Senin, 29 Desember 2008
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 7) -- Penis Dipotong, Vagina Dibasahi Darah
(Sebelumnya)
Malang nian prajurit istana ini. Hanya gara-gara dekat-dekat raja yang sedang emosi, ia terkena getahnya. Bukan jabatan yang dicopot, tetapi nyawanya yang dipisahkan dari raganya. Ia dieksekusi mati. Kematiannya dilakukan secara perlahan-lahan.
Caligula memang raja yang pemberang. Protes Drussila yang tak setuju kakak iparnya yang sedang hamil besar disuruh menari bugil menelan jiwa. Seorang prajurit yang dekat dengan peristiwa itu langsung dieksekusi.
Prajurit itu digelandang keluar. Di ruang pembantaian, laki-laki itu ditelanjangi. Caligula mencabut pedang dari prajurit yang lain. Dengan sadis ia menorehkan pedang itu ke tubuh prajurit tak berdosa itu. Ia menusukkan pedang itu berulangkali. Dan setelah itu memberi instruksi pada prajurit yang lain agar membunuhnya secara pelan-pelan.
Prajurit yang lain, karena takut, melakukan perintah itu. Ia tusuk perutnya, dan ia penggal kepalanya. Prajurit yang malang itu pun menemui ajalnya. Ia tewas bermandi darah.
Melihat prajurit yang dibencinya itu cepat mati, Caligula marah-marah. Ia menyebut kematian itu terlalu cepat. Untuk melampiaskan kemarahannya itu, raja ini pun menyuruh agar penis laki-laki malang itu dipotong dan diberikan untuk makanan anjing. Dan, tak ada yang berani untuk tidak melakukan instruksi itu.
Saat anjing besar memakan penis prajurit itu, Caligula bersuka cita. Ia merasakan kejengkelannya terobati. Ia pun berteriak kegirangan, dan memanggil Caesonia, permaisurinya.
Ketika wanita hamil besar ini datang, Caligula menyuruh wanita itu membasuh liang peranakannya dengan darah segar prajurit itu. Raja ini menyebut, itu sebagai bagian dari pengalihan kekuatan Sang Prajurit ke bayi yang bakal dilahirkan.
Caesonia pun patuh. Ia kembali menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia telanjang bulat. Nampak payudaranya kencang dan padat berisi. Perutnya membuncit. Pusarnya menonjol keluar. Dan bulu kemaluan wanita ini tumbuh lebat menutupi sebagian wilayah yang tersembunyi.
Tanpa ragu wanita itu jongkok mekangkang di atas tubuh prajurit yang mati bermandi darah itu. Ia menempatkan kemaluannya di bekas penis prajurit yang sudah dipotong itu. Darah yang menggenang di daerah itu ia duduki. Ia putar pantatnya, agar darah prajurit itu bisa membasahi sampai ke dalam lobang peranakannya.
Tak puas hanya itu, melalui tangannya, Caesonia meraup darah itu, dan memasukkan ke dalam kemaluannya. Nampak wilayah sensitif permaisuri ini basah kuyup. Darah yang sudah menggumpal itu memenuhi paha, kemaluan, sampai perutnya yang sudah menggunung. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Malang nian prajurit istana ini. Hanya gara-gara dekat-dekat raja yang sedang emosi, ia terkena getahnya. Bukan jabatan yang dicopot, tetapi nyawanya yang dipisahkan dari raganya. Ia dieksekusi mati. Kematiannya dilakukan secara perlahan-lahan.
Caligula memang raja yang pemberang. Protes Drussila yang tak setuju kakak iparnya yang sedang hamil besar disuruh menari bugil menelan jiwa. Seorang prajurit yang dekat dengan peristiwa itu langsung dieksekusi.
Prajurit itu digelandang keluar. Di ruang pembantaian, laki-laki itu ditelanjangi. Caligula mencabut pedang dari prajurit yang lain. Dengan sadis ia menorehkan pedang itu ke tubuh prajurit tak berdosa itu. Ia menusukkan pedang itu berulangkali. Dan setelah itu memberi instruksi pada prajurit yang lain agar membunuhnya secara pelan-pelan.
Prajurit yang lain, karena takut, melakukan perintah itu. Ia tusuk perutnya, dan ia penggal kepalanya. Prajurit yang malang itu pun menemui ajalnya. Ia tewas bermandi darah.
Melihat prajurit yang dibencinya itu cepat mati, Caligula marah-marah. Ia menyebut kematian itu terlalu cepat. Untuk melampiaskan kemarahannya itu, raja ini pun menyuruh agar penis laki-laki malang itu dipotong dan diberikan untuk makanan anjing. Dan, tak ada yang berani untuk tidak melakukan instruksi itu.
Saat anjing besar memakan penis prajurit itu, Caligula bersuka cita. Ia merasakan kejengkelannya terobati. Ia pun berteriak kegirangan, dan memanggil Caesonia, permaisurinya.
Ketika wanita hamil besar ini datang, Caligula menyuruh wanita itu membasuh liang peranakannya dengan darah segar prajurit itu. Raja ini menyebut, itu sebagai bagian dari pengalihan kekuatan Sang Prajurit ke bayi yang bakal dilahirkan.
Caesonia pun patuh. Ia kembali menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia telanjang bulat. Nampak payudaranya kencang dan padat berisi. Perutnya membuncit. Pusarnya menonjol keluar. Dan bulu kemaluan wanita ini tumbuh lebat menutupi sebagian wilayah yang tersembunyi.
Tanpa ragu wanita itu jongkok mekangkang di atas tubuh prajurit yang mati bermandi darah itu. Ia menempatkan kemaluannya di bekas penis prajurit yang sudah dipotong itu. Darah yang menggenang di daerah itu ia duduki. Ia putar pantatnya, agar darah prajurit itu bisa membasahi sampai ke dalam lobang peranakannya.
Tak puas hanya itu, melalui tangannya, Caesonia meraup darah itu, dan memasukkan ke dalam kemaluannya. Nampak wilayah sensitif permaisuri ini basah kuyup. Darah yang sudah menggumpal itu memenuhi paha, kemaluan, sampai perutnya yang sudah menggunung. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Kamis, 25 Desember 2008
Guns N Roses: 'CHINESE DEMOCRACY', Akhir Sebuah Penantian
Setelah sempat tertunda selama lima belas tahun, akhirnya album CHINESE DEMOCRACY dirilis juga meski hanya secara eksklusif lewat Best Buy. Lalu setelah mengendap selama itu di studio apa sebenarnya yang akan ditawarkan Axl Rose yang notabene tinggal satu-satunya personel awal Guns N Roses?
Secara umum, empat belas lagu yang dikemas dalam album ini terasa jauh berbeda dengan warna yang selama ini ditawarkan GNR. Kalaupun ada kesamaan sebenarnya album ini lebih mirip lagu November Rain atau Estraged karena Axl banyak memasukkan unsur orkestra dan bunyi denting piano seperti pada kedua lagu tersebut.
Melihat hasil akhir dari album berusia lebih dari sepuluh tahun ini, wajar saja jika Slash dan para personel lain memilih mengundurkan diri dari GNR. Konsep album ini sudah melenceng jauh dari titik awal tempat GNR didirikan. Malah bisa disebut album ini sebenarnya adalah solo album Axl Rose meski masih mengusung nama GNR.
Bila Anda melihatnya dari sisi kreativitas, maka bisa dibilang album ini adalah hasil eksperimen dari Axl yang jelas penuh dengan warna baru. Axl tak segan-segan memasukkan bunyi-bunyian synthesizer dan mellotron untuk mencapai hasil yang ia mau. Hasilnya memang membuat lagu-lagu dalam album ini terasa fresh, modern, megah sekaligus juga kehilangan taring.
Soal kehilangan taring, bisa disebut hampir semua lagu memang kehilangan power yang dulu identik dengan musik GNR. Di samping disebabkan karena bunyi-bunyian 'mesin' yang rata-rata dianggap 'haram' oleh para musisi rock karena menghilangkan 'roh' dari lagu itu sendiri, nada-nada hip-hop yang tercium keras di beberapa lagu juga turut menyumbangkan andil dalam menurunkan 'tegangan' lagu.
Untungnya, kesan lembek ini sedikit terangkat oleh raungan serak falsetto Axl ditambah dengan suara riff-riff gitar dengan distorsi tebal. Namun jangan berharap dapat mendengar solo gitar yang melodius kental berbau blues ala Slash karena ia tak lagi menyumbangkan suara gitarnya dalam album ini. Akhirnya yang tersisa hanyalah suara gitar dengan efek distorsi tebal dan nada-nada yang sebenarnya lebih terasa sebagai pamer teknik dan kecepatan saja.
Ada beberapa lagu dalam album ini yang sebenarnya cukup menarik, atau setidaknya punya paduan nada yang catchy dan dijamin bakalan jadi track favorit. Sebut saja lagu Chinese Democracy yang dibuka dengan riff gitar yang sepintas terdengar seperti riff lagu Rock You Like a Hurricane punya Scorpions atau track berjudul Better yang awalnya terdengar lebih mirip lagu R&B ketimbang lagu rock.
Pada lagu Madagascar yang sekilas terdengar seperti lagu Kashmir punya Led Zeppelin, Axl mencoba memasukkan sampel dari pidato Dr. Martin Luther King di tengah-tengah lagu sementara IRS dan Riad n' the Bedouins dikemas dalam aransemen yang sederhana sehingga lebih kental berbau hard rock.
Meski tak bisa dibilang album yang buruk, namun CHINESE DEMOCRACY ini tak bisa juga disebut sebuah album yang fenomenal dari sebuah grup rock besar seperti GNR. Bisa jadi mungkin karena sudah terlalu lama kita menunggu dirilisnya album ini sampai saat ia benar-benar dirilis, gregetnya sudah hilang.
'AUSTRALIA', Petualangan Romantis di Benua Australia
Pemain: Nicole Kidman, Hugh Jackman, David Wenham, Bryan Brown
Lady Sarah Ashley (Nicole Kidman) adalah seorang wanita ningrat yang mewarisi Faraway Downs, sebuah peternakan sapi yang sangat luas, di bagian Utara Australia. Semuanya berjalan lancar sampai Neil Fletcher (David Wenham) berusaha merebut peternakan itu dari tangan Sarah.
Neil ingin merebut peternakan Sarah agar peternakan itu bisa menjadi bagian dari peternakan Lesley Carney (Bryan Brown), majikannya. Bila Faraway Downs bisa menjadi milik Lesley maka peternakan diseluruh perbatasan Utara akan sepenuhnya menjadi milik Lesley.
Karena tak punya pilihan lain, Sarah akhirnya menurut ajakan salah satu cowboy (Hugh Jackman) bawahan Sarah yang mengajak Sarah untuk membawa ternak Sarah menuju Darwin dengan harapan ternak ini dapat dibeli oleh pihak militer di Darwin.
Perjalanan sejauh ratusan mil melintasi pedalaman Australia yang ganas itu akhirnya akhirnya jadi petualangan yang tak akan pernah mereka lupakan. Kisah cinta pun akhirnya mewarnai perjalanan panjang dua manusia ini.
Baz Luhrmann, sang sutradara mengambil setting benua Australia di awal tahun 40-an sebagai latar belakang dari film ini. Secara tidak langsung latar belakang sejarah memang memberi efek seolah kisah yang terjadi adalah sebuah kisah nyata walau sebenarnya cerita yang disajikan dalam film ini sepenuhnya adalah sebuah fiksi.
Film epic seperti yang satu ini memang jarang dibuat belakangan ini. Dan dari sekian banyak film produksi tahun 2008 ini, bisa jadi AUSTRALIA ini memang terasa sangat berbeda dan cukup menyegarkan suasana di antara kemonotonan yang ada. Dengan film ini, Baz Luhrmann seolah berusaha mengulang kesuksesan film MOULIN ROUGE! yang dibuatnya di tahun 2001 lalu.
Dan agaknya usaha itu juga cukup berhasil terbukti sejak dilepas 26 November lalu film ini berhasil mengumpulkan tak kurang dari US$57 juta meski hanya dirilis di tujuh negara saja. Kabarnya, 20th Century Fox, distributor yang mengedarkan film ini merasa cukup puas dengan kesuksesan film ini karena angka yang diraih sejauh ini sudah melebihi angka prediksi mereka.
Namun tentu saja kesuksesan film ini juga tak lepas dari kemampuan akting Nicole Kidman dan Hugh Jackman yang tampil dengan baik dalam film ini. Satu yang mungkin agak mengejutkan justru adalah penampilan bintang cilik Brandon Walters yang memerankan tokoh Nullah. Akting bocah berusia 13 tahun ini cukup mengagumkan sebagai seorang bocah keturunan Aborigin yang kehilangan kedua orang tuanya dan akhirnya menjadi anak angkat Sarah.
Anda juga akan dijamu dengan serangkaian gambar-gambar pemandangan indah di daerah pedalaman Australia dengan polesan CGI yang membuatnya jadi makin menarik. Sebagai tambahan, Anda harus menyiapkan energi ekstra karena film ini berdurasi cukup panjang (166 menit). Untungnya alur cerita cukup menarik sehingga tak membosankan.
IP Man
Now Playing
Film ini diadaptasi dari sebuah kehidupan nyata Yip Man, juaran Wing Chun, yang bergaya ciri khas guru besar legendaris Bruce Lee.
Sang sutradara Wilson Yip, membuat film ini lebih memfokuskan pada penjajahan jepang di China sekitar tahun 30-an.
Selain itu, film ini juga menyoroti bagaimana IP Man yang sangat mencintai negerinya sendiri dan menolak mengajarkan Wing Chun kepada tentara jepang saat itu.
Disisi lain film ini memiliki nilai lebih karena menggambarkan seni bela diri Wing Chun dengan sangat realistis.
Film ini menampilkan rekaman-rekaman penting kehidupan Bruce Lee. Keteguhan dalam mempelajari kung fu di salah satu cabang bela diri kung fu yaitu Wing Chun sejak usianya 13 tahun.
Karena kecintaannya pada ilmu bela diri, membuatnya rela berkorban demi mengembangkan ilmu bela dirinya. Setelah sekian lama mempelajari Wing Chun, IP Man memutuskan untuk membuka perguruan kung fu sendiri.
Keteguhan IP Man atas Wing Chun merupakan contoh klasik akan cinta dan penghargaan terhadap Wushu, kebebasan serta seni olahraga tersebut. Banyak orang yang berguru pada IP Man, salah satu muridnya adalah Bruce Lee yang berguru selama 5 tahun. jne
Mau tau selanjutnya?? Saksikan di bioskop kesayangan anda....
Jenis Film :
Action
Produser :
Raymond Wong
Produksi :
Mandarin Films Distribution
Pemain :
Donnie Yen
Simon Yam
Fan Siu-Wong
Lynn Hung
Lam Ka-Tung
Hiroyuki Ikeuchi
Sutradara :
Wilson Yip
Penulis :
Edmond Wong
Madagaskar: Escape 2 Afrika
Coming Soon
Film sekuel animasi Madagaskar akan kembali meramaikan dunia perfilman dan menyapa para penggemarnya lewat Madagaskar: Escape 2 Afrika.
Film animasi ini masih tetap lucu dan konyol seperti film sebelumnya yang diluncurkan tahun 2005 lalu.
Sampai saat ini film Madagaskar masih dipercayakan oleh sutradara Eric Darnell dan Tom McGrath. Bukan hanya itu saja, pengisi suara seperti Chris Rock, Ben Stiller, Jada Pinkett Smith dan David Schwimmer masih tetap menjadi tokoh-tokoh yang mereka perankan di tahun lalu.
Cerita ini dimulai dari terdamparnya penghuni kebun binatang New york, Alex - Singa (Ben Stiller), Marty - Zebra (Chris Rock), Melman - Jerapah (David Schwimmer) dan Gloria – Kuda Nil (Jada Pinkett Smith). Mereka semua berusaha keras untuk kembali ke New york, tempat dimana asal mereka tinggal.
Mereka semua bersiap-siap dan mencoba memperbaiki pesawat yang rusak untuk kembali, tetapi bukannya mereka kembali ke New York, malah mendarat di Afrika yang ganas. Disana Alex bertemu dengan seluruh keluarganya. Tetapi Alex mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan keluarganya, karena banyak waktu yang ia habiskan dikebun binantang Central Park selama ini.
Selain Alex, teman-temannya pun seperti Marty, Melman, Gloria bertemu dengan binatang yang sejenis mereka. Dari situlah mereka menyadari bahwa kehidupan mereka dikebun binatang Central Park sangatlah berbeda dengan saudara-saudara mereka yang hidup lepas di alam bebas.
Dapatkah mereka kembali ke New York atau mereka hidup bersama saudara-saudara mereka di Afrika?? Saksiakan dibioskop kesayangan anda. jne
Jenis Film :
Animation - Semua Umur (general)
Produser :
Mireille Soria, Mark Swift
Produksi :
Dreamworks Animation
Pemain :
Ben Stiller
Chris Rock
David Schwimmer
Jada Pinkett Smith
Sacha Baron Cohen
Cedric the Entertainer
Sutradara :
Eric Darnell
Tom Mcgrath
Penulis :
Ethan Cohen
Transporter 3
Now Playing
Film yang bergendre action ini, kembali hadir dalam film ketiganya. Cerita ini berawal dari Frank Martin mengantar Valentine dengan sangat terpaksa.
Putri Leonid Vasiley, kepala agen pertahanan Ukraina yang diculik dari Marseilles melalui Stuttgart dan Budapes.
Penculikan ini berakhir hingga di laut Hitam di Odessa. Sepanjang perjalanan frank yang dibantu dengan Inspektur Tarconi, Frank bersaing dengan orang-orang yang ingin merebut tugasnya.
Orang-orang yang ingin merebut dan menghalangi tugasnya itu adalah agen yang dikirim oleh Vasiley. Meskipun Frank dan Valentine memiliki sifat yang berbeda namun mereka akhirnya saling jatuh cinta dan mereka berdua mencoba untuk keluar dari situasi yang mengancam hidup mereka. jne
Jenis Film :
Action
Produser :
Quentin Tarantino, Lawrence Bender
Produksi :
Lionsgate Films
Pemain :
Jason Statham
Francois Berleand
Natalya Rudakova
Robert Knepper
Sutradara :
Olivier Megaton
Penulis :
Luc Besson
Rober Mark Kamen
Bold
Now Playing
Film produksi Walt Disney Picture ini, menceritakan kehidupan seekor anjing German Stepherd yang diberi nama Bold (John Travolta), Bold adalah seekor anjing yang bekerja sebagai pahlawan anjing di acara televisi.
Akibat kerjaanya sebagai pahlawan anjing, Bold menjadi merasa bahwa kekuatannya dan semua kejadian yang ia alami sebagai pahlawan anjing benar terjadi.
Saat ia pergi ke Hollywood menuju New York secara tidak sengaja, Bold bertemu kembali dengan pemilik dan pemain pendukung bernama Penny (Miley Cyrus). Sepanjang perjalanan, Bold bergabung dengan seekor kucing bernama Mittens (Susie Essman).
Selain bergabung dengan seekor kucing, Bold bergabung juga bersama hamster yang terobsesi pada artis televisi bernama Rhino (Mark Walton), dimana Bold menyadari bahwa tidak perlu kekuatan hebat jika ingin menjadi pahlwan. jne
jenis Film :
Animation
Produser :
Clark Spencer, John Lasseter
Produksi :
Walt Disney Pictures
Pemain :
Voices of John Travolta
Miley Cyrus
Malcolm Mcdowell
Claire Holt
Sutradara :
Chris Williams
Penulis :
Chris Williams
Dan Fogelman
City Of Ember
Coming Soon
Selama beradad-abad, penduduk kota Ember tidak pernah menikmati indahnya sinar matahari. Karena lapisan dipermukaan bumi dipenuhi oleh racun, sehingga penduduk berpindah hidup kebawah dasar bumi.
Karena penduduk Ember tinggal dibawah tanah, kota mereka selalu diliputi kegelapan. Cahaya satu-satunya adalah bola lampu yang selalu menerangi kota Ember. Suatu saat, bola lampu yang menerangi kota Ember tiba-tiba padam.
Para penduduk menjadi khawatir dan panik, mereka takut bila sumber cahaya ini akan padam selamanya. sementara untuk keluar dari batas kota tidak ada satupun yang berani karena selama ini mereka tidak pernah membuat sumber cahaya yang bisa dibawa, sedangkan perjalanan menuju batas kota sangat gelap.
Di dalam keadaan seperti ini, ada dua orang remaja Lina Mayfleet (Saoirse Ronan) dan Doon Harrow (Harry Treadaway) mulai mencari tahu apa penyebeb terjadinya bola lampu padam. Didalam perjalanan mereka mencari tahu, mereka tidak menyadari bahwa ini akan membuka tabir misteri masa lalu kota Ember. jne
Jenis Film :
Adventure/fantasy - Remaja (teenage)
Produser :
Tom Hanks, Gary Goetzman
Produksi :
Walden Media
Pemain :
Bill Murray
Saoirse Ronan
Harry Treadaway
Mackenzie Crook
Sutradara :
Gil Kenan
Penulis :
Caroline Thompson
Jeanne Duprau (novel
Selasa, 23 Desember 2008
Aku, Omar Hen
(sebuah apologi)
Oleh: Hujan
Pelarian ini begitu melelahkan. Betul, kupikir-pikir demikian. Aku, Omar Hen, bapakku langit dan ibuku bumi. Puluhan tahun aku sudah berlari, melarikan diri dari identitasku sendiri.
Aku sudah lelah untuk berlari dan sembunyi. Tapi kenyataannya, sekarang aku sudah letih. Dan tak punya semangat lagi untuk melanjutkan kesendirianku.
Aku kesepian. Di dalam pelarianku, aku kesepian. Omar Hen, anak langit dan bumi ini kesepian sepanjang jaman.
Didalam pengasinganku, aku selalu berpikir, kenapa ini semua aku lakukan? Apakah aku begitu pegecut untuk menghadapi kenyataan, sehingga harus memutuskan membunuh diri dan hidup menjadi orang lain, orang lain yang hingga hari ini masih asing dan agaknya akan terus terasa asing. Oh Tuhan, aku Omar Hen, lelaki sepuh dan misterius. Lelaki yang tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kucari.
Dulu aku pernah buat kesalahan. Tapi kesalahan itu tak begitu saja menjadi alasan untukku pergi melarikan diri. Mungkin kesalahan itu fatal. Dan itu membuatku menjadi orang yang tidak percaya pada siapapun, bahkan pada diri sendiri. Kesalahan itu membuatku hilang dalam kesuraman sejarah masa silam. Aku kesepian. Aku Omar Hen, hanya berteman pada langit yang menjadi bapakku, dan bumi yang menjadi ibuku.
“Kau harus selesaikan permainan ini Omar,”
“Belum saatnya,”
“Kau harus pulang,”
“Nanti saja,”
“Kau sudah renta Omar, tak pantas lagi untuk sembunyi, sudahlah, kau pasrah saja,”
“Tidak, aku masih kuat. Aku masih kuat untuk berlari dan menemukan tempat persembunyian baru lagi,”
“Kau mesti menyerah, dunia sudah berubah, semua sudah terdokumentasi pada relif tertatah. Sejarah tinggal sejarah. Semua orang sudah melupakanmu, melupakan kebodohanmu,”
Aku terdiam. Bayangan masa silam itu menghampiriku.
Aku, Omar Hen, bapakku langit ibuku bumi. Sekarang aku dipaksa menyerah dan menanggung malu pada diri sendiri? Tidak! Aku harus bertahan, menyembunyikan rahasiaku, serapat mungkin. Bahkan dari kemungkinan bayangan masa silam yang berkhianat.
“Aku Omar Hen yang asli!”
“Kau?”
“Iya,”
“Gila!”
“Aku tidak gila, kalian salah, aku tak pernah mati, aku selalu hidup dan terus berperang melawan diri sendiri!”
“Mana mungkin. Omar Hen sudah tewas berpuluh tahun yang lalu. Sekarang, bahkan dia telah menjadi pahlawan. Pahlawan di hati rakyat semesta. Kau, orangtua, jelek dan pikun, pulanglah, dan simpan ocehan subversifmu itu,”
Sejak itu, aku tak berani lagi mengaku sebagai si Omar Hen yang asli, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, pendekar negeri, yang gagal dan melarikan diri saat revolusi terhenti. Sebab bila aku berani mengaku sebagai aku lagi, maka mereka akan segera memasukkan ke dalam bui. Aku diancam, aku dipaksa untuk tidak mengaku, bahwa aku adalah aku, sekian puluh tahun yang lalu.
“Omar Hen itu pemberani, dia menentang iblis kapitalis dengan seorang sendiri,”
“Betul, dia mengorbankan dirinya, demi rakyat semesta,”
“Tak mungkin dia masih hidup,”
“Dia sudah mati, mati dalam keadaan terhormat dan dengan rasa khidmat yang tinggi pada tanah dan air,”
“Omar Hen adalah pahlawan di hati kami,”
“Jangan ganggu, dan coba mengaku-aku,”
“Omar Hen sudah mati, buku sejarah manapun menuliskan itu,”
“Dia pahlawan yang menghilang bersama keberaniannya, namun semangatnya tetap ada dan hadir di hati kami,”
“Sana, pergi!”
“Pergi, atau kami panggil polisi,”
Sepertinya, aku memang ditakdirkan sendiri. Menjadi zombie, keliaran bebas sebagai Omar Hen yang terus berlari, entah dari apa.
“Kalau kau memang Omar Hen, muncullah dan mengaku saja,”
“Omar Hen itu satria, dia bukan pengecut. Paling tidak begitulah kata sejarah,”
Aku paling tahu siapa Omar Hen. Sebab aku, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, adalah pendekar penentang iblis kapitalis. Aku masih ingat pertempuran itu. Meski sudah berpuluh-puluh tahun, aku masih ingat dengan jelas sekali. Lebih jelas dari sejarah yang dituliskan pusat dokumentasi negeriku sendiri. Bagiku, penulis sejarah tentangku sama sekali tak mengenalku.
Baiklah, aku Omar Hen, bertanggung jawab meluruskan kesalahan itu. Tapi bagaimana bisa? Sekarang, untuk mengaku saja aku tak bisa. Aku dipaksa untuk menutup mulutku ini. Padahal, berpuluh tahun yang lalu, apapun yang keluar dari mulutku ini selalu di dengar rakyat semesta. Oh Tidak. Benarkan aku bukan Omar Hen? Omar Hen yang berbabakkan langit dan beribukan bumi. Omar Hen yang bertarung melawan iblis kapitalis. Omar Hen yang tiba-tiba menghilang, bahkan dari ingatanku sendiri.
Aku pernah berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Tapi tidak mungkin. Apa kata bumi, jika nanti mereka menerima jasadku, sementara rahasia yang selama ini selalu turut kemana aku pergi belum juga dibongkar. Apa kata langit yang akan menerima rohku, jika aku datang padanya, dalam keadaan nista? Tidak istikomah. Tidak sesuai dengan arah sejarah?
Aku tak pernah lagi berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Aku harus mencari seseorang yang mau mendengar kisahku, yang mau percaya bahwa aku adalah Omar Hen, si anak hilang yang dianggap mati dan diberi gelar pahlawan.
Tapi siapa? Siapa yang sudi mendengar kisahku ini? Hantu? Hantu teman-temanku? Teman-temanku seperjuangan yang telah mati, namun tak mendapatkan gelar apapun dari sejarah? Sungguh aku tak mau membuat mereka kecewa dua kali. Aku tak akan mengisahkan ini kepada mereka. Mereka lebih tahu apapun soal sejarahku dibandingkan aku sendiri.
Kisah ini harus kubongkar! Tidak bisa tidak! Semuanya harus jelas. Sekarang aku sudah mau mati. Aku mau pergi dalam keadaan bersih. Aku mau ada orang yang mendengarkan kisahku. Mengakui bahwa akulah si Omar Hen, anak langit dan bumi yang pergi bertempur melawan iblis kapitalis, namun hilang…
Iya, aku ingat sekarang. Aku ingat ada di mana aku saat pertempuran itu terjadi. Aku melihat teman-temanku pergi menyerahkan kepalanya. Iya, mereka pergi dengan harapan bisa memenangkan pertempuran lewat pengorbanan mereka. Ah… tapi di mana aku?
Aku tak melihat diriku diantara mereka. Ah… ada di mana aku? Mengapa aku tak ada di sana pada saat eksekusi mati dilakukan kepada teman-temanku. Aku, aku menghilang… aku menghilang di dalam ingatanku. Oh, Tuhan, aku Omar Hen. Bagaimana mungkin aku melupakan bagian yang itu? Bagian yang menentukan apakah aku ini seorang pejuang atau pecundang.
Betul-betul aku tak bisa mengingat itu. Tapi aku mau mengisahkan ini semua kepada orang lain. Aku berjanji akan mengisahkan seluruh peristiwa menyeramkan itu semua, tanpa ada yang dikurang-kurangi dan ditambah-tambahi.
Namun, untuk bagian itu, bagian di mana aku berada saat maut menghampiri teman-temanku, aku tak bisa mengisahkannya. Ini bukan sesuatu yang harus ditutupi. Ini bukan hal yang memalukan. Mereka mati dan aku hidup. Bukan itu ukuran pahlawan dan pecundang. Hanya saja, aku memang tak dapat mengisahkannya. Aku lupa. Itu saja.
Aku tidak ingat dimana aku. Lupa itu hal wajar. Jangankan satria, presiden pun bisa lupa.
Pelarian ini begitu melelahkan. Aku ingin jujur, tapi tak ada yng mau mengerti dan menghargai kejujuranku. Agaknya hari ini rakyat semesta sudah tak lagi percaya dengan fakta. Atau jangan-jangan, mereka sudah tak bisa membedakan mana fakta, mana kebohongan belaka. Ah aku tak ambil pusing soal itu.. Sekarang yang aku pusingkan adalah, aku ingin mati dengan keadaan bersih. Sebersih bayi yang tak memiliki catatan sejarah apapun, kejahatan apapun, kecuali membuat sang ibu sakit dan terluka saat melahirkan.
“Mumpung sejarah kita masih carut marut, kau mengaku sajalah,”
“Aku mau, tapi bagaimana caranya?”
“Kau bisa buat buku sendiri. Sejarah dalam versimu,”
“Sejarah dalam versiku?”
“Tentu saja. Semakin kontroversial, maka bukumu akan semakin laku. Dan itu akan menjadikan kau seagai jutawan baru. Bayangkan, jutawan baru!”
“Hantu kau! Pergi!”
Tiada sesuatu apapun yang ada di balik niat pengakuanku ini. Demi bapakku langit dan ibuku bumi. Aku hanya ingin mengaku, agar semuanya jelas. Agar aku bisa mati dengan sukses. Tenang dan damai.
Aku mengaku karena aku ini adalah Omar Hen. Sosok yang selalu dirindukan, dan dinantikan kehadirannya.
“Tak ada yang menantikanmu bodoh!”
“Sudahlah, kau itu sudah mati. Lebih baik bagimu, kalau kau menganggap semuanya sudah seperti ini,”
“Kau hanya akan memerumit jalannya sejarah,”
“Pengakuanmu hanya akan membuat pengagummu berubah menjadi benci,”
“Kau akan kehilangan penggemar,”
Stop! Berhenti! Aku mengaku karena aku Omar Hen. Aku tak takut apakah nantinya akan ada orang yang merasa tertipu dengan sejarahku. Biarkan saja. Ini semua akan menjadi sejarah baru. Sejarah yang akan selalu diingat bahwa Omar Hen tidak mati. Omar Hen hidup. Namun…
“Hahaha, kenapa kau masih hidup? Kau takut mati ya?”
“Tidak, aku tidak takut. Aku mengerti harga yang harus kubayar,”
“Lantas mengapa kau tak mati?”
“Aku tak mati karena aku menghilang,”
“Kau? Menghilang? Menghilang kemana?”
“Aku menghilang,”
“Kemana?”
“Aku… aku menghilang… begitu saja,”
“Hahaha….Penipu, pengecut!”
Namaku Omar Hen. Aku masih berlari, dari kisah hidupku sendiri. Sebenarnya aku sudah lelah dan ingin mati. Tapi tak bisa. Bukan apa-apa, sebab belum ada orang yang sudi mendengar pengakuanku.
Aku Omar Hen yang asli. Sekian puluh tahun aku berusaha keras menguak kisah ini. Tapi tak bisa. Aku tak berani.
Palmerah, 13 Agustus 2008
Oleh: Hujan
Pelarian ini begitu melelahkan. Betul, kupikir-pikir demikian. Aku, Omar Hen, bapakku langit dan ibuku bumi. Puluhan tahun aku sudah berlari, melarikan diri dari identitasku sendiri.
Aku sudah lelah untuk berlari dan sembunyi. Tapi kenyataannya, sekarang aku sudah letih. Dan tak punya semangat lagi untuk melanjutkan kesendirianku.
Aku kesepian. Di dalam pelarianku, aku kesepian. Omar Hen, anak langit dan bumi ini kesepian sepanjang jaman.
Didalam pengasinganku, aku selalu berpikir, kenapa ini semua aku lakukan? Apakah aku begitu pegecut untuk menghadapi kenyataan, sehingga harus memutuskan membunuh diri dan hidup menjadi orang lain, orang lain yang hingga hari ini masih asing dan agaknya akan terus terasa asing. Oh Tuhan, aku Omar Hen, lelaki sepuh dan misterius. Lelaki yang tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kucari.
Dulu aku pernah buat kesalahan. Tapi kesalahan itu tak begitu saja menjadi alasan untukku pergi melarikan diri. Mungkin kesalahan itu fatal. Dan itu membuatku menjadi orang yang tidak percaya pada siapapun, bahkan pada diri sendiri. Kesalahan itu membuatku hilang dalam kesuraman sejarah masa silam. Aku kesepian. Aku Omar Hen, hanya berteman pada langit yang menjadi bapakku, dan bumi yang menjadi ibuku.
“Kau harus selesaikan permainan ini Omar,”
“Belum saatnya,”
“Kau harus pulang,”
“Nanti saja,”
“Kau sudah renta Omar, tak pantas lagi untuk sembunyi, sudahlah, kau pasrah saja,”
“Tidak, aku masih kuat. Aku masih kuat untuk berlari dan menemukan tempat persembunyian baru lagi,”
“Kau mesti menyerah, dunia sudah berubah, semua sudah terdokumentasi pada relif tertatah. Sejarah tinggal sejarah. Semua orang sudah melupakanmu, melupakan kebodohanmu,”
Aku terdiam. Bayangan masa silam itu menghampiriku.
Aku, Omar Hen, bapakku langit ibuku bumi. Sekarang aku dipaksa menyerah dan menanggung malu pada diri sendiri? Tidak! Aku harus bertahan, menyembunyikan rahasiaku, serapat mungkin. Bahkan dari kemungkinan bayangan masa silam yang berkhianat.
“Aku Omar Hen yang asli!”
“Kau?”
“Iya,”
“Gila!”
“Aku tidak gila, kalian salah, aku tak pernah mati, aku selalu hidup dan terus berperang melawan diri sendiri!”
“Mana mungkin. Omar Hen sudah tewas berpuluh tahun yang lalu. Sekarang, bahkan dia telah menjadi pahlawan. Pahlawan di hati rakyat semesta. Kau, orangtua, jelek dan pikun, pulanglah, dan simpan ocehan subversifmu itu,”
Sejak itu, aku tak berani lagi mengaku sebagai si Omar Hen yang asli, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, pendekar negeri, yang gagal dan melarikan diri saat revolusi terhenti. Sebab bila aku berani mengaku sebagai aku lagi, maka mereka akan segera memasukkan ke dalam bui. Aku diancam, aku dipaksa untuk tidak mengaku, bahwa aku adalah aku, sekian puluh tahun yang lalu.
“Omar Hen itu pemberani, dia menentang iblis kapitalis dengan seorang sendiri,”
“Betul, dia mengorbankan dirinya, demi rakyat semesta,”
“Tak mungkin dia masih hidup,”
“Dia sudah mati, mati dalam keadaan terhormat dan dengan rasa khidmat yang tinggi pada tanah dan air,”
“Omar Hen adalah pahlawan di hati kami,”
“Jangan ganggu, dan coba mengaku-aku,”
“Omar Hen sudah mati, buku sejarah manapun menuliskan itu,”
“Dia pahlawan yang menghilang bersama keberaniannya, namun semangatnya tetap ada dan hadir di hati kami,”
“Sana, pergi!”
“Pergi, atau kami panggil polisi,”
Sepertinya, aku memang ditakdirkan sendiri. Menjadi zombie, keliaran bebas sebagai Omar Hen yang terus berlari, entah dari apa.
“Kalau kau memang Omar Hen, muncullah dan mengaku saja,”
“Omar Hen itu satria, dia bukan pengecut. Paling tidak begitulah kata sejarah,”
Aku paling tahu siapa Omar Hen. Sebab aku, Omar Hen yang berbapakkan langit dan beribukan bumi, adalah pendekar penentang iblis kapitalis. Aku masih ingat pertempuran itu. Meski sudah berpuluh-puluh tahun, aku masih ingat dengan jelas sekali. Lebih jelas dari sejarah yang dituliskan pusat dokumentasi negeriku sendiri. Bagiku, penulis sejarah tentangku sama sekali tak mengenalku.
Baiklah, aku Omar Hen, bertanggung jawab meluruskan kesalahan itu. Tapi bagaimana bisa? Sekarang, untuk mengaku saja aku tak bisa. Aku dipaksa untuk menutup mulutku ini. Padahal, berpuluh tahun yang lalu, apapun yang keluar dari mulutku ini selalu di dengar rakyat semesta. Oh Tidak. Benarkan aku bukan Omar Hen? Omar Hen yang berbabakkan langit dan beribukan bumi. Omar Hen yang bertarung melawan iblis kapitalis. Omar Hen yang tiba-tiba menghilang, bahkan dari ingatanku sendiri.
Aku pernah berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Tapi tidak mungkin. Apa kata bumi, jika nanti mereka menerima jasadku, sementara rahasia yang selama ini selalu turut kemana aku pergi belum juga dibongkar. Apa kata langit yang akan menerima rohku, jika aku datang padanya, dalam keadaan nista? Tidak istikomah. Tidak sesuai dengan arah sejarah?
Aku tak pernah lagi berpikir untuk membawa mati rahasia ini. Aku harus mencari seseorang yang mau mendengar kisahku, yang mau percaya bahwa aku adalah Omar Hen, si anak hilang yang dianggap mati dan diberi gelar pahlawan.
Tapi siapa? Siapa yang sudi mendengar kisahku ini? Hantu? Hantu teman-temanku? Teman-temanku seperjuangan yang telah mati, namun tak mendapatkan gelar apapun dari sejarah? Sungguh aku tak mau membuat mereka kecewa dua kali. Aku tak akan mengisahkan ini kepada mereka. Mereka lebih tahu apapun soal sejarahku dibandingkan aku sendiri.
Kisah ini harus kubongkar! Tidak bisa tidak! Semuanya harus jelas. Sekarang aku sudah mau mati. Aku mau pergi dalam keadaan bersih. Aku mau ada orang yang mendengarkan kisahku. Mengakui bahwa akulah si Omar Hen, anak langit dan bumi yang pergi bertempur melawan iblis kapitalis, namun hilang…
Iya, aku ingat sekarang. Aku ingat ada di mana aku saat pertempuran itu terjadi. Aku melihat teman-temanku pergi menyerahkan kepalanya. Iya, mereka pergi dengan harapan bisa memenangkan pertempuran lewat pengorbanan mereka. Ah… tapi di mana aku?
Aku tak melihat diriku diantara mereka. Ah… ada di mana aku? Mengapa aku tak ada di sana pada saat eksekusi mati dilakukan kepada teman-temanku. Aku, aku menghilang… aku menghilang di dalam ingatanku. Oh, Tuhan, aku Omar Hen. Bagaimana mungkin aku melupakan bagian yang itu? Bagian yang menentukan apakah aku ini seorang pejuang atau pecundang.
Betul-betul aku tak bisa mengingat itu. Tapi aku mau mengisahkan ini semua kepada orang lain. Aku berjanji akan mengisahkan seluruh peristiwa menyeramkan itu semua, tanpa ada yang dikurang-kurangi dan ditambah-tambahi.
Namun, untuk bagian itu, bagian di mana aku berada saat maut menghampiri teman-temanku, aku tak bisa mengisahkannya. Ini bukan sesuatu yang harus ditutupi. Ini bukan hal yang memalukan. Mereka mati dan aku hidup. Bukan itu ukuran pahlawan dan pecundang. Hanya saja, aku memang tak dapat mengisahkannya. Aku lupa. Itu saja.
Aku tidak ingat dimana aku. Lupa itu hal wajar. Jangankan satria, presiden pun bisa lupa.
Pelarian ini begitu melelahkan. Aku ingin jujur, tapi tak ada yng mau mengerti dan menghargai kejujuranku. Agaknya hari ini rakyat semesta sudah tak lagi percaya dengan fakta. Atau jangan-jangan, mereka sudah tak bisa membedakan mana fakta, mana kebohongan belaka. Ah aku tak ambil pusing soal itu.. Sekarang yang aku pusingkan adalah, aku ingin mati dengan keadaan bersih. Sebersih bayi yang tak memiliki catatan sejarah apapun, kejahatan apapun, kecuali membuat sang ibu sakit dan terluka saat melahirkan.
“Mumpung sejarah kita masih carut marut, kau mengaku sajalah,”
“Aku mau, tapi bagaimana caranya?”
“Kau bisa buat buku sendiri. Sejarah dalam versimu,”
“Sejarah dalam versiku?”
“Tentu saja. Semakin kontroversial, maka bukumu akan semakin laku. Dan itu akan menjadikan kau seagai jutawan baru. Bayangkan, jutawan baru!”
“Hantu kau! Pergi!”
Tiada sesuatu apapun yang ada di balik niat pengakuanku ini. Demi bapakku langit dan ibuku bumi. Aku hanya ingin mengaku, agar semuanya jelas. Agar aku bisa mati dengan sukses. Tenang dan damai.
Aku mengaku karena aku ini adalah Omar Hen. Sosok yang selalu dirindukan, dan dinantikan kehadirannya.
“Tak ada yang menantikanmu bodoh!”
“Sudahlah, kau itu sudah mati. Lebih baik bagimu, kalau kau menganggap semuanya sudah seperti ini,”
“Kau hanya akan memerumit jalannya sejarah,”
“Pengakuanmu hanya akan membuat pengagummu berubah menjadi benci,”
“Kau akan kehilangan penggemar,”
Stop! Berhenti! Aku mengaku karena aku Omar Hen. Aku tak takut apakah nantinya akan ada orang yang merasa tertipu dengan sejarahku. Biarkan saja. Ini semua akan menjadi sejarah baru. Sejarah yang akan selalu diingat bahwa Omar Hen tidak mati. Omar Hen hidup. Namun…
“Hahaha, kenapa kau masih hidup? Kau takut mati ya?”
“Tidak, aku tidak takut. Aku mengerti harga yang harus kubayar,”
“Lantas mengapa kau tak mati?”
“Aku tak mati karena aku menghilang,”
“Kau? Menghilang? Menghilang kemana?”
“Aku menghilang,”
“Kemana?”
“Aku… aku menghilang… begitu saja,”
“Hahaha….Penipu, pengecut!”
Namaku Omar Hen. Aku masih berlari, dari kisah hidupku sendiri. Sebenarnya aku sudah lelah dan ingin mati. Tapi tak bisa. Bukan apa-apa, sebab belum ada orang yang sudi mendengar pengakuanku.
Aku Omar Hen yang asli. Sekian puluh tahun aku berusaha keras menguak kisah ini. Tapi tak bisa. Aku tak berani.
Palmerah, 13 Agustus 2008
MOESTIKA MAJALAH YANG PERNAH HIDUP DI KOTA SURABAYA
MAJALAH UNIK.
Keunikkan majalah ini dari fisik ukurannya, lebih kecil dari ukuran majalah normal sekarang. Ukurannya sebesar buku, sehingga bisa dibawa kemana saja, dan jika dikoleksi tidak akan memenuhi rak buku.
Majalah ini meletakkan segmen pembacanya para intelektual kala itu, dan isinya identik dengan ilmiah populer, model sajiannya features.
Memberikan jargaonnya “ TETAP REOMADJA DAN TETAP BERHARGA”, maknanya tetap muda dan berguna.
Pimpinan Umum Redaksi : GAN SAN HOK
Kantor Redaksi : Pregolan Bunder 18 Surabaya.
Periode Penerbitan : Bulanan.
OESIN JAGAL MANUSIA DARI MOJOKERTO
Negeri ini pernah digemparkan ulah seorang-orang muda bernama "Ryan", melalui tangannya banyak orang yang mati. Mutilasi kata tepatnya. Dulu tak jauh dari kota tempat Ryan praktik mutilasi, ternyata ada yang mengawali. Seorang-orang bernama Hoesein, yang selanjutnya dikenal dengan OESIN adalah jagal manusia yang mengerikan dan menghilangkan puluhan nyawa.
Pada tahun 1964 peristiwa itu terjadi, mendadak kota Mojokerto terkenal seantero bumi, bahkan tempat kejadian pembunuhan itu menjadi tontonan, maklum letaknya tidak jauh dari jalan raya. Ketika itu PKI masih berjaya, dan kala itu "GERWANI" salah satu organisasi saya PKI mengutuk keras peristiwa ini. Bahkan terdapat seorang-orang mahasiswa keturunan Arab ingin memberikan klarifikasi atas kasus ini. Hal ini dilakukan karena Hoesien adalah keturunan Arab, denga klarifikasi itu diharapkan masalah ini tidak ditarik ke ranah rasial.
Minggu, 21 Desember 2008
MENJAUH DAN MENDEKAT
Makhluk hidup memiliki kecenderungan,
Menjauhi sesuatu yang tidak disenangi,
Mendekati sesuatu yang disenangi dan enak,
Itu adalah ciri khas nafsu,
Membuat makhluk mendekati maupun menjauhi,
Tidak ada yang salah dengan itu,
Justru itu adalah benar,
Paling tidak mekanismenya memang seperti itu,
Kalau tidak memenuhi mekanisme seperti itu berarti tidak benar,
Tidak memenuhi kaidah alamiah,
Yang dipermasalahkan dalam agama bukanlah,
Ada tiadanya nafsu,
Namun, bagaimana mengarahkan nafsu itu sendiri,
Baik kecenderungan makhluk untuk mendekat maupun menjauh,
Tumbuhan memiliki daya pembeda mendekati sumber kehidupan,
Ia akan mendekati sumber cahaya dan mendekati sumber makanan,
Itulah yang disebut sebagai daya tarik terhadap apa yang dibutuhkan atau syahwah,
Namun belum bisa menjauh dari apapun yang membahayakan,
Kecuali beberapa jenis tumbuhan,
Yang memiliki karakter hewani,
Hewan memiliki daya pembeda menjauhi bahaya,
Ia akan menjauhi sumber bahaya dan mendekati tempat dimana bahaya itu tiada,
Itulah yang disebut sebagai daya tolak atau gadhab,
Namun belum bisa membedakan dengan pembeda tertinggi,
Kecuali beberapa jenis hewan yang tingkat intelegensinya tinggi,
Yang sedikit memiliki karakter mirip-mirip manusia,
Manusia memiliki daya pembeda lebih tinggi,
Ia dapat membedakan mana sumber bahaya dan mana yang bukan,
Ia dapat membedakan mana sumber kenikmatan dan bukan,
Itulah yang disebut sebagai daya intelektual atau akal,
Namun sering sekali belum bisa membedakan mana yang haq dan bathil,
Karena tingkat fakultasnya masih di nabati,
Maupun hewani,
Termasuk diri saya sendiri ini,
Keinginan manusia untuk memenuhi hasrat seksuil,
Merupakan seuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu ingin berhubungan seksuil,
Ataukah dengan wanita pelacur,
Ataukah dengan wanita simpanan,
Ataukah dengan pegawainya,
Ataukah dengan pasangan syahnya,
Yang syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Keinginan manusia untuk menjauhi apa yang membahayakannya,
Meruapakn sesuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu untuk mempertahankan diri,
Apakah dengan memberontak terhadap tatanan yang telah ada,
Ataukah dengan memberontak terhadap tatanan negara,
Ataukah dengan memberontak terhadap aturan organiasi,
Ataukah dengan meletakkan diri dengan menjalankan tanggungjawab,
Tanggungjawab syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Tidak ada yang salah dengan penggunaan akal,
Pun menempatkan syahwah dan gadhab pada tempatnya,
Yang jadi permaalahan adalah, rukunnya atau kaidah-kaidahnya,
Bahkan dalam olah qolbu-pun harus menggunakan akal,
Karena akal adalah rukunnya,
Bagaimana bisa membedakan mana haq dan bathil apabila tidak dengan akal,
Itulah lobang keterjebakan ahli-ahli spiritual,
Mereka merasa tidak membutuhkan akal pembeda dalam berspiritual,
Jadi sering sekali Iblispun-pun dianggap malaikat,
Karena pada tingkatan yang lebih tinggi, Iblispun bisa berwujud manusia ganteng,
Dan malaikatpun bisa berbentuk garang,
Pembeda, tarik dan tolak,
Pemahaman ini diperlukan,
Seiring dengan prosesi pembersihan qolb,
Dalam tingkatan tertinggi spiritual,
Ma’rifah,
Hanya dapat diperoleh dengan kebersihan qolb,
Namun tanpa akal,
Syaithan dan Malaikatpun sama,
Yang membedakan adalah,
Malaikat mengakui eksistensi manusia,
Sedang Iblis tidak,
Mengenal diri (eksistensi manusia),
Adalah mengenal Allah (eksistensi Tuhan),
Kalau Iblis menghindarkan manusia dari mengenal diri,
Sama pula menghindarkan manusia dari mengenal Tuhan,
Jadi, mengenal diripun harus menggunakan akal,
Namun akalpun harus ada rukunnya,
Dan akal yang terbaik adalah al-Furqon,
Al-Qur’anul Kariim,
Yang dibaca dengan hikmah,
Hikmah adalah ngelmu,
Ngelmu adalah knowledge,
Knowledge hanya diperoleh melalui laku atau doing,
Dengan hikmah,
Dalam hidup inilah kita belajar hikmah,
Hikmah mengenai inti,
Dualitas daya tarik dan tolak,
Manifetasinya dalam wujud kehidupan,
Nafsu itu harus ada,
Namun katanya harus dikekang,
Sebagaimana legenda empat kuda,
Yang menarik kereta,
Empat kuda,
Ammarah, Lawamah, Sufiyah, Muthmainnah
Keempatnya penting sekali,
Untuk menarik kereta kencana Sang Raja,
Siapa bilang nafsu itu tidak boleh,
Justru diperbolehkan, dan diharuskan ada,
Selama kita masih menarik nafas,
Namun bagaimana mengaitkan tali pada keempat nafsu itu,
Konon, inilah simbol dari ikat kepala tradisional Arab,
Untuk mengikat fikiran yang menjadi sarana liarnya keempat nafsu,
Begitu pula inilah simbolisasi dari ikat kepala udeng dalam khazanah tradisional Jawa,
Blangkon sebagai simbolisasi di kraton,
Hampir semua budaya yang dilewati Islam,
Memiliki terminologi akan ikat kepala,
Karena akal berada di kepala,
Bisa mengendalikan atau dikendalikan,
Tergantung dimana memposisikan,
Dikendalikan perut ataukah mengendalikan perut,
Dikendalikan selangkangan ataukah mengendalikan selangkangan,
Nafsu, rentan ditumpangi Iblis,
Nafsu yang tidak terkendali, bisa ditumpangi Iblis,
Nafsu itu bukan Iblis, tapi Iblis bisa menguasai nafsu,
Nafsu inilah yang membawa para pengusaha Arab,
Ziarah ke Puncak di Jawa Barat,
Keliru tempat dalam memasukkan benang ke dalam lobang jarum,
Tidak bisa membedakan mana selangkangan istri dan bukan,
Namun bisa membedakan mana yang bahenol dan mana yang bukan,
Menempatkan akal tidak pada tempatnya,
Sehingga meletakkan daya tarik pada yang bukan tempatnya,
Dan terdorong pada ketertarikan yang bukan pada tempatnya,
Lalu, apakah definisi “pada tempatnya”,
Tergantung ente sendirilah membedakan,
Bukankah hidup ini adalah pembelajaran,
Disinilah kita belajar untuk membedakan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan kekayaan,
Pun untuk menafikkan kemiskinan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan pangkat keduniawian,
Pun untuk mengejarnya tanpa reserve,
Namun bagaimana meletakkan pada proporsinya,
Itulah Pekerjaan Rumah kita semua,
Saat inilah, aku mulai belajar kembali,
Menyadari bahwasanya aku kemaren-kemaren belum bisa mengendalikan nafsu,
Terutama yang berhubungan dengan perut.
Marilah bersama-sama mengendalikan nafsu,
Sebelum nafsu ditumpangi oleh Iblis,
Nafsu yang ditumpangi oleh Iblis,
Akan membawa pada nafsu pemberontak,
Karena kebencian pada sesuatu yang diberontak,
Dan pemberontakan yang paling besar adalah memberontak terhadap Allah,
Namun, kalau kita jeli, apakah mungkin kita benar-benar memberontak terhadap Allah,
Berfikirlah dab, berfikir,
Tidak mungkin,
Kalau bingung,
Cobalah gunakan berfikir pendulum,
Maupun filosofi melar mengkeret Ki Ageng Suryo Mataram,
Kalau sudah ketemu berarti,
Kamu sudah menguasai ilmu Titik,
Titik di bawah titik Ba’
Seberapapun engkau menjauh, engkau akan bertemu dengan titik,
Seberapapun engkau mendekat, engkau akan bertemu dengan titik,
(Sebelumnya dipublikasikan oleh blogger Alang-alang)
Menjauhi sesuatu yang tidak disenangi,
Mendekati sesuatu yang disenangi dan enak,
Itu adalah ciri khas nafsu,
Membuat makhluk mendekati maupun menjauhi,
Tidak ada yang salah dengan itu,
Justru itu adalah benar,
Paling tidak mekanismenya memang seperti itu,
Kalau tidak memenuhi mekanisme seperti itu berarti tidak benar,
Tidak memenuhi kaidah alamiah,
Yang dipermasalahkan dalam agama bukanlah,
Ada tiadanya nafsu,
Namun, bagaimana mengarahkan nafsu itu sendiri,
Baik kecenderungan makhluk untuk mendekat maupun menjauh,
Tumbuhan memiliki daya pembeda mendekati sumber kehidupan,
Ia akan mendekati sumber cahaya dan mendekati sumber makanan,
Itulah yang disebut sebagai daya tarik terhadap apa yang dibutuhkan atau syahwah,
Namun belum bisa menjauh dari apapun yang membahayakan,
Kecuali beberapa jenis tumbuhan,
Yang memiliki karakter hewani,
Hewan memiliki daya pembeda menjauhi bahaya,
Ia akan menjauhi sumber bahaya dan mendekati tempat dimana bahaya itu tiada,
Itulah yang disebut sebagai daya tolak atau gadhab,
Namun belum bisa membedakan dengan pembeda tertinggi,
Kecuali beberapa jenis hewan yang tingkat intelegensinya tinggi,
Yang sedikit memiliki karakter mirip-mirip manusia,
Manusia memiliki daya pembeda lebih tinggi,
Ia dapat membedakan mana sumber bahaya dan mana yang bukan,
Ia dapat membedakan mana sumber kenikmatan dan bukan,
Itulah yang disebut sebagai daya intelektual atau akal,
Namun sering sekali belum bisa membedakan mana yang haq dan bathil,
Karena tingkat fakultasnya masih di nabati,
Maupun hewani,
Termasuk diri saya sendiri ini,
Keinginan manusia untuk memenuhi hasrat seksuil,
Merupakan seuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu ingin berhubungan seksuil,
Ataukah dengan wanita pelacur,
Ataukah dengan wanita simpanan,
Ataukah dengan pegawainya,
Ataukah dengan pasangan syahnya,
Yang syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Keinginan manusia untuk menjauhi apa yang membahayakannya,
Meruapakn sesuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu untuk mempertahankan diri,
Apakah dengan memberontak terhadap tatanan yang telah ada,
Ataukah dengan memberontak terhadap tatanan negara,
Ataukah dengan memberontak terhadap aturan organiasi,
Ataukah dengan meletakkan diri dengan menjalankan tanggungjawab,
Tanggungjawab syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Tidak ada yang salah dengan penggunaan akal,
Pun menempatkan syahwah dan gadhab pada tempatnya,
Yang jadi permaalahan adalah, rukunnya atau kaidah-kaidahnya,
Bahkan dalam olah qolbu-pun harus menggunakan akal,
Karena akal adalah rukunnya,
Bagaimana bisa membedakan mana haq dan bathil apabila tidak dengan akal,
Itulah lobang keterjebakan ahli-ahli spiritual,
Mereka merasa tidak membutuhkan akal pembeda dalam berspiritual,
Jadi sering sekali Iblispun-pun dianggap malaikat,
Karena pada tingkatan yang lebih tinggi, Iblispun bisa berwujud manusia ganteng,
Dan malaikatpun bisa berbentuk garang,
Pembeda, tarik dan tolak,
Pemahaman ini diperlukan,
Seiring dengan prosesi pembersihan qolb,
Dalam tingkatan tertinggi spiritual,
Ma’rifah,
Hanya dapat diperoleh dengan kebersihan qolb,
Namun tanpa akal,
Syaithan dan Malaikatpun sama,
Yang membedakan adalah,
Malaikat mengakui eksistensi manusia,
Sedang Iblis tidak,
Mengenal diri (eksistensi manusia),
Adalah mengenal Allah (eksistensi Tuhan),
Kalau Iblis menghindarkan manusia dari mengenal diri,
Sama pula menghindarkan manusia dari mengenal Tuhan,
Jadi, mengenal diripun harus menggunakan akal,
Namun akalpun harus ada rukunnya,
Dan akal yang terbaik adalah al-Furqon,
Al-Qur’anul Kariim,
Yang dibaca dengan hikmah,
Hikmah adalah ngelmu,
Ngelmu adalah knowledge,
Knowledge hanya diperoleh melalui laku atau doing,
Dengan hikmah,
Dalam hidup inilah kita belajar hikmah,
Hikmah mengenai inti,
Dualitas daya tarik dan tolak,
Manifetasinya dalam wujud kehidupan,
Nafsu itu harus ada,
Namun katanya harus dikekang,
Sebagaimana legenda empat kuda,
Yang menarik kereta,
Empat kuda,
Ammarah, Lawamah, Sufiyah, Muthmainnah
Keempatnya penting sekali,
Untuk menarik kereta kencana Sang Raja,
Siapa bilang nafsu itu tidak boleh,
Justru diperbolehkan, dan diharuskan ada,
Selama kita masih menarik nafas,
Namun bagaimana mengaitkan tali pada keempat nafsu itu,
Konon, inilah simbol dari ikat kepala tradisional Arab,
Untuk mengikat fikiran yang menjadi sarana liarnya keempat nafsu,
Begitu pula inilah simbolisasi dari ikat kepala udeng dalam khazanah tradisional Jawa,
Blangkon sebagai simbolisasi di kraton,
Hampir semua budaya yang dilewati Islam,
Memiliki terminologi akan ikat kepala,
Karena akal berada di kepala,
Bisa mengendalikan atau dikendalikan,
Tergantung dimana memposisikan,
Dikendalikan perut ataukah mengendalikan perut,
Dikendalikan selangkangan ataukah mengendalikan selangkangan,
Nafsu, rentan ditumpangi Iblis,
Nafsu yang tidak terkendali, bisa ditumpangi Iblis,
Nafsu itu bukan Iblis, tapi Iblis bisa menguasai nafsu,
Nafsu inilah yang membawa para pengusaha Arab,
Ziarah ke Puncak di Jawa Barat,
Keliru tempat dalam memasukkan benang ke dalam lobang jarum,
Tidak bisa membedakan mana selangkangan istri dan bukan,
Namun bisa membedakan mana yang bahenol dan mana yang bukan,
Menempatkan akal tidak pada tempatnya,
Sehingga meletakkan daya tarik pada yang bukan tempatnya,
Dan terdorong pada ketertarikan yang bukan pada tempatnya,
Lalu, apakah definisi “pada tempatnya”,
Tergantung ente sendirilah membedakan,
Bukankah hidup ini adalah pembelajaran,
Disinilah kita belajar untuk membedakan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan kekayaan,
Pun untuk menafikkan kemiskinan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan pangkat keduniawian,
Pun untuk mengejarnya tanpa reserve,
Namun bagaimana meletakkan pada proporsinya,
Itulah Pekerjaan Rumah kita semua,
Saat inilah, aku mulai belajar kembali,
Menyadari bahwasanya aku kemaren-kemaren belum bisa mengendalikan nafsu,
Terutama yang berhubungan dengan perut.
Marilah bersama-sama mengendalikan nafsu,
Sebelum nafsu ditumpangi oleh Iblis,
Nafsu yang ditumpangi oleh Iblis,
Akan membawa pada nafsu pemberontak,
Karena kebencian pada sesuatu yang diberontak,
Dan pemberontakan yang paling besar adalah memberontak terhadap Allah,
Namun, kalau kita jeli, apakah mungkin kita benar-benar memberontak terhadap Allah,
Berfikirlah dab, berfikir,
Tidak mungkin,
Kalau bingung,
Cobalah gunakan berfikir pendulum,
Maupun filosofi melar mengkeret Ki Ageng Suryo Mataram,
Kalau sudah ketemu berarti,
Kamu sudah menguasai ilmu Titik,
Titik di bawah titik Ba’
Seberapapun engkau menjauh, engkau akan bertemu dengan titik,
Seberapapun engkau mendekat, engkau akan bertemu dengan titik,
(Sebelumnya dipublikasikan oleh blogger Alang-alang)
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 6) - Hamil Wajib Menari Bugil
(Sebelumnya)
Caesonia tak bisa menolak. Ia mulai melepas pakaian yang dikenakan. Satu demi satu busana wanita ini dilepas. Dari penutup payudara sampai penutup bagian bawah. Wanita ini bugil. Tubuh mulusnya tak terhalangi selembar kain pun. Perutnya yang membesar nampak indah. Pusarnya menonjol. Dan di daerah vitalnya, rimbun perdu menggumpal.
Payudara wanita ini sangat indah. Kelihatan montok dan kencang. Bagian itu tak terlalu besar, tetapi jelas-jelas kelihatan subur. Itu sebagai pertanda, usia kehamilan wanita ini sudah tua. Setelah bugil, ia melangkah ke depan. Langkah yang agak ragu dan sedikit tertekan karena merasa dilecehkan.
Musik pun mulai bergema. Geraknya tertata. Ia melenggak-lenggokkan pinggulnya yang mulus dan berisi. Payudaranya bergoyang-goyang menggairahkan. Dan tangannya merentang menirukan gerak burung seperti sering yang diimpikan Caligula.
francesco-vezzol-caligulaSecara berirama, kaki wanita ini bergerak lincah. Tarian yang dibawakan wanita ini begitu mempesona. Menyita perhatian yang hadir. Dan menyihir para laki-laki yang malam itu ikut menyaksikan penampilan wanita mantan gundik yang kini menjadi permaisuri raja itu.
Gerak dari tubuh bugil Caesonia itu membangkitkan nafsu birahi. Ada banyak wajah-wajah menegang yang terbuai dengan gerakan tubuh wanita ini. Namun yang hadir tak berani menggoda atau berteriak kasar. Sebab mereka sadar, yang sekarang telanjang dan menerbitkan birahi itu bukanlah orang sembarangan. Ia adalah permaisuri raja. Salah sedikit saja memberi apresiasi, bisa-bisa nyawa taruhannya.
Caligula nampaknya terpesona dengan penampilan istrinya itu. Ia memberi applaus. Ia menyingkirkan dua gundik yang merayapi tubuhnya. Setelah itu ia berdiri, merangkul, dan mencumbu istrinya yang bugil itu.
caligula_oneCaesonia sebagai wanita yang profesional dalam menservis laki-laki, menyambut cumbuan itu. Tubuhnya bergelenjot mesra. Melalui mulut dan tangannya, wanita ini melakukan perangsangan. Saat Caligula mulai terbangkitkan nafsunya, Caesonia pun dibopong masuk peraduan. Di tempat itulah Caligula dan Caesonia melepas hajatnya. Tapi adakah hanya itu? Tidak, sebab ada prajurit yang harus menjadi korban pesta malam itu? (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Caesonia tak bisa menolak. Ia mulai melepas pakaian yang dikenakan. Satu demi satu busana wanita ini dilepas. Dari penutup payudara sampai penutup bagian bawah. Wanita ini bugil. Tubuh mulusnya tak terhalangi selembar kain pun. Perutnya yang membesar nampak indah. Pusarnya menonjol. Dan di daerah vitalnya, rimbun perdu menggumpal.
Payudara wanita ini sangat indah. Kelihatan montok dan kencang. Bagian itu tak terlalu besar, tetapi jelas-jelas kelihatan subur. Itu sebagai pertanda, usia kehamilan wanita ini sudah tua. Setelah bugil, ia melangkah ke depan. Langkah yang agak ragu dan sedikit tertekan karena merasa dilecehkan.
Musik pun mulai bergema. Geraknya tertata. Ia melenggak-lenggokkan pinggulnya yang mulus dan berisi. Payudaranya bergoyang-goyang menggairahkan. Dan tangannya merentang menirukan gerak burung seperti sering yang diimpikan Caligula.
francesco-vezzol-caligulaSecara berirama, kaki wanita ini bergerak lincah. Tarian yang dibawakan wanita ini begitu mempesona. Menyita perhatian yang hadir. Dan menyihir para laki-laki yang malam itu ikut menyaksikan penampilan wanita mantan gundik yang kini menjadi permaisuri raja itu.
Gerak dari tubuh bugil Caesonia itu membangkitkan nafsu birahi. Ada banyak wajah-wajah menegang yang terbuai dengan gerakan tubuh wanita ini. Namun yang hadir tak berani menggoda atau berteriak kasar. Sebab mereka sadar, yang sekarang telanjang dan menerbitkan birahi itu bukanlah orang sembarangan. Ia adalah permaisuri raja. Salah sedikit saja memberi apresiasi, bisa-bisa nyawa taruhannya.
Caligula nampaknya terpesona dengan penampilan istrinya itu. Ia memberi applaus. Ia menyingkirkan dua gundik yang merayapi tubuhnya. Setelah itu ia berdiri, merangkul, dan mencumbu istrinya yang bugil itu.
caligula_oneCaesonia sebagai wanita yang profesional dalam menservis laki-laki, menyambut cumbuan itu. Tubuhnya bergelenjot mesra. Melalui mulut dan tangannya, wanita ini melakukan perangsangan. Saat Caligula mulai terbangkitkan nafsunya, Caesonia pun dibopong masuk peraduan. Di tempat itulah Caligula dan Caesonia melepas hajatnya. Tapi adakah hanya itu? Tidak, sebab ada prajurit yang harus menjadi korban pesta malam itu? (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI — CALIGULA (Bagian 5) -- Caligula Tampar Drusila
(Sebelumnya)
Malam di istana. Seperti biasa, malam itu sedang digelar pesta. Selain makanan dan minuman sebagai menu utama. Yang tak bisa ditinggalkan adalah para wanita. Gadis-gadis telanjang disuruh menemani dan merangsang laki-laki. Dan kalau birahi telah memuncak, mereka pun sah-sah saja untuk disetubuhi di arena pesta itu.
Caligula datang di pesta ini bersama Drussila dan Caesonia. Ada yang berubah dalam diri wanita ini. Tubuhnya tak langsing lagi. Ia agak gemuk. Itu bisa dimaklumi. Sebab perut permaisuri ini kelihatan buncit. Ia sedang hamil.
Ketiga orang terhormat ini dipersilahkan duduk di singgasana tanpa kursi. Mereka bertiga menempati itu. Tak lama kemudian datang tiga gadis cantik. Mereka datang untuk menemani Sang Raja. Mereka telanjang. Duduk manis menunggu perintah. Perintah Sang Raja terhadapnya.
Perintah itu sudah bisa diterka. Kalau tidak untuk ditowel dan dimainkan bagian tubuh sensitifnya. Tentu, ia disuruh untuk merangsang Sang Raja. Rangsangan dari tingkat rendah, hanya sekadar menciumi dan mengelus-elus tubuh raja. Sampai rangsangan tingkat tinggi, memainkan oral seks, heteroseks hingga sodomi.
Itu semua dimaklumi. Raja sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan, didalamnya secara implisit juga terkandung kekuatan seks dan pemenuhan kebutuhan itu. Maka tak berlebihan, dimana saja raja berada, maka perempuan cantik selalu tersedia. Caesonia, sebagai permaisuri yang bekas gundik istana, sangat paham soal itu.
Saat Caligula dan rombongan telah duduk, laki-laki ini menepuk tangan. Tiga dara bugil itu pun mendekat. Ia bergelenjot di tubuh raja muda ini, dan dengan buahdada serta mulutnya, gadis-gadis itu menggesek-gesek punggung, paha, dan bagian sensitif raja. Dirangsang seperti itu, Caligula biasa-biasa saja.
Untuk memulai acara, musik pun mulai bergema. Suara dari berbagai perkusi itu menghidupkan pesta. Caligula dengan gagahnya berdiri. Ia mengatakan, hari itu ia ingin bergembira. Dan untuk menyemarakkan pesta itu, ia ingin Caesonia menari.
Mendengar itu Caesonia protes. Ia sudah hamil tua. Tak mungkin itu dilakukan. Kalaulah dipaksa, ia takut akan keguguran. Bayi yang dikandungnya gugur. Protes Caesonia ini juga diperkuat Drussila. Ia menolak keinginan raja.
Caligula bersikukuh. Ia berdiri sambil marah. Ia menampar Drussila, Sang Adik. Drussila pun keluar pesta. Ia lari. Kabur ke kamarnya. Yang mengejutkan, kemarahan Caligula itu membawa korban lain. Seorang prajurit yang berdiri menghalangi, disuruh dibunuh. Ia ditangkap dan digelandang ke ruang eksekusi. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Malam di istana. Seperti biasa, malam itu sedang digelar pesta. Selain makanan dan minuman sebagai menu utama. Yang tak bisa ditinggalkan adalah para wanita. Gadis-gadis telanjang disuruh menemani dan merangsang laki-laki. Dan kalau birahi telah memuncak, mereka pun sah-sah saja untuk disetubuhi di arena pesta itu.
Caligula datang di pesta ini bersama Drussila dan Caesonia. Ada yang berubah dalam diri wanita ini. Tubuhnya tak langsing lagi. Ia agak gemuk. Itu bisa dimaklumi. Sebab perut permaisuri ini kelihatan buncit. Ia sedang hamil.
Ketiga orang terhormat ini dipersilahkan duduk di singgasana tanpa kursi. Mereka bertiga menempati itu. Tak lama kemudian datang tiga gadis cantik. Mereka datang untuk menemani Sang Raja. Mereka telanjang. Duduk manis menunggu perintah. Perintah Sang Raja terhadapnya.
Perintah itu sudah bisa diterka. Kalau tidak untuk ditowel dan dimainkan bagian tubuh sensitifnya. Tentu, ia disuruh untuk merangsang Sang Raja. Rangsangan dari tingkat rendah, hanya sekadar menciumi dan mengelus-elus tubuh raja. Sampai rangsangan tingkat tinggi, memainkan oral seks, heteroseks hingga sodomi.
Itu semua dimaklumi. Raja sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan, didalamnya secara implisit juga terkandung kekuatan seks dan pemenuhan kebutuhan itu. Maka tak berlebihan, dimana saja raja berada, maka perempuan cantik selalu tersedia. Caesonia, sebagai permaisuri yang bekas gundik istana, sangat paham soal itu.
Saat Caligula dan rombongan telah duduk, laki-laki ini menepuk tangan. Tiga dara bugil itu pun mendekat. Ia bergelenjot di tubuh raja muda ini, dan dengan buahdada serta mulutnya, gadis-gadis itu menggesek-gesek punggung, paha, dan bagian sensitif raja. Dirangsang seperti itu, Caligula biasa-biasa saja.
Untuk memulai acara, musik pun mulai bergema. Suara dari berbagai perkusi itu menghidupkan pesta. Caligula dengan gagahnya berdiri. Ia mengatakan, hari itu ia ingin bergembira. Dan untuk menyemarakkan pesta itu, ia ingin Caesonia menari.
Mendengar itu Caesonia protes. Ia sudah hamil tua. Tak mungkin itu dilakukan. Kalaulah dipaksa, ia takut akan keguguran. Bayi yang dikandungnya gugur. Protes Caesonia ini juga diperkuat Drussila. Ia menolak keinginan raja.
Caligula bersikukuh. Ia berdiri sambil marah. Ia menampar Drussila, Sang Adik. Drussila pun keluar pesta. Ia lari. Kabur ke kamarnya. Yang mengejutkan, kemarahan Caligula itu membawa korban lain. Seorang prajurit yang berdiri menghalangi, disuruh dibunuh. Ia ditangkap dan digelandang ke ruang eksekusi. (bersambung/JOSS)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Kamis, 11 Desember 2008
AL-HALLAJ -- "ANA AL-HAQ"
Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
Kehidupan Al-Hallaj
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj. Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasika n apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangan nya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar –penggaru segenap Kalbu– karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. “Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat”! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya –yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, “Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.”
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan. ” al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, “pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!”
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.
“Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya mereka.
“Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya.
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, “Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, “Jangan takut, putra Manshur.”
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-Haqq –Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.”
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang. “Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku, ” jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah perhatikan sang tamu Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan menggelar tikar pembantaian Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama bersama dengan singa tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, “Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya! “, jawab al-Hallaj. Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya. ”
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya! ”
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah.
“Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
“Mengapa,” tanya mereka, “Engkau membasahi lenganmu dengan darah?” Ia menjawab, “Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu. ” Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an:
“Orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar.”
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru,
“Akulah Kebenaran.”
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, “Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami.”
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, “Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?” Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.(@lang2)
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
Kehidupan Al-Hallaj
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj. Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasika n apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangan nya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar –penggaru segenap Kalbu– karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. “Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat”! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya –yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, “Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.”
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan. ” al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, “pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!”
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.
“Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya mereka.
“Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya.
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, “Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, “Jangan takut, putra Manshur.”
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-Haqq –Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran.”
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang. “Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku, ” jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah perhatikan sang tamu Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan menggelar tikar pembantaian Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama bersama dengan singa tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, “Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya! “, jawab al-Hallaj. Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya. ”
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.” (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya! ”
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah.
“Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
“Mengapa,” tanya mereka, “Engkau membasahi lenganmu dengan darah?” Ia menjawab, “Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu. ” Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an:
“Orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar.”
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru,
“Akulah Kebenaran.”
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, “Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami.”
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, “Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?” Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.(@lang2)
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI -- CALIGULA (Bag. 4) -- Caesonia Jadi Permaisuri
(Sebelumnya)
Siang di taman sari. Puluhan gadis, janda, serta gundik istana dikumpulkan. Mereka semuanya adalah wanita pilihan. Dipilih yang berwajah cantik, bertubuh indah, dan berkulit bersih mulus. Mereka ditempatkan di sebuah taman yang dipenuhi bunga warna-warni. Di tengahnya, sebuah kolam renang dengan tangga berundak memutar.
Para wanita itu berdiri berjajar. Mereka semua berpakaian sama. Kain putih tipis yang dibentuk mirip baju panjang (longdress). Tanpa penutup payudara. Juga tanpa memakai celana dalam.
Drussila, Sang Adik, memaksa Caligula memilih salah satu diantara sekian banyak wanita cantik itu. Lalu Caligula menunjuk Caesonia. Ia memang wanita hebat di ranjang, tapi rasanya tak pantas untuk menjadi permaisuri raja. Sebab profesinya selama ini adalah gundik istana. Gundik yang memberi kepuasan seksual terhadap raja terdahulu.
Caligula ngotot memilih Caesonia. Ia menyebut wanita itu sangat layak mendampinginya memimpin kerajaan Romawi. Alasannya, selain hebat di ranjang, ia juga cantik dan sangat dewasa.
Di kamar pentahbisan Caligula menyiapkan prosesi penyambutan. Sebuah altar tergelar, dan di ujungnya, patung Dewi Ishes yang disilang pedang nampak berdiri garang. Secara spiritual patung itu dianggap sebagai kekuatan dan penjaga kedaulatan kerajaan Romawi. Dan di ruang sakral seperti itulah Caligula ingin melakukan ritual penyatuannya dengan Caesonia.
Caesonia mendekati Caligula. Wanita yang berpengalaman melayani laki-laki di ranjang itu amat tegar berhadapan dengan raja Romawi yang masih belia itu. Ia mendekatkan wajahnya ke Caligula. Ia pasrah untuk diapakan saja.
Saat itulah tubuh ramping wanita ini dibanting di meja altar. Caligula mendekatkan pedang dan mentorehkan ke leher wanita ini. Darah mengucur. Dengan mulutnya, laki-laki itu menghisap darah itu. Dan Caligula pun bersiap-siap untuk menindihnya. Setelah itu Caesonia dijadikan permaisuri sang raja. (Bersambung)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Siang di taman sari. Puluhan gadis, janda, serta gundik istana dikumpulkan. Mereka semuanya adalah wanita pilihan. Dipilih yang berwajah cantik, bertubuh indah, dan berkulit bersih mulus. Mereka ditempatkan di sebuah taman yang dipenuhi bunga warna-warni. Di tengahnya, sebuah kolam renang dengan tangga berundak memutar.
Para wanita itu berdiri berjajar. Mereka semua berpakaian sama. Kain putih tipis yang dibentuk mirip baju panjang (longdress). Tanpa penutup payudara. Juga tanpa memakai celana dalam.
Drussila, Sang Adik, memaksa Caligula memilih salah satu diantara sekian banyak wanita cantik itu. Lalu Caligula menunjuk Caesonia. Ia memang wanita hebat di ranjang, tapi rasanya tak pantas untuk menjadi permaisuri raja. Sebab profesinya selama ini adalah gundik istana. Gundik yang memberi kepuasan seksual terhadap raja terdahulu.
Caligula ngotot memilih Caesonia. Ia menyebut wanita itu sangat layak mendampinginya memimpin kerajaan Romawi. Alasannya, selain hebat di ranjang, ia juga cantik dan sangat dewasa.
Di kamar pentahbisan Caligula menyiapkan prosesi penyambutan. Sebuah altar tergelar, dan di ujungnya, patung Dewi Ishes yang disilang pedang nampak berdiri garang. Secara spiritual patung itu dianggap sebagai kekuatan dan penjaga kedaulatan kerajaan Romawi. Dan di ruang sakral seperti itulah Caligula ingin melakukan ritual penyatuannya dengan Caesonia.
Caesonia mendekati Caligula. Wanita yang berpengalaman melayani laki-laki di ranjang itu amat tegar berhadapan dengan raja Romawi yang masih belia itu. Ia mendekatkan wajahnya ke Caligula. Ia pasrah untuk diapakan saja.
Saat itulah tubuh ramping wanita ini dibanting di meja altar. Caligula mendekatkan pedang dan mentorehkan ke leher wanita ini. Darah mengucur. Dengan mulutnya, laki-laki itu menghisap darah itu. Dan Caligula pun bersiap-siap untuk menindihnya. Setelah itu Caesonia dijadikan permaisuri sang raja. (Bersambung)
NB: Bagi yang belum dewasa dilarang membaca naskah ini.
Selasa, 09 Desember 2008
PETUALANGAN CINTA RAJA CABUL ROMAWI -- CALIGULA (3) -- Caligula Jadi Raja
(Sebelumnya)
Siang di kastil. Caligula sedang bermesraan dengan Drussila di kamar. Keduanya bak pengantin baru. Bercumbu dan bermain seks sepuas-puasnya. Tanpa perlu berpikir panjang, bahwa mereka adalah adik dan kakak.
Saat itulah pintu kamar diketuk dari luar. Ketika terbuka, muncul sesosok laki-laki gagah berseragam pasukan Romawi. Dia adalah Macro. Teman Caligula, yang datang untuk menyampaikan berita dari raja. Caligula dipanggil ke istana.
Raja sendiri sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Kalau sampai raja mati, ada tiga nama yang berpeluang menggantikannya. Pertama adalah Caligula yang gagah dan cukup dewasa. Kedua adalah Gemellus, saudara tiri Caligula yang masih kecil. Dan ketiga adalah Claudius, Sang Paman yang terkesan bloon. Namun itu kapan? Sebab para tabib istana terus berjuang keras, agar raja jangan sakit apalagi meninggal dunia.
Hari itu, ketika usia Caligula tepat 24 tahun, raja kembali ambruk. Ia sakit akut. Berbagai kerabat mulai dikumpulkan, dan mereka diminta agar bersiap-siap jika terjadi sesuatu. Saat itulah raja yang terbaring lemah itu memanggil Caligula, dan memanggil juru tulis yang merangkap bendahara istana. Dengan terbata-bata raja memberi wasiat. Jika terjadi sesuatu, maka Caligula yang bakal menggantikannya.
Habis mengungkapkan wasiat itu, raja tak sadarkan diri. Suaranya lirih, tak jelas apa yang dimaui. Caligula pun berinisiatif untuk membiarkan raja sendirian. Ia menepuk tangan, dan seluruh kerabat yang ada pun keluar ruangan.
Kini di ruangan itu tinggal Caligula dan raja Tiberius yang terbaring koma. Saat kritis itu, Macro datang. Sebagai teman setia, Makro bersedia melakukan perintah Caligula, yakni membunuh sang raja. Ia mengambil sebuah selendang. Dengan benda itu raja dicekik hingga mati.
Setelah mengeksekusi raja, Macro beranjak pergi. Ia menyuruh agar Caligula mulai mengambil kekuasaan. Mengumpulkan seluruh kerabat, dan mengumumkan dukacita. Tapi Caligula belum melakukan itu. Ia kini yakin, kekuasaan sudah di tangan.
Balairung. Pesta besar sedang digelar. Para jenderal, senat, dan pembesar istana yang lain hadir. Hari itu Caligula naik tahta, menggantikan raja Tiberius yang meninggal. Ia akan mengumumkan susunan kabinetnya.
Ada banyak yang was-was. Muka-muka cemas menghinggapi para elit politik yang datang. Ada ketakutan di wajah mereka. Takut posisinya yang nyaman selama ini dicabut atau dibatalkan oleh raja baru. Hanya ada satu pejabat negara yang yakin dengan dirinya. Dia adalah Macro, teman sekaligus Menteri Pertahanan Romawi.
Caligula mondar-mandir di ruang utama. Tangannya menggenggam segebok aturan. Tanpa pengantar yang tertata, ia mulai berpidato. Suaranya menggema, terkesan gagap dan gugup. Saat itulah para jenderal mulai berisik.
Caligula sadar kemampuannya diragukan. Untuk menggaet simpati, dengan suara keras Caligula berjanji. Ia tetap memberi hak istimewa bagi para pejabat negara. Dan tetap mempertahankan struktur yang ada. Saat itulah tepuk sorak bergema. Mereka secara aklamasi mendukung raja yang baru itu.
Usai berpidato dan dikukuhkan sebagai raja baru, didampingi para menterinya, Caligula memeriksa pasukan bersenjata Romawi. Wajah-wajah para menteri itu kini ceriah. Mereka merasa posisinya telah aman. Kembali ikut menikmati kemewahan dan kemegahan fasilitas kerajaan.
Namun saat di ruang utama upacara, tiba-tiba Caligula mengajak semua menterinya berhenti. Ia mulai membuka kronologis kematian raja Tiberius. Tiba-tiba Caligula menuding Macro telah membunuh raja.
Macro kaget. Ia ditangkap. Macro tak berdaya. Laki-laki yang loyal terhadap Caligula itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia digelandang pergi. Dijatuhi hukuman mati. Habis menjerat Macro, Caligula kembali ke peraduan. Ia menyuruh pengawalnya memanggil Ennia, istri Macro. Wanita yang belum tahu nasib suaminya itu dengan langkah manja mendatangi Caligula. Ia bergelenjot di tubuh Caligula. Dalam bayangannya, tak lama lagi, ia bersama suaminya bakal menjadi orang terpenting dalam kerajaan Romawi, bersama Caligula, Sang Raja, kekasihnya.
Caligula membiarkan sikap manja Ennia itu. Laki-laki ini seperti biasanya, memainkan payudara wanita ini. Dengan ekspresi manja dan minta dipuasi, Ennia menyambut rayuan Caligula itu. Mereka mulai bercinta di sofa. Bergulingan. Bertindihan, untuk saling merangsang birahi.
Setelah itu disusul irama rutin berupa rintihan dan lenguhan selama hampir lima belas menit. Keduanya tergolek lunglai di ranjang. Caligula buru-buru mengenakan pakaian, disusul Ennia. Wanita ini agak keheranan dengan sikap Caligula kali ini. Sebab biasanya ia tak secepat itu. Laki-laki ini awal sampai akhir sangatlah romantis. Tapi hari ini tak seperti itu.
Saat Ennia dan Caligula masih bermesraan di sofa dalam keadaan berpakaian lengkap, pintu pun diketuk. Pintu dibuka para dayang. Saat sudah terbuka, maka di pintu itu berdiri beberapa menteri minus Macro. Ennia pun bertanya, dimana suaminya.
Menteri Pertahanan baru yang menjawabnya. Ia menerangkan tentang apa yang barusan terjadi. Mendengar itu Ennia kalap. Ia marah dan meludahi muka Caligula. Tapi apa yang terjadi? Tanpa ekspresi Caligula menyuruh agar Ennia juga dibawa serta. Wanita itu ikut dijatuhi hukuman mati. Para pengawal disuruh mengangkut Ennia bersama sofa yang habis dibuatnya bercinta.(Bersambung)
Siang di kastil. Caligula sedang bermesraan dengan Drussila di kamar. Keduanya bak pengantin baru. Bercumbu dan bermain seks sepuas-puasnya. Tanpa perlu berpikir panjang, bahwa mereka adalah adik dan kakak.
Saat itulah pintu kamar diketuk dari luar. Ketika terbuka, muncul sesosok laki-laki gagah berseragam pasukan Romawi. Dia adalah Macro. Teman Caligula, yang datang untuk menyampaikan berita dari raja. Caligula dipanggil ke istana.
Raja sendiri sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Kalau sampai raja mati, ada tiga nama yang berpeluang menggantikannya. Pertama adalah Caligula yang gagah dan cukup dewasa. Kedua adalah Gemellus, saudara tiri Caligula yang masih kecil. Dan ketiga adalah Claudius, Sang Paman yang terkesan bloon. Namun itu kapan? Sebab para tabib istana terus berjuang keras, agar raja jangan sakit apalagi meninggal dunia.
Hari itu, ketika usia Caligula tepat 24 tahun, raja kembali ambruk. Ia sakit akut. Berbagai kerabat mulai dikumpulkan, dan mereka diminta agar bersiap-siap jika terjadi sesuatu. Saat itulah raja yang terbaring lemah itu memanggil Caligula, dan memanggil juru tulis yang merangkap bendahara istana. Dengan terbata-bata raja memberi wasiat. Jika terjadi sesuatu, maka Caligula yang bakal menggantikannya.
Habis mengungkapkan wasiat itu, raja tak sadarkan diri. Suaranya lirih, tak jelas apa yang dimaui. Caligula pun berinisiatif untuk membiarkan raja sendirian. Ia menepuk tangan, dan seluruh kerabat yang ada pun keluar ruangan.
Kini di ruangan itu tinggal Caligula dan raja Tiberius yang terbaring koma. Saat kritis itu, Macro datang. Sebagai teman setia, Makro bersedia melakukan perintah Caligula, yakni membunuh sang raja. Ia mengambil sebuah selendang. Dengan benda itu raja dicekik hingga mati.
Setelah mengeksekusi raja, Macro beranjak pergi. Ia menyuruh agar Caligula mulai mengambil kekuasaan. Mengumpulkan seluruh kerabat, dan mengumumkan dukacita. Tapi Caligula belum melakukan itu. Ia kini yakin, kekuasaan sudah di tangan.
Balairung. Pesta besar sedang digelar. Para jenderal, senat, dan pembesar istana yang lain hadir. Hari itu Caligula naik tahta, menggantikan raja Tiberius yang meninggal. Ia akan mengumumkan susunan kabinetnya.
Ada banyak yang was-was. Muka-muka cemas menghinggapi para elit politik yang datang. Ada ketakutan di wajah mereka. Takut posisinya yang nyaman selama ini dicabut atau dibatalkan oleh raja baru. Hanya ada satu pejabat negara yang yakin dengan dirinya. Dia adalah Macro, teman sekaligus Menteri Pertahanan Romawi.
Caligula mondar-mandir di ruang utama. Tangannya menggenggam segebok aturan. Tanpa pengantar yang tertata, ia mulai berpidato. Suaranya menggema, terkesan gagap dan gugup. Saat itulah para jenderal mulai berisik.
Caligula sadar kemampuannya diragukan. Untuk menggaet simpati, dengan suara keras Caligula berjanji. Ia tetap memberi hak istimewa bagi para pejabat negara. Dan tetap mempertahankan struktur yang ada. Saat itulah tepuk sorak bergema. Mereka secara aklamasi mendukung raja yang baru itu.
Usai berpidato dan dikukuhkan sebagai raja baru, didampingi para menterinya, Caligula memeriksa pasukan bersenjata Romawi. Wajah-wajah para menteri itu kini ceriah. Mereka merasa posisinya telah aman. Kembali ikut menikmati kemewahan dan kemegahan fasilitas kerajaan.
Namun saat di ruang utama upacara, tiba-tiba Caligula mengajak semua menterinya berhenti. Ia mulai membuka kronologis kematian raja Tiberius. Tiba-tiba Caligula menuding Macro telah membunuh raja.
Macro kaget. Ia ditangkap. Macro tak berdaya. Laki-laki yang loyal terhadap Caligula itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia digelandang pergi. Dijatuhi hukuman mati. Habis menjerat Macro, Caligula kembali ke peraduan. Ia menyuruh pengawalnya memanggil Ennia, istri Macro. Wanita yang belum tahu nasib suaminya itu dengan langkah manja mendatangi Caligula. Ia bergelenjot di tubuh Caligula. Dalam bayangannya, tak lama lagi, ia bersama suaminya bakal menjadi orang terpenting dalam kerajaan Romawi, bersama Caligula, Sang Raja, kekasihnya.
Caligula membiarkan sikap manja Ennia itu. Laki-laki ini seperti biasanya, memainkan payudara wanita ini. Dengan ekspresi manja dan minta dipuasi, Ennia menyambut rayuan Caligula itu. Mereka mulai bercinta di sofa. Bergulingan. Bertindihan, untuk saling merangsang birahi.
Setelah itu disusul irama rutin berupa rintihan dan lenguhan selama hampir lima belas menit. Keduanya tergolek lunglai di ranjang. Caligula buru-buru mengenakan pakaian, disusul Ennia. Wanita ini agak keheranan dengan sikap Caligula kali ini. Sebab biasanya ia tak secepat itu. Laki-laki ini awal sampai akhir sangatlah romantis. Tapi hari ini tak seperti itu.
Saat Ennia dan Caligula masih bermesraan di sofa dalam keadaan berpakaian lengkap, pintu pun diketuk. Pintu dibuka para dayang. Saat sudah terbuka, maka di pintu itu berdiri beberapa menteri minus Macro. Ennia pun bertanya, dimana suaminya.
Menteri Pertahanan baru yang menjawabnya. Ia menerangkan tentang apa yang barusan terjadi. Mendengar itu Ennia kalap. Ia marah dan meludahi muka Caligula. Tapi apa yang terjadi? Tanpa ekspresi Caligula menyuruh agar Ennia juga dibawa serta. Wanita itu ikut dijatuhi hukuman mati. Para pengawal disuruh mengangkut Ennia bersama sofa yang habis dibuatnya bercinta.(Bersambung)
Rabu, 26 November 2008
Kota Kelamin
Cerpen Mariana Amiruddin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
Langganan:
Postingan (Atom)