Seperti senyum ucapan selamat tinggal.
Saat Caligula menangis histeris, mata Drussila terbuka. Bibir gadis itu kelu. Ia tak mampu mengucapkan kata-kata. Senyumnya kembali mengembang. Tapi itu tak lama. Hanya sekejap. Setelah itu matanya terpejam, dan kepalanya lunglai. Drussila, adik Caligula yang merangkap kekasih, orangtua, dan guru etikanya itu menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan segalanya. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Caligula nampak terkejut. Ada mimik kecewa terhadap jenis kelamin bayi itu. Melihat perubahan wajah Sang Kakak, Drussila cepat tanggap. Ia langsung bilang, biar wanita, ia bisa menjadi pewaris tahta. Ia bisa menggantikan ayahnya untuk menjadi raja Romawi.
Kalimat Drussila itu membahagiakan Caligula. Raja pemarah itu tak lagi bersungut. Ia kembali bahagia. Ia berteriak-teriak kegirangan. Dengan lantang Caligula mengumumkan kerajaan Romawi bakal melakukan pesta besar-besaran untuk menyambut kelahiran jabang bayi itu.
Sabda pandita ratu. Yang terucap langsung direspons yang hadir. Dalam tempo cepat, keriuhan pesta pun berjalan. Hiruk-pikuk terjadi di dalam istana ini. Makanan dan minuman keras dihidangkan. Termasuk laki-laki telanjang dan perempuan bugil berserak di ruang itu. Pesta gila-gilaan terjadi. Dan adegan sodomi, oral seks, serta heteroseks pun memenuhi aula prosesi kelahiran itu.
Saat para elit politik kerajaan Romawi melakukan pesta massal itu, Drussila merasakan kepalanya pening. Tubuh gadis ini menggigil. Keringat bercucuran. Pakaian tipis warna putih yang dikenakan basah oleh keringat. Nampak guratan dari lekuk liku tubuhnya yang indah.
Gadis ini terduduk di ruang itu. Ia berusaha menghindar dari ruang pesta. Ia berusaha menguatkan diri agar tidak tampak sakit. Tapi kakinya sulit untuk diajak melangkah. Akhirnya ia pingsan. Gadis ini tak sadarkan diri di tengah keramaian suasana pesta yang meriah.
Caligula melihat kondisi Drussila yang mengkhawatirkan, langsung menghentikan pesta. Suaranya menggelegar di ruangan. Ia berteriak histeris. Ia menyuruh adiknya dibawa ke peraduannya. Ia menghentikan pesta. Dan seluruh tabib istana diperintahkan untuk merawat Drussila.
Drussila dibopong ramai-ramai ke kamar tidur raja. Gadis itu tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Saat dibaringkan di kamar, gadis ini sudah sangat lemah. Dan yang menakutkan, ketika para tabib yang berusaha mengobati gadis ini ditanya Caligula, semuanya menggelengkan kepala.
Caligula panik. Ia duduk dan merangkul kepala adiknya. Ia melihat wajah Drussila sudah kepucatan. Matanya sayu, dan bibirnya melukis sesungging senyum. Seperti senyum ucapan selamat tinggal.
Saat Caligula menangis histeris, mata Drussila terbuka. Bibir gadis itu kelu. Ia tak mampu mengucapkan kata-kata. Senyumnya kembali mengembang. Tapi itu tak lama. Hanya sekejap. Setelah itu matanya terpejam, dan kepalanya lunglai. Drussila, adik Caligula yang merangkap kekasih, orangtua, dan guru etikanya itu menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan segalanya. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Langganan:
Postingan (Atom)