Minggu, 13 Juli 2008
SATWA JAUH LEBIH UNGGUL KETIMBANG MANUSIA
Dari dulu hingga sekarang dunia fauna selalu mencapai nilai rafting paling unggul ketimbang manusia. Meski satwa tidak mempunyai akal maupun pikiran. Namun, kemampuannya dalam menjalankan berbagai aktivitas tidak bisa dipungkiri lagi. Mereka mampu mengalahkan semua bentuk manusia, yang memiliki watak serta ciri khas berbeda dengan begitu mudahnya. Bahkan, hingga kini diakui oleh para ahli tak ada seorang pun manusia yang sanggup melawan kegigihan serta keuletan para satwa tersebut, baik dalam cabang olah raga, bekerja maupun penggunaan panca indera.
Pada Olimpiade Mexico City tahun 1968, Robert Beamont, seorang atlit berbakat sempat mencucurkan air mata sebagai tanda atas keberasilannya dalam memecahkan kembali rekor bergengsi dalam lompat jarak jauh. Kalau sebelumnya ia berhasil melakukan lompatan sejauh 8.8392 m, maka ditambah dengan 6.35 cm kini lompatannya menjadi 8.9027 m. lompatan menakjubkan Beamont, secara jujur diakui pra ahli sebagai lompatan paling spektakuler dan menantang bahaya. Kesalahan sekecil apapun, pasti akan mengakibatkan fatal bagi dirinya. Sebab hal semacam itu sudah melewati batas ketahanan manusia normal. Tak pelak, bila kesalahan terjadi, semua otot-otonya maupun sendi-sendi tulang akan mengalami kerusakan yang bisa mengakibatkan kelumpuhan bagi dirinya. Namun 17 tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1951, seekor kangguru merah berasal dari New South Wales, Australia, berhasil melakukan lompatan melampaui rekor Robert Beamont, sejauh 12.8016 m.
Lain halnya dengan bangsa kutu, prestasinya dalam hal lompatan terbilang sangat gemilang dan membuat semua orang takjub. Mereka, bangsa kutu yang bukan jenis kutu loncat pun, dapat melakukan gerakan melompat ke udara setinggi 15.24 cm, dan sejauh 0.6096 m sekali laompatan.apabila dilakukan perbandingan antara lompatan kutu dan manusia, maka kutu jauh lebih hebat ketimbang manusia. Bagaimana tidak! Bayangkan saja, kutu yang memiliki tubuh serta bobot amat ringan manakala ditarik sebuah ekuivalen dengan perbandingan lompatan manusia, otomatis lompatan manusia haruslah sejauh 38.6242 m. Itu hal yang mustahil bagi manusia!
Prestasi lain bukan hanya terdapat pada kaum kutu saja, tetapi masih banyak lagi sederet atlit dunia fauna yang memiliki kemampuan berkaliber ‘super’, yang mana mampu menandingi kekuatan manusia.
Dengan tubuh hampir tidak kelihatan, semut yang masuk golongan insekta. Tak ayal, daya penciumannya terhadap, misal gula, bekas kotoran makanan, dan lain-lain, dalam jarak 5 m diakui lebih tajam dibanding manusia yang hanya bisa mencium bau-bauan sejauh tidak lebih dari 5 m. sedangkan dalam hal panjat tebing atau dinding, manusia belum bisa menandingi kelihaian binatang satu ini, yaitu cecak. Kalau seorang PA (Pencinta Alam) melakukan aksi panjat tebing menggunakan masih dibantu dengan tali sebagai pengaman serta ‘point of wall’ untuk tanjakannya. Seekor cecak, tanpa menggunakan pengaman atau pengait sekali pun dapat melakukan panjatan secepat yang dia inginkan.
Sedangkan satwa yang lebih besar sekali pun, tidak menutup kemungkinan juga mempunyai beberapa kelebihan diatas rata-rata manusia dalam hal adu renang atau menyelam. Tanpa dibantu atau justru terkait terhadap badan besarnya, seekor ikan paus menyelam hingga kedalaman 1.127 m dpl. Sebaliknya, siapa pun golongan manusia tidak akan sanggup menahan tekanan air pada kedalaman 701.04 m. Bahkan sangat memungkinkan bagi manusia menghadapi kematian bila tidak menggunakan peralatan khusus selam. Padahal jika dilihat dengan seksama, sebenarnya alat pernafasan yang dipakai oleh ikan paus dan manusia memiliki kesamaan tak jauh berbeda. Keduanya sama-sama bernafas menggunakan paru-paru, lalu kenapa ikan paus jauh lebih unggul dari manusia!
Jangankan menyelam, dalam hal berenang pun kemampuan manusia masih tertinggal jauh di belakang bangsa air ini. Ikan gergaji yang paruhnya amat lancip, bisa berenang dengan kecepatan 109.4354 km/jam. Sementara manusia harus menerima kekalahannya, yaitu hanya dapat ngebut dengan kecepatan 8.5295 km/jam. Bahkan seekor pinguin pun yang tergolong burung dan bukan ikan, dapat menaklukkan kecepatan manusia soal berenang. Ia, pinguin bisa berenang mencapai kecepatan 35.4056 km/jam.
Kali ini dalam bidang penerbangan, manusia yang tidak memiliki sayap, apabila terbang tercatat tidak pernah memecahkan rekor terbang binatang bersayap ini, yaitu burung. Baik itu soal kecepatan menukik di udara, atau pun terjun bebas. Memang diakui, pada jaman mutakhir ini manusia sudah bisa dibilang hampir mirip kaum burung dalam melakukan penerbangan. Namun, semua jenis penerbangan yang kini dilakukan manusia dipandang sebelah mata oleh kaum burung. Bagaimana tidak! Berbagai penerbangan, baik itu kecepatan menukik atau pun terjun bebas diakui masih jauh tertinggal dengan burung elang yang menukik mencapai batas kecepatan minimal berkisar 362.1024 km/jam. Sedang manusia hanya cukup dengan kecepatan menukik 297 km/jam. Perlu diketahui, penerbangan yang dilakukan burung tidak diperlengkapi peralatan khusus, sebaliknya manusia akan mati tanpa peralaatan terbang yang memadai.
Beberapa contoh perbandingan binatang lain yang kemampuannya dianggap jauh melebihi kekuatan fisik manusia adalah dalam hal lari jarak pendek atau jauh. Atlit berkaki empat ini, yaitu anjing greyhound dan rubah merah mampu memecahkan rekor manusia tercepat, Robert Hayes tahun 1963, atau pun ‘the dream team’ Amerika yang salah satu atlitnya terdiri dari carl lewis dan ben Johnson, yang mana kesemua manusia itu hanya mampu berlari dengan kecepatan rata-rata 43 km/jam. Sedang kedua hewan tersebut bisa berlari mencapai kecepatan 64 km/jam. Namun bagaimana halnya dengan Cheetah, binatang yang masuk dalam kelompok carnivora ini. Ia terkenal sebagai binatang tercepat yang mampu berlari seperti angin dengan waktu kecepataan 90.1233 km/jam. Bahkan kecepatan daya terkam Cheetah bisa mencapai 96.5601 km/jam. Memang diakui para ahli, manusia selalu terjegal oleh rekor dari atlit berkaki empat ini.
Pada masa Zhu Jian Hua, atlit Cina berhasil memecahkan rekor loncatan setinggi 2.3876 m. Namun sekitar tahun 1965, hal itu justru dibantah oleh kangguru merah Australia, ia telah membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan loncatan pada tumpukan kayu setinggi 3.048 m.
Sementara pada tahun 1984, seorang angkat berat pemegang rekor dunia, Alexander Gunyashev mengakui dirinya bisa melakukan angkat berat 464.9322 kg. Layaknya manusia lain, kekuatan Alexander tersebut, ternyata bisa dengan mudah dipatahkan oleh rekor gorila yang mampu mengangkat beban seberat 816.4663 kg.
Dalam cabang ski es, manusia bisa berbangga sedikit, yaitu dengan mengalahkan atlit anjing laut yan hanya memiliki kecepatan meluncur 18.9903 km/jam. Sedangkan pada tahun 1981, Pavel Pegov dari US mampu mengitari arena ski es sejauh 450 m, dengan kecepatan meluncur 49.2459 km/jam. Akan tetapi perlu diketahui, bahwasannya olah raga ski tersebut memerlukan sebuah peralatan khusus guna menunjang prestasi para manusia. Sedang anjing laut sendiri tampil apa adanya, tanpa mengenakan berbagai macam alat ski. Memang dari dulu hingga kini, tak ada seorang manusia pun yang dapat menggungguli kemapuan para satwa. Meski benda-benda teknologi telah diciptakan guna menandingi kemampuan para satwa. Namun kelihaian para satwa dalam berbagai cabang, dinilai jauh lebih hebat ketimbang manusia atau pun mesin.
Hukum Rokok
Rokok terbukti mengandung berbagai-bagai jenis bahan kimia berbahaya, diantaranya ialah nikotin. Menurut pakar atau ahli kimia, telah jelas dibuktikan bahwa nikotin yang terdapat dalam setiap batang rokok atau pada daun tembakau adalah ternyata sejenis kimia memabukkan yang diistilahkan sebagai candu.
Dalam syara pula, setiap yang memabukkan apabila dimakan, diminum, dihisap atau disuntik pada seseorang maka ia di kategorikan sebagai candu atau dadah kerana pengertian atau istilah candu adalah suatu bahan yang telah dikenal pasti bisa memabukkan atau mengandung elemen yang bisa memabukkan.
Dalam mengklasifikasikan hukum candu atau bahan yang memabukkan, jumhur ulama fikah yang berpegang kepada syara (al-Quran dan al- Hadith) sepakat menghukumkan atau memfatwakannya sebagai benda "Haram untuk dimakan atau diminum malah wajib dijauhi atau ditinggalkan".
Pengharaman ini adalah jelas dengan berpandukan kepada hujah-hujah atau nas-nas dari syara sebagaimana yang berikut ini: "Setiap yang memabukkan itu adalah haram" H/R Muslim.
Hadith ini dengan jelas menegaskan bahawa setiap apa sahaja yang memabukkan adalah dihukum haram. Kalimah kullu (ßõáøõ) di dalam hadith ini berarti "setiap" yang memberi maksud pada umumnya, semua jenis benda atau apa saja benda yang memabukkan adalah haram hukumnya.
Hadith ini dikuatkan lagi dengan hadith di bawah ini: "Setiap sesuatu yang memabukkan maka bahan tersebut itu adalah haram" (H/R al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Hadith di atas ini pula telah menyatakan dengan cukup terang dan jelas bahwa setiap apa saja yang bisa memabukkan adalah dihukum haram. Pada hadith ini juga Nabi Muhammad s.a.w menggunakan kalimah kullu (ßõáøõ) yaitu "Setiap apa saja", sama ada berbentuk cair, padat, debu (serbuk) atau gas.
Mungkin ada yang menolak kenyataan atau nas di atas ini kerana beralasan atau menyangka bahwa rokok itu hukumnya hanya makruh, bukan haram sebab rokok tidak memabukkan. Mungkin juga mereka menyangka rokok tidak mengandung candu dan kalau adapun kandungan candu dalam rokok hanya sedikit.
Begitu juga dengan alasan yang lain, "menghisap sebatang rokok tidak terasa memabukkan langsung". Andaikan, alasan atau sangkaan seperti ini boleh diselesaikan dengan berpandukan kepada hadith di bawah ini: "Apa saja yang pada banyaknya memabukkan, maka pada sedikitnya juga adalah haram" (H/R Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah).
Kalaulah meneguk segelas arak hukumnya haram karena ia benda yang memabukkan, maka walaupun setetes arak juga hukum pengharamannya tetap sama dengan segelas arak. Begitu juga dengan seketul candu atau sebungkus serbuk dadah yang dihukum haram. Secebis candu atau secubit serbuk dadah yang sedikit juga telah disepakati oleh sekalian ulama Islam dengan memutuskan hukumnya sebagai benda yang dihukumkan haram untuk dimakan, diminum, dihisap (disedut) atau disuntik pada tubuh seseorang jika tanpa ada sebab tertentu yang memaksakan atau keperluan yang terdesak seperti darurat kerana rawatan dalam kecemasan.
Begitulah hukum candu yang terdapat di dalam sebatang rokok, walaupun sedikit ia tetap haram kerana dihisap tanpa adanya sebab-sebab yang memaksa dan terpaksa.
Di dalam sepotong hadith sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad s.a.w telah mengkategorikan setiap yang memabukkan itu sebagai sama hukumnya dengan hukum arak.
Seorang yang benar-benar beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w tentulah meyakini bahawa tidak seorangpun yang layak untuk menentukan hukum halal atau haramnya sesuatu perkara dan benda kecuali Allah dan RasulNya.
Tidak seorangpun berhak atau telah diberi kuasa untuk merubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi dan RasulNya kerana perbuatan ini ditakuti boleh membawa kepada berlakunya syirik tahrif, syirik ta'til atau syirik tabdil.
Hadith yang mengkategorikan setiap yang memabukkan sebagai arak sebagaimana yang di dimaksudkan ialah: "Setiap yang memabukkan itu adalah arak dan setiap (yang dikategorikan) arak itu adalah haram" (H/R Muslim).
Dalam perkara ini ada yang berkata bahwa rokok itu tidak sama dengan arak. Mereka beralasan bahwa rokok atau tembakau itu adalah dari jenis lain dan arak itu pula dari jenis lain yang tidak sama atau serupa dengan rokok.
Memanglah rokok dan arak tidak sama pada ejaan dan rupanya, tetapi hukum dari kesan bahan yang memabukkan yang terkandung di dalam kedua-dua benda ini (rokok dan arak) tidak berbeda di segi syara, karena kedua benda ini tetap mengandung bahan yang memabukkan dan memberi kesan yang memabukkan kepada pengguna atau penagihnya.
Meski sedikit atau banyaknya kandungan yang terdapat atau yang digunakan, yang menjadi perbincangan hukum ialah bendanya yang boleh memabukkan, ada yang dari jenis cair, serbuk atau gas. Apabila nyata memabukkan sama ada kuantitinya banyak atau sedikit maka hukumnya tetap sama, yaitu haram sebagaimana keterangan dari hadith sahih di atas.
Di hadith yang lain, Nabi Muhammad s.a.w mengkhabarkan bahwa ada di kalangan umatnya yang akan menyalahgunakan benda-benda yang memabukkan dengan menukar nama dan istilahnya untuk menghalalkan penggunaan benda-benda tersebut: "Pasti akan berlaku di kalangan manusia-manusia dari umatku, meneguk (minum/hisap/sedut/suntik) arak kemudian mereka menamakannya dengan nama yang lain" (H/R Ahmad dan Abu Daud).
Seseorang yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam beragama, tentunya tanpa banyak persoalan atau alasan akan mentaati semua nas-nas al-Quran dan al-hadith yang nyata dan jelas di atas.
Orang-orang yang beriman akan berkata dengan suara hati yang ikhlas, melafazkan ikrar dengan perkataan serta akan sentiasa melaksanakan firman Allah yang terkandung di dalam al-Quran : "Kami akan sentiasa dengar dan akan sentiasa taat".
Tidaklah mereka mau mencontohi sikap dan perbuatan Yahudi yang dilaknat dari dahulu sehinggalah sekarang kerana orang-orang Yahudi itu apabila diajukan ayat-ayat Allah kepada mereka maka mereka akan menentang dan berkata : "Kami sentiasa dengar tetapi kami membantah".
Hanya iman yang mantap dapat mendorong seseorang mukmin sejati dalam mentaati segala perintah dan larangan Allah yang menjanjikan keselamatannya di dunia dan di akhirat.
Kalaulah Nabi Muhammad s.a.w telah menjelaskan melalui hadith-hadith baginda di atas bahwa setiap yang boleh memabukkan apabila dimakan, diminum atau digunakan (tanpa ada sebab-sebab keperluan atau terpaksa), maka ia dihukum sebagai benda haram dan ia dianggap sejenis dengan arak.
Penghisapan kadar nikotin yang terdapat di dalam rokok bukanlah sesuatu yang wajib atau terpaksa dilakukan. Sebaliknya, penghisapan rokok dimulai hanya karena inginmencoba-coba yang akibatnya menjadi ketagihan yang memaksa si penagih melayani kehendak nafsunya.
Dalam hal ini, tanpa sadar ia telah membeli penyakit dan menambah masalah, mengundang kematian dan tidak secara langsung ia telah melakukan kezaliman terhadap diri sendiri.
Bahan yang memabukkan telah disamakan hukumnya dengan arak oleh Nabi Muhammad s.a.w, disebabkan kedua benda ini memberi kesan mabuk dan ketagihan yang serupa kepada penggunanya. Melalui kaidah yang diambil dari hadith Nabi di atas, dapatlah kita kategorikan jenis nikotin yang terdapat di dalam rokok sama hukumnya dengan arak dan semua jenis dadah yang lain.
Kesimpulannya, rokok atau tembakau adalah haram karena nikotin membawa kesan mabuk atau memabukkan apabila digunakan oleh manusia. Bahkan efek nikotin berdampak buruk bagi kesehatan seseorang. Rokok pastinya menambahkan racun (toksin) yang terkumpul di dalam tubuh badan. sehingga menyebabkan sel-sel dalam tubuh seseorang mengalami kerusakan, membuka kepada serangan kuman dan bakteri.
Apabila pengambilan rokok yang mengandungi bahan yang memabukkan dianggap haram karena ia digolongkan sejenis dengan arak, oleh Nabi Muhammad s.a.w maka di dalam hadith dan al-Quran terdapat larangan keras dari Allah dan RasulNya:
Dari Abu Musa berkata : Bersabda Rasulullah saw : “Tiga orang tidak masuk syurga. Penagih arak, orang yang membenarkan sihir dan pemutus silaturrahmi" (H/R Ahmad dan ibn Hibban).
"Mereka bertanya kepada engkau tentang arak dan perjudian, katakanlah bahwa pada keduanya itu dosa yang besar". Al Baqarah:219.
"Hai orang-orang yang beriman, bahwasanya arak , judi, (berkorban untuk) berhala dan bertenung itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, sebab itu hendaklah kamu meninggalkannya semuga kamu beroleh kejayaan" (Al Maidah: 90).
Hadith di atas Nabi Muhammad s.a.w telah mengkhabarkan bahawa peminum arak tidak masuk dalam ayat di atas pula, Allah mengkategorikan arak (khamar) sejajar dengan berhala dan bertenung sebagai perbuatan keji (kotor) yang wajib dijauhi oleh akal sehat.
Perkataan "rijs" ini tidak digunakan dalam al-Quran kecuali terhadap perkara-perkara yang kotor dan jelek. Perbuatan yang buruk, kotor, tidak lain berasal daripada perbuatan syaitan yang sangat gemar membuat kemungkaran sebagaimana larangan Allah selanjutnya yang menekankan bahwa: "Sesungguhnya syaitan termasuk hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan judi itu dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mahu berhenti?" (Al Maidah: 91).
Justru itu Allah menyeru supaya berhenti dari perbuatan ini dengan ungkapan yang tajam : "Apakah kamu tidak mau berhenti?"
Seseorang mukmin yang ikhlas tentunya mengatakan seruan ini sebagaimana Umar r.a ketika mendengar ayat tersebut telah berkata: "Kami berhenti, wahai Tuhan kami, Kami berhenti, wahai Tuhan kami".
Utsman bin 'Affan r.a juga telah berwasiat tentang benda-benda yang memabukkan yang telah diistilahkan sebagai khamar "arak". Sebagaimana wasiat beliau: "Jauhkanlah diri kamu dari khamar (benda yang memabukkan), sesungguhnya khamar itu ibu segala kerosakan (kekejian/kejahatan)" (Tafsir Ibn Kathir Jld.2, M/S. 97).
Ada yang menyangka bahwa rokok walaupun jelas klasifikasinya dengan arak boleh dijadikan obat untuk mengurangkan rasa tekanan jiwa, tekanan perasaan, kebosanan dan mengantuk.
Sebenarnya rokok tidak pernah dibuktikan sebagai penawar atau dapat dikategorikan sebagi obat karena setiap benda haram apabila dibuktikan mengandungi bahan memabukkan maka tidak akan menjadi obat, tetapi sebaliknya sebagaimana hadith Nabi s.a.w: "Telah berkata Ibn Masoud tentang benda yang memabukkan : Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kamu pada benda yang Ia telah haramkan kepada kamu" (H/R al-Bukhari).
Waail bin Hujr berkata : Bahwa Tareq bin Suwid pernah bertanya kepada Nabi s.a.w tenang pembuatan arak, maka Nabi menjawab. Maka baginda bersabda : Penulis membuatnya untuk (tujuan) pengobatan. Maka Nabi bersabda : Sesungguhnya arak itu bukan obat tetapi penyakit" (H/R Muslim dan Turmizi).
NOVELIST AND JOURNALIST
Novelist and journalist are two-name profession of someone that having a lot similar and differentiate each it. Both novelist and journalist known as the writers, in which having a special characteristic and high intelligence to expressed idea. Novelist are focused the written to the romantic element, for example; love, affair, fight etc. Obviously, the written such like that called by “ literary work “. In addition, the written of journalist taken from the collecting research on the field. Therefore, it is not surprised that the work of journalist next be called news. Some people said even if both professions have a similar as the writer, but it has, possible to get differentiates among them. This can be seen from the style of language used by each novelist and journalist, especially when they are expressed the idea in an every seed sentence. It is indeed that finding a style language of novelist and journalist is hard, unlike opened the flat hand. First, the analyzed of the style must be careful and focused on the logical sentence contraction. The ability of choosing word and the development of the right sentences, if we can divided those conventional system so that we would know the style of each novelist and journalist.
Besides, before analyzing the style of object like novelist and journalist, we should know what is the style mean. Based on Ronald Wardhaugh (1948) style is refers to the selection of linguistic forms (linguistic alternative), it also acts as a set of instruction. Sometimes the style of language in someone contains the messages which convey are not normally in words. So, what is different option of style that having by novelist and journalist?
The style of journalist
Actually, there is some different style of language comparing the journalist and novelist. The written of journalist are intended to the language, later on called press language or journalistic language. Meanwhile, the journalist language has a special style; briefly, simple, solid or compact, swift, unadorned, interesting and clear. Besides, the style of journalistic language is based on the standard language. Standard language that used by journalist is codified in some ways that usually involve the development of such things as grammar and dictionary and possibly a literature. It requires a measure of agreement be achieved about what is in the language and what is not (acceptability) usually it is used for formal matters just like what the journalist has used to.
However, there is system of the journalist needs to be attention. First, Eufimisme is the soft expressing as a replacement of cruel expression, which is inflicting a financial loss or not fun anymore, such as meninggal, bersanggama, tinja, or tuna karya. Second, be thrifty of word, mean the conversation of phrase that used by journalist is not disturb, but the expression of written made the information more complex. For the journalist, the strong and long phrase makes decrease the point of klise expressed. Third, the word that used by journalist is concrete and special.
In the other hand, the style language used by journalist contain of five written forms, which having format and different characters, those are; Straight News, Soft News, Feature, Reportage, and Investigation News. In addition, the format that used cannot mix by opinion of the writer. Every word or phrase must be real, and the data have to authentic.
The style of novelist
Unlike journalist, the written of novelist are intended to the romantic aspect. Most literary work that playing by novelist consist of implicit word, that is very hard to understand. Therefore, to know that word is able to understand by people, the reader must use their feeling and imagination.
Usually, the written of novelist is fiction, which the source or data takes from the feeling of someone, aspiration, judgment, or think, imaginative. The story written by novelist, extremely describe from the imaginative of every people. In fact, sometimes the man of letters or novelist also involved to express his imagine and feeling to the inside, such as dream with an angel or idealism of someone to reach their future. Unlike journalist, which the written mostly focus on one system, that is 5 W + 1 H, mean what, who, why, where, when, and how. Here, the style language of novelist is pressure on the plot. Besides, the word or phrase is a long until hundred of pages, and most of story are emphasize in the plot only, how some stories happen and what kind conflict through the inside.
The style of novelist and journalist is different. Both of them have own style in the written of language. The written a novelist is very difficult to understand, but when the reader successful to interpretation every word written by a novelist, than they will get the moral teaching or massage through the inside. While journalist, most of the written is based only true story that happens to society. Each written or news that used by journalist are complex and flexible to understanding. So that the writer or journalist is able to give an easy explanation and introduction about the news that happen in society. To conclude, even if the profession between novelist and journalist are same as a writer, but the style of language among them obviously different.
Keterbacaan >> (readability)
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahasa dapat menjadikan manusia menjadi lebih beradab dan berbudaya. Manusia telah menyadari arti penting bahasa sehingga berbagai usaha telah dilakukan untuk lebih mengembangkan ilmu tentang bahasa demi kepentingan manusia itu sendiri.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli bahasa tersebut mempunyai tujuan selain untuk pengembangan ilmu itu sendiri juga untuk tujuan komunikasi yang lebih baik. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah menganalisa dan mengukur suatu teks.
Suatu studi yang menekankan pada peran bahasa sebagai alat komunikasi yang lebih baik muncul pada awal 1920 an. Studi tentang bahasa ini disebut Keterbacaan. Studi ini digunakan untuk mengidentifikasi kualitas teks apakah teks tersebut bisa disebut teks yang mudah untuk dipahami maksudnya.
Mengidentifikasi kualitas teks bukanlah hanya merupakan teka – teki bagi para ahli bahasa, namun hal tersebut juga menyangkut masalah kepentingan orang banyak. Kintsch dan Miller (1984 : 220) mengatakan :
For our seciety to function, people have to be able to understand what they read; and documents, in structions, and explanations must be written in such a way that people can understand them.
Agar masyarakat tahu dan paham dengan apa yang mereka baca, dokumen, instruksi dan penjelasannya seharusnya ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan masyarakat dapat memahami tulisan-tulisan tersebut.
Untuk mencapai teks yang dapat dikatakan readable dibutuhkan persyaratan khusus Nutall (1982 : 24) mengatakan bahwa “Readability is not a matter only of vocabulary, however structural difficulty is also important….” Jadi Readability bukan hanya menyangkut masalah kosa kata saja, namun juga masalah gramatikal.
Suatu wacana atau teks akan lebih menarik apabila disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga terjadi pada editorial surat kabar. Editorial yang mempunyai sifat khusus, akan lebih mudah dipahami oleh pembaca apabila ditulis dengan bahasa yang sederhana, yaitu dengan menggunakan kata-kata yang umum dan kalimat-kalimat yang tidak berkepanjangan. Tujuan yang hendak dicapai oleh para editor, yaitu memberikan gambaran, penjelasan serta beberapa alternatif bagi kepentingan masyarakat, tidak akan tercapai apabila masyarakat sukar memahami tulisan dalam editorial tersebut.
Konsep Keterbacaan
Studi tentang keterbacaan, atau dalam bahasa Inggris disebut readability, mempunyai dua tujuan utama yaitu untuk menentukan bahwa suatu teks mudah atau bahkan sulit dibaca atau dipahami dan untuk lebih mengoptimalkan kesatuan antara pembaca dan tulisan yang dibaca. Hal ini dikemukakan oleh Food dalam bukunya yang berjudul Understanding Reading Comprehension, Cognition, Language and the Structure of Prose (1984).
Dale dan Chall juga memberikan suatu definisi tentang Keterbacaan, yaitu:
Readability is the sum total (including the interaction) of all those elements within a given plece of printed material that affects the success a group of readers have with it. The success is the extent to which they understand it, read it …… Chall 1984 : Keterbacaan adalah keseluruhan elemen yang terdapat pada teks, termasuk interaksi antara elemen-elemen tersebut. Suatu teks dikatakan baik apabila para pembaca dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan dalam teks tersebut.
Pada dasarnya keterbacaan menyangkut derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Sakri (1993 : 135) menyatakan :
Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami dari pada yang rendah keterbacaannya dan sebaliknya, lebih rendah keterbacaan sebuah karangan lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan, antara lain. Bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tudak umum lebih sulit untuk dipahami dari pada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya. Demikian pula bangun kalimat yang panjang dan rumit menyulitkan pembaca untuk memahaminya.
Kesulitan yang dimaksudkan dapat diatasi apabila suatu bacaan atau karangan disajikan dengan bahasa yang sederhana sehingga keterbacaannya tinggi.
Faktor – Faktor Keterbacaan
Keterbacaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa saja, akan tetapi juga ditentukan oleh rupa tulisan, yaitu tata huruf atau tipografinya. Namun dalam penelitian ini, penelitian hanya akan mengkaji keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa.
Keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa dapat dilihat pada bangun kalimat, pilihan kata, susunan paragraf dan unsur ketatabahasaan yang lain. Dari semua unsur tersebut unsur kesulitan kosa kata dan panjang kalimat sangat menentukan tingkat keterbacaan suatu teks. Hal ini dikemukakan oleh Rachard et al (1985 : 238), seperti berikut ini :
Readability depends on many factors, including (a) the average length of sentences in a passage (b) the number of a new words a passage contains (c) the gramatical complexity of the language used.
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian Pembatasan Masalah, peneliti tidak akan mengkaji semua faktor yang disebutkan oleh Richard tersebut. Penelitian hanya akan mengkaji tingkat keterbacaan suatu teks yang disebabkan oleh susunan kalimat, kepadatan kata dalam kalimat dan kata-kata sulit yang terdapat dalam teks tersebut.
1. Susunan Kalimat
Saran yang baik bagi seorang penulisan adalah buatlah kalimat-kalimat yang pendek, karena tidak ada sesuatu yang membosankan dibandingkan dengan membaca kalimat-kalimat yang panjang. Di samping itu kalimat-kalimat yang panjang akan sulit dimengerti dan kurang bisa mengungkapkan ide dengan baik.
Nababan (1994 : 20 – 21) mengatakan bahwa kesederhanaan dan kerumitan susunan kalimat tampak dari jumlah klausa yang terdapat di dalamnya. Jika suatu kalimat dibangun hanya dari satu klausa bebas ia tergolong kalimat sederhana, sebaliknya jika suatu kalimat mempunyai lebih dari satu klausa bebas dan klausa terikat, ia tergolong kalimat kompleks.
Contohnya :
1) The mountain, the peak of which, was barely discernible, was an impressive sight.
2a) The mountain was an impressive sight
2b) The peak of it was barely discernible
Kalimat (1) dan Kalimat (2a) dan (2b) mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, kalimat (1) lebih sulit dipahami dari pada kalimat (2a) dan (2b) karena kalimat (1) mempunyai konstruksi yang kompleks.
2. Kepadatan Kata Dalam Kalimat
Panjang kalimat berpengaruh pada keterbacaan suatu teks. Pada dasarnya, makin panjang sebuah kalimat, makin sulit untuk dipahami.
Nababan (1994 : 22) mengatakan bahwa kalimat yang padat katanya mempunyai susunan yang rumit dan kepadatan rata-rata kata dalam kalimat itu turut menentukan keterbacaannya. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan keterbacaan ialah mengendalikan panjang kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang pendek akan lebih mudah dipahami maksudnya dibandingkan dengan kalimat yang panjang.
3. Kesulitan Kata
Hal yang pokok dalam keterbacaan adalah masalah kesulitan kata. Salah satu cara untuk menekan kesulitan ini adalah dengan menggunakan kata-kata yang sederhana. Pertama – tama yang perlu diperhatikan oleh seorang penulis adalah penggunaan kata-kata yang umum dan sering digunakan (high frequency). Contohnya: kata proceed sering berarti go, kata secure sering berarti safe.
Selain penggunaan kata-kata yang sederhana dan umum, seorang penulis disarankan untuk menghindari penggunaan kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih, karena kata-kata ini dapat menimbulkan kesulitan bagi para pembaca.
Formula Keterbacaan
Penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan sejak permulaan tahun 1920-an, menghasilkan formula keterbacaan (readability formula). Chall (1984 : 236) mengatakan lebih dari 50 formula keterbacaan setelah dipublikasikan, namun hanya beberapa dari Spache (1974). Dale Chall (1948), Flesch (1948), Molaughlin (1969), Robert Gunning (1968) dan Fry (1968). Rumus-rumus keterbacaan tersebut pada dasarnya menggambarkan kombinasi antara jumlah kata-kata sukar dan jumlah kalimat (Marjasujana, 1987 : a).
Dari beberapa formula keterbacaan yang telah dipublikasikan tiga formula masing-masing formula keterbacaan Dale dan Chall, Rudolf Flesch dan Robert Gunning merupakan formula-formula yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan surat kabar (westley, 1953 : 91). Pada kenyataannya, yang diperhatikan dalam formula keterbacaan tersebut yang ada hanyalah kata-kata yang sulit dan panjang kalimat.
Dalam penelitian ini, penelitian hanya menggunakan formula keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning. Peneliti tidak menggunakan formula keterbacaan Dale dan Chall karena selain buku – buku yang menjelaskan tentang formula Dale dan Chall hampir sama dengan dua formula yang telah peneliti sebutkan di atas.
1. Formula Keterbacaan Fleasch
Formula keterbacaan yang ditemukan oleh Rudolf Flesca, seorang ahli bahasa Amerika Serikat, berdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengukur kemudahan suatu tulian untuk dibaca dan dipahami. Bagian kedua mengukur pesona insani, yaitu beberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca )Sakri, 1993 : 138).
Untuk mengukur tingkat keterbacaan bedasarkan jumlah kata per kalimat atau panjang klaimat, Flesch menyusun suatu tabel mengenai derajat keterbacaan tulisan sebagai berikut :
Keterbacaan
Kata per kalimat
Sangat mudah
8
Mudah
11
Agak mudah
14
Baku
12
Agak sulit
21
Sangat sulit
25
Tabel rujukan Flesch tersebut banyak digunakan oleh lembaga pemerintahan, surat kabar – surat kabar untuk memperbaiki terbitannya.
Pada bagian kedua dari formula Flesch, yaitu yang dipakai untuk mengukur pesona insani, peneliti menggunakan sekelompok pembaca untuk mengetahui seberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca. Gaya karangan yang dimaksud di sini adalah penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam editorial surat kabar.
Dua pakar di bidang keterbacaan, yaitu Fry dan Melaughlin, mengatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu teks dapat diukur dari sudut kebahasaannya saja, misalnya penggunaan kalimat dan tingkat kepadatan rata-rata kata per kalimat dalam teks (Nababan, 1994 : 25). Namun demikian, peneliti menyadari bahwa kegiatan membaca tidak mungkin terlepas dari pembaca itu sendiri. Oleh sebab itu, pembaca harus dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini agar penelitian ini akan lebih memuaskan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil beberapa orang sebagai pembaca. Diharapkan mereka dapat memberikan masukan dan tanggapan yang sifatnya tambahan setelah mereka membaca editorial surat kabar Jawa Pos dan Kompas serta kuesioner yang telah peneliti berikan.
2. Formula Keterbacaan Robert Gunning
Robert Gunning, sarjana yang menengembangkan formula keterbacaan pada tahun 1952, menyatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu wacana dapat diketahui dengan langkah-langkah sebagai berikut (Wardah, 1978 : 14 – 150) :
1).Ambil sebuah tulisan atau wacana.
2).Hitunglah jumlah kalimat yang ada pada tulisan atau wacana.
3).Hitunglah panjang kalimat dengan cara menghitung jumlah kata per kalimat, misalnya saja 18 buah kata per kalimat.
4).Kemudian hitung jumlah rata-rata kata per kalimat dalam tulisan atau bacaan.
5).Hitunglah kata-kata sulit, dalam hal ini adalah kata-kata yang terdiri atas tiga suku atau lebih. Jangan dihitung kata-kata ganti nama dan kata-kata majemuk, seperti book-keeper, serta kata kerja yang menjadi tiga suku atau lebih yang disebabkan oleh suatu proses morfologis, seperti promoted.
6).Hitung persentase kata-kata sulit dengan membagi jumlah kata-kata sulit dengan jumlah total kata yang ada pada tulisan atau wacana.
7).Jumlah faktor ke-4 dan ke-6 (rata-rata panjang kalimat dan kata-kata yang bersuku tiga atau lebih, perkalian dengan 0,4. Maka hasil yang diperoleh disebut Fog Index.
Rentangan Gunning Fog Index adalah dari 5 sampai 17 dan Fog Index diatas 7 dianggap oleh Gunning sebagai titik rawan. Tulisan dengan Fox Index diatas 7 tergolong sulit untuk dibaca dan dipahami maksudnya. Gunning dalam Sakri (1993 : 137) melaporkan bahwa majalah umum di Amerika Serikat yang mempunyai Fox Index diatas 12 sudah gulung tikar dalam tempo satu tahun. Sementara itu, majalah Time dan Look dengan Fog Index masing-masing 10 dan 8 bertahan hidup dengan jumlah cetak yang luar biasa besarnya.
Kedua formula keterbacaan tersebut di atas, banyak digunakan para penulis sebagai rumus untuk membuat tulisan atau wacana yang mudah dibaca dan dipahami maksudnya. Dengan menggunakan kedua formula tersebut, yang mengukur jumlah kata per kalimat atau panjang kalimat, kata sulit dan tingkat kesulitan kata, maka tingkat keterbacaan editorial Jawa Pos dan Kompas dapat diukur dan kemudian dibandingkan.
Penelitian yang Berkaitan
Penelitian tentang keterbacaan telah banyak dilakukan oleh peneliti bahasa di luar negeri. Flood dalam bukunya Understanding Reading Comprehension + Cognition Language and the Structure of Prose (1984), menyatakan bahwa beberapa peneliti telah mempelajari rumus keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning dan mengadakan penelitian berdasarkan rumus-rumus tersebut. Peneliti-peneliti yang dimaksud adalah Jeanne S. Chall, George R. Klare, Bormouth, Kintsh dan Vipond, Coleman, Sticht, Harisdan Jacobson.
Penelitian-penelitian di bidang keterbacaan tersebut di atas mempunyai tujuan umum, yaitu (1) untuk mengetahui hal-hal yang membuat teks mudah atau sulit dibaca dan dipahami, dan (2) untuk menggunakan pengetahuan itu guna menciptakan kesesuaian antara kemampuan pembaca dan tingkat keterbacaan (Chall dalam Flood, 1984 : 236).
Banyaknya penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keterbacaan merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan mempunyai prospek yang cukup baik. Di bawah ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang yang diteliti oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan, di samping untuk memperluas cakrawala pengetahuan, juga digunakan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Adapun hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wardah (1978), Prayuwati (1979), Aryatiningsih (1993) dan Nababan (1994).
Dalam penelitiannya, Wardah berusaha menentukan tingkat keterbacan buku-buku novel bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Wardah, sekarang ini novel-novel ini terjemahan sudah banyak dibaca orang Indonesia. Namun kualitas novel-novel terjemahan itu ada yang bagus, ada pula yang kurang memadai. Salah satu faktor mengapa buku-buku novel terjemahan itu mendapat tempat di hati para pembaca adalah tingkat keterbacaannya.
Untuk mengukur tingkat keterbacaan beberapa novel terjemahan, Wardah menggunakan dan macam teknik analisis. Kedua teknik analisis itu adalah Cloze Procedure dan Formula Keterbacaan yang menggunakan indeks Gunning Fog. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan novel-novel yang diteliti, baik yang diperoleh dari analisis yang menggunakan Cloze Procedure maupun Formula Keterbacaan, adalah tinggi.
Penelitian yang serupa dengan penelitian Wardah juga dilakukan oleh Prayuwati (1979). Prayuwati dalam thesisnya meneliti buku-buku terjemahan cerita-cerita kanak-kanak. Ia menyatakan bahwa untuk menilai buku-buku bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak adalah hal yang sangat penting. Ia berpendapat bahwa apabila suatu buku sudah mudah dibaca, buku itu akan menarik minat anak untuk membacanya. Karena alasan itu ia tertarik untuk menerliti tingkat keterbacaan buku certa anak-anak hasil terjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam penelitiannya, Prayuwati menggunakan dua macam Cloze Test sebagai instrumen, yaitu (1) Cloze Tests tanpa pilihan, artinya para subjek penelitian diberi kebebasan untuk mengisinya. Hasil penelitian Prayuwati menunjukkan bahwa dari sepuluh cerita kanak-kanak yang dijadikan sampel, hanya satu yang tingkat keterbacaannya rendah. Dengan kata lain, kesembilan cerita kanak-kanak yang diteliti mempunyai nilai keterbacaan yang tinggi.
Aryatiningsih, pada tahun 1993 telah mengadakan penelitian tentang tingkat keterbacaan yang dikaitkan dengan kemampuan menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Diponegoro Semarang. Dalam penelitiannya, Aryaningsih meneliti faktor gramatikal dan kosa kata suatu teks. Dari hasil analisis didapat kesimpulan bahwa semakin komplek gramatikal dan kosa kata suatu teks semakin sulit teks itu dipahami dan diterjemahkan .
Ketiga peneliti di atas mengkaji tingkat keterbacaan dalam penerjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, lainnya halnya dengan Nababan yang mengkaji tingkat keterbacaan dalam bidang pengajaran. Ia (1994) meneliti tingkat keterbacaan ujian mata kuliah Reading Comprehencion mahasiswa semester I – VI Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan materi ujian tersebut, Nababan mendasarkan pada dua indikator, yaitu persentase jumlah kalimat kompleks yang terdapat dalam setiap teks dan jumlah rata-rata kata per kalimat. Untuk menghitung jumlah rata-rata kata per kalimat, Nababan menggunakan formula keterbatasan Rudolf Flesch. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa teks materi ujian Reading Comprehension mempunyai nilai keterbacaannya yang rendah dan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan mahasiswa semester yang bersangkutan.
Sejauh ini, di lingkup Jurusan Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maretm Surakarta, baru terdapat satu penelitian tentang keterbacaan yang dilakukan oleh Nababan, seperti tersebut di atas.
Masih sedikitnya penelitian yang terkait, terutama di Jurusan Sastra Inggris, memacu peneliti untuk meneruskan penelitian tentang keterbacaan. Peneliti berharap penelitian ini dapat menambah perbendaharaan hasil penelitian di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli bahasa tersebut mempunyai tujuan selain untuk pengembangan ilmu itu sendiri juga untuk tujuan komunikasi yang lebih baik. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah menganalisa dan mengukur suatu teks.
Suatu studi yang menekankan pada peran bahasa sebagai alat komunikasi yang lebih baik muncul pada awal 1920 an. Studi tentang bahasa ini disebut Keterbacaan. Studi ini digunakan untuk mengidentifikasi kualitas teks apakah teks tersebut bisa disebut teks yang mudah untuk dipahami maksudnya.
Mengidentifikasi kualitas teks bukanlah hanya merupakan teka – teki bagi para ahli bahasa, namun hal tersebut juga menyangkut masalah kepentingan orang banyak. Kintsch dan Miller (1984 : 220) mengatakan :
For our seciety to function, people have to be able to understand what they read; and documents, in structions, and explanations must be written in such a way that people can understand them.
Agar masyarakat tahu dan paham dengan apa yang mereka baca, dokumen, instruksi dan penjelasannya seharusnya ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan masyarakat dapat memahami tulisan-tulisan tersebut.
Untuk mencapai teks yang dapat dikatakan readable dibutuhkan persyaratan khusus Nutall (1982 : 24) mengatakan bahwa “Readability is not a matter only of vocabulary, however structural difficulty is also important….” Jadi Readability bukan hanya menyangkut masalah kosa kata saja, namun juga masalah gramatikal.
Suatu wacana atau teks akan lebih menarik apabila disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga terjadi pada editorial surat kabar. Editorial yang mempunyai sifat khusus, akan lebih mudah dipahami oleh pembaca apabila ditulis dengan bahasa yang sederhana, yaitu dengan menggunakan kata-kata yang umum dan kalimat-kalimat yang tidak berkepanjangan. Tujuan yang hendak dicapai oleh para editor, yaitu memberikan gambaran, penjelasan serta beberapa alternatif bagi kepentingan masyarakat, tidak akan tercapai apabila masyarakat sukar memahami tulisan dalam editorial tersebut.
Konsep Keterbacaan
Studi tentang keterbacaan, atau dalam bahasa Inggris disebut readability, mempunyai dua tujuan utama yaitu untuk menentukan bahwa suatu teks mudah atau bahkan sulit dibaca atau dipahami dan untuk lebih mengoptimalkan kesatuan antara pembaca dan tulisan yang dibaca. Hal ini dikemukakan oleh Food dalam bukunya yang berjudul Understanding Reading Comprehension, Cognition, Language and the Structure of Prose (1984).
Dale dan Chall juga memberikan suatu definisi tentang Keterbacaan, yaitu:
Readability is the sum total (including the interaction) of all those elements within a given plece of printed material that affects the success a group of readers have with it. The success is the extent to which they understand it, read it …… Chall 1984 : Keterbacaan adalah keseluruhan elemen yang terdapat pada teks, termasuk interaksi antara elemen-elemen tersebut. Suatu teks dikatakan baik apabila para pembaca dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan dalam teks tersebut.
Pada dasarnya keterbacaan menyangkut derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Sakri (1993 : 135) menyatakan :
Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami dari pada yang rendah keterbacaannya dan sebaliknya, lebih rendah keterbacaan sebuah karangan lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan, antara lain. Bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tudak umum lebih sulit untuk dipahami dari pada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya. Demikian pula bangun kalimat yang panjang dan rumit menyulitkan pembaca untuk memahaminya.
Kesulitan yang dimaksudkan dapat diatasi apabila suatu bacaan atau karangan disajikan dengan bahasa yang sederhana sehingga keterbacaannya tinggi.
Faktor – Faktor Keterbacaan
Keterbacaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa saja, akan tetapi juga ditentukan oleh rupa tulisan, yaitu tata huruf atau tipografinya. Namun dalam penelitian ini, penelitian hanya akan mengkaji keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa.
Keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa dapat dilihat pada bangun kalimat, pilihan kata, susunan paragraf dan unsur ketatabahasaan yang lain. Dari semua unsur tersebut unsur kesulitan kosa kata dan panjang kalimat sangat menentukan tingkat keterbacaan suatu teks. Hal ini dikemukakan oleh Rachard et al (1985 : 238), seperti berikut ini :
Readability depends on many factors, including (a) the average length of sentences in a passage (b) the number of a new words a passage contains (c) the gramatical complexity of the language used.
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian Pembatasan Masalah, peneliti tidak akan mengkaji semua faktor yang disebutkan oleh Richard tersebut. Penelitian hanya akan mengkaji tingkat keterbacaan suatu teks yang disebabkan oleh susunan kalimat, kepadatan kata dalam kalimat dan kata-kata sulit yang terdapat dalam teks tersebut.
1. Susunan Kalimat
Saran yang baik bagi seorang penulisan adalah buatlah kalimat-kalimat yang pendek, karena tidak ada sesuatu yang membosankan dibandingkan dengan membaca kalimat-kalimat yang panjang. Di samping itu kalimat-kalimat yang panjang akan sulit dimengerti dan kurang bisa mengungkapkan ide dengan baik.
Nababan (1994 : 20 – 21) mengatakan bahwa kesederhanaan dan kerumitan susunan kalimat tampak dari jumlah klausa yang terdapat di dalamnya. Jika suatu kalimat dibangun hanya dari satu klausa bebas ia tergolong kalimat sederhana, sebaliknya jika suatu kalimat mempunyai lebih dari satu klausa bebas dan klausa terikat, ia tergolong kalimat kompleks.
Contohnya :
1) The mountain, the peak of which, was barely discernible, was an impressive sight.
2a) The mountain was an impressive sight
2b) The peak of it was barely discernible
Kalimat (1) dan Kalimat (2a) dan (2b) mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, kalimat (1) lebih sulit dipahami dari pada kalimat (2a) dan (2b) karena kalimat (1) mempunyai konstruksi yang kompleks.
2. Kepadatan Kata Dalam Kalimat
Panjang kalimat berpengaruh pada keterbacaan suatu teks. Pada dasarnya, makin panjang sebuah kalimat, makin sulit untuk dipahami.
Nababan (1994 : 22) mengatakan bahwa kalimat yang padat katanya mempunyai susunan yang rumit dan kepadatan rata-rata kata dalam kalimat itu turut menentukan keterbacaannya. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan keterbacaan ialah mengendalikan panjang kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang pendek akan lebih mudah dipahami maksudnya dibandingkan dengan kalimat yang panjang.
3. Kesulitan Kata
Hal yang pokok dalam keterbacaan adalah masalah kesulitan kata. Salah satu cara untuk menekan kesulitan ini adalah dengan menggunakan kata-kata yang sederhana. Pertama – tama yang perlu diperhatikan oleh seorang penulis adalah penggunaan kata-kata yang umum dan sering digunakan (high frequency). Contohnya: kata proceed sering berarti go, kata secure sering berarti safe.
Selain penggunaan kata-kata yang sederhana dan umum, seorang penulis disarankan untuk menghindari penggunaan kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih, karena kata-kata ini dapat menimbulkan kesulitan bagi para pembaca.
Formula Keterbacaan
Penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan sejak permulaan tahun 1920-an, menghasilkan formula keterbacaan (readability formula). Chall (1984 : 236) mengatakan lebih dari 50 formula keterbacaan setelah dipublikasikan, namun hanya beberapa dari Spache (1974). Dale Chall (1948), Flesch (1948), Molaughlin (1969), Robert Gunning (1968) dan Fry (1968). Rumus-rumus keterbacaan tersebut pada dasarnya menggambarkan kombinasi antara jumlah kata-kata sukar dan jumlah kalimat (Marjasujana, 1987 : a).
Dari beberapa formula keterbacaan yang telah dipublikasikan tiga formula masing-masing formula keterbacaan Dale dan Chall, Rudolf Flesch dan Robert Gunning merupakan formula-formula yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan surat kabar (westley, 1953 : 91). Pada kenyataannya, yang diperhatikan dalam formula keterbacaan tersebut yang ada hanyalah kata-kata yang sulit dan panjang kalimat.
Dalam penelitian ini, penelitian hanya menggunakan formula keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning. Peneliti tidak menggunakan formula keterbacaan Dale dan Chall karena selain buku – buku yang menjelaskan tentang formula Dale dan Chall hampir sama dengan dua formula yang telah peneliti sebutkan di atas.
1. Formula Keterbacaan Fleasch
Formula keterbacaan yang ditemukan oleh Rudolf Flesca, seorang ahli bahasa Amerika Serikat, berdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengukur kemudahan suatu tulian untuk dibaca dan dipahami. Bagian kedua mengukur pesona insani, yaitu beberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca )Sakri, 1993 : 138).
Untuk mengukur tingkat keterbacaan bedasarkan jumlah kata per kalimat atau panjang klaimat, Flesch menyusun suatu tabel mengenai derajat keterbacaan tulisan sebagai berikut :
Keterbacaan
Kata per kalimat
Sangat mudah
8
Mudah
11
Agak mudah
14
Baku
12
Agak sulit
21
Sangat sulit
25
Tabel rujukan Flesch tersebut banyak digunakan oleh lembaga pemerintahan, surat kabar – surat kabar untuk memperbaiki terbitannya.
Pada bagian kedua dari formula Flesch, yaitu yang dipakai untuk mengukur pesona insani, peneliti menggunakan sekelompok pembaca untuk mengetahui seberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca. Gaya karangan yang dimaksud di sini adalah penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam editorial surat kabar.
Dua pakar di bidang keterbacaan, yaitu Fry dan Melaughlin, mengatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu teks dapat diukur dari sudut kebahasaannya saja, misalnya penggunaan kalimat dan tingkat kepadatan rata-rata kata per kalimat dalam teks (Nababan, 1994 : 25). Namun demikian, peneliti menyadari bahwa kegiatan membaca tidak mungkin terlepas dari pembaca itu sendiri. Oleh sebab itu, pembaca harus dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini agar penelitian ini akan lebih memuaskan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil beberapa orang sebagai pembaca. Diharapkan mereka dapat memberikan masukan dan tanggapan yang sifatnya tambahan setelah mereka membaca editorial surat kabar Jawa Pos dan Kompas serta kuesioner yang telah peneliti berikan.
2. Formula Keterbacaan Robert Gunning
Robert Gunning, sarjana yang menengembangkan formula keterbacaan pada tahun 1952, menyatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu wacana dapat diketahui dengan langkah-langkah sebagai berikut (Wardah, 1978 : 14 – 150) :
1).Ambil sebuah tulisan atau wacana.
2).Hitunglah jumlah kalimat yang ada pada tulisan atau wacana.
3).Hitunglah panjang kalimat dengan cara menghitung jumlah kata per kalimat, misalnya saja 18 buah kata per kalimat.
4).Kemudian hitung jumlah rata-rata kata per kalimat dalam tulisan atau bacaan.
5).Hitunglah kata-kata sulit, dalam hal ini adalah kata-kata yang terdiri atas tiga suku atau lebih. Jangan dihitung kata-kata ganti nama dan kata-kata majemuk, seperti book-keeper, serta kata kerja yang menjadi tiga suku atau lebih yang disebabkan oleh suatu proses morfologis, seperti promoted.
6).Hitung persentase kata-kata sulit dengan membagi jumlah kata-kata sulit dengan jumlah total kata yang ada pada tulisan atau wacana.
7).Jumlah faktor ke-4 dan ke-6 (rata-rata panjang kalimat dan kata-kata yang bersuku tiga atau lebih, perkalian dengan 0,4. Maka hasil yang diperoleh disebut Fog Index.
Rentangan Gunning Fog Index adalah dari 5 sampai 17 dan Fog Index diatas 7 dianggap oleh Gunning sebagai titik rawan. Tulisan dengan Fox Index diatas 7 tergolong sulit untuk dibaca dan dipahami maksudnya. Gunning dalam Sakri (1993 : 137) melaporkan bahwa majalah umum di Amerika Serikat yang mempunyai Fox Index diatas 12 sudah gulung tikar dalam tempo satu tahun. Sementara itu, majalah Time dan Look dengan Fog Index masing-masing 10 dan 8 bertahan hidup dengan jumlah cetak yang luar biasa besarnya.
Kedua formula keterbacaan tersebut di atas, banyak digunakan para penulis sebagai rumus untuk membuat tulisan atau wacana yang mudah dibaca dan dipahami maksudnya. Dengan menggunakan kedua formula tersebut, yang mengukur jumlah kata per kalimat atau panjang kalimat, kata sulit dan tingkat kesulitan kata, maka tingkat keterbacaan editorial Jawa Pos dan Kompas dapat diukur dan kemudian dibandingkan.
Penelitian yang Berkaitan
Penelitian tentang keterbacaan telah banyak dilakukan oleh peneliti bahasa di luar negeri. Flood dalam bukunya Understanding Reading Comprehension + Cognition Language and the Structure of Prose (1984), menyatakan bahwa beberapa peneliti telah mempelajari rumus keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning dan mengadakan penelitian berdasarkan rumus-rumus tersebut. Peneliti-peneliti yang dimaksud adalah Jeanne S. Chall, George R. Klare, Bormouth, Kintsh dan Vipond, Coleman, Sticht, Harisdan Jacobson.
Penelitian-penelitian di bidang keterbacaan tersebut di atas mempunyai tujuan umum, yaitu (1) untuk mengetahui hal-hal yang membuat teks mudah atau sulit dibaca dan dipahami, dan (2) untuk menggunakan pengetahuan itu guna menciptakan kesesuaian antara kemampuan pembaca dan tingkat keterbacaan (Chall dalam Flood, 1984 : 236).
Banyaknya penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keterbacaan merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan mempunyai prospek yang cukup baik. Di bawah ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang yang diteliti oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan, di samping untuk memperluas cakrawala pengetahuan, juga digunakan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Adapun hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wardah (1978), Prayuwati (1979), Aryatiningsih (1993) dan Nababan (1994).
Dalam penelitiannya, Wardah berusaha menentukan tingkat keterbacan buku-buku novel bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Wardah, sekarang ini novel-novel ini terjemahan sudah banyak dibaca orang Indonesia. Namun kualitas novel-novel terjemahan itu ada yang bagus, ada pula yang kurang memadai. Salah satu faktor mengapa buku-buku novel terjemahan itu mendapat tempat di hati para pembaca adalah tingkat keterbacaannya.
Untuk mengukur tingkat keterbacaan beberapa novel terjemahan, Wardah menggunakan dan macam teknik analisis. Kedua teknik analisis itu adalah Cloze Procedure dan Formula Keterbacaan yang menggunakan indeks Gunning Fog. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan novel-novel yang diteliti, baik yang diperoleh dari analisis yang menggunakan Cloze Procedure maupun Formula Keterbacaan, adalah tinggi.
Penelitian yang serupa dengan penelitian Wardah juga dilakukan oleh Prayuwati (1979). Prayuwati dalam thesisnya meneliti buku-buku terjemahan cerita-cerita kanak-kanak. Ia menyatakan bahwa untuk menilai buku-buku bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak adalah hal yang sangat penting. Ia berpendapat bahwa apabila suatu buku sudah mudah dibaca, buku itu akan menarik minat anak untuk membacanya. Karena alasan itu ia tertarik untuk menerliti tingkat keterbacaan buku certa anak-anak hasil terjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam penelitiannya, Prayuwati menggunakan dua macam Cloze Test sebagai instrumen, yaitu (1) Cloze Tests tanpa pilihan, artinya para subjek penelitian diberi kebebasan untuk mengisinya. Hasil penelitian Prayuwati menunjukkan bahwa dari sepuluh cerita kanak-kanak yang dijadikan sampel, hanya satu yang tingkat keterbacaannya rendah. Dengan kata lain, kesembilan cerita kanak-kanak yang diteliti mempunyai nilai keterbacaan yang tinggi.
Aryatiningsih, pada tahun 1993 telah mengadakan penelitian tentang tingkat keterbacaan yang dikaitkan dengan kemampuan menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Diponegoro Semarang. Dalam penelitiannya, Aryaningsih meneliti faktor gramatikal dan kosa kata suatu teks. Dari hasil analisis didapat kesimpulan bahwa semakin komplek gramatikal dan kosa kata suatu teks semakin sulit teks itu dipahami dan diterjemahkan .
Ketiga peneliti di atas mengkaji tingkat keterbacaan dalam penerjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, lainnya halnya dengan Nababan yang mengkaji tingkat keterbacaan dalam bidang pengajaran. Ia (1994) meneliti tingkat keterbacaan ujian mata kuliah Reading Comprehencion mahasiswa semester I – VI Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan materi ujian tersebut, Nababan mendasarkan pada dua indikator, yaitu persentase jumlah kalimat kompleks yang terdapat dalam setiap teks dan jumlah rata-rata kata per kalimat. Untuk menghitung jumlah rata-rata kata per kalimat, Nababan menggunakan formula keterbatasan Rudolf Flesch. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa teks materi ujian Reading Comprehension mempunyai nilai keterbacaannya yang rendah dan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan mahasiswa semester yang bersangkutan.
Sejauh ini, di lingkup Jurusan Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maretm Surakarta, baru terdapat satu penelitian tentang keterbacaan yang dilakukan oleh Nababan, seperti tersebut di atas.
Masih sedikitnya penelitian yang terkait, terutama di Jurusan Sastra Inggris, memacu peneliti untuk meneruskan penelitian tentang keterbacaan. Peneliti berharap penelitian ini dapat menambah perbendaharaan hasil penelitian di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra.
Sabtu, 05 Juli 2008
Tuhan Yang Dijual
Sudah lama Ayah mencari Tuhan. Beliau sudah tidak puas lagi dengan hanya bersalat lima waktu. Ayah ikut tarekat ini dan itu. Tapi tidak puas juga. Pernah beliau saya tawari untuk menunaikan ibada haji, namun beliau menolak. Alasannya ayah masih merasa kotor sehingga takut menatap Ka’bah. Ketika saya tertawa mendengar alasannya ini, beliau marah.
“Justru orang yang kotor yang pantas ke Tanah Suci, Pak. Nah didepan Ka’bah itulah orang yang kotor itu lalu dibersihkan,” celetuk saya.
Mendengar perkataan saya itu Ayah marah lagi. Kemarahan Ayah tidak pernah ditunjukkan dengan kata-kata atau tindakan, melainkan dengan berdiam diri.
Di Banyumas itulah akhirnya Ayah merasa mendapatkan apa yang selama ini dicarinya: Tuhan. Beliau ikut satu tarekat yang namanya Tarekat Tanpa Nama. Sekali lagi saya tertawa mendengar nama kelompok ini.
“Pak, sungguh saya tidak menyindir. Tapi nama tarekat Bapak persis nama Band Tanpa Nama,” celetuk saya sambil tersenyum.
Lagi-lagi Ayah marah. Beberapa saat kami berdiam diri. Saya juga menyatakan jika ayah suka marah, perjalanan Ayah dalam mencari Tuhan akan menemui kesukaran. Lagi-lagi Ayah marah. Tapi begitulah, antara Ayah dan saya terjalin hubungan yang erat dibanding anak-anak yang lain. Dari sini lalu saya bisa bercanda secara bebas dengan beliau.
Tarekat Tanpa Nama, ya bolehlah nama ini, pikir saya. Cukup kontemporer dan punya selera. Barangkali saja kiai yang memimpinnya seorang muda yang bergairah terhadap hidup. Barangkali punya rasa humor tinggi atau semacamnya. Saya sih senang-senang saja, asal Ayah senang juga di dalamnya. Kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan kami.
Pada sorelam (sekitar pukul 19.00 atau 20.00) di warung nasi liwet bu Lemu di Triwindu, Solo, pikiran-pikiran segar Ayah tentang Tuhan, mengalir. Saya adalah pendengar yang baik. Bukan karena apa, melainkan karena hidup saya yang profan yang secuil pun tidak mengerti apa yang dibicarakan Ayah. Saya hanya seorang makelar. Semua jenis dan semua ragam barang dagangan saya makelari. Kendaraan, rumah, tanah, dan lain sebagainya.
Nah, di rumah sakit Lamongan itulah Ayah bisa beristirahat total. Namun beliau tetap bungkam ketika saya tanya kenapa sampai mengembara dan terlunta-lunta begitu jauh dari Purwokerto. Kalau boleh saya membaca wajah Ayah, kali ini agaknya beliau terdiri dari campuran marah, kecewa, dan putus asa. Setelah dirawat tiga hari, Ayah minta langsung pulang ke Purwokerto. Di rumah, Ayah tetap diam seribu bahasa. Setelah mencukupi kebutuhan rumah tangga beliau, saya pamit kembali ke Solo. Tapi di tengah perjalanan saya penasaran. Saya putar mobil lalu balik menuju Banyumas. Ingin sekali saya bertemu dengan kiai guru Ayah, pemimpin Tarekat Tanpa Nama itu.
Ternyata tempat mangkal tarekat ini adalah sebuah gedung yang megah. Aula tempat berlatih bersama merupakan ruang yang besar dan luas. Saya berhasil menemui pak kiai itu dengan mengantongi banyak pertanyaan. Setiap pertanyaan saya beliau jawab dengan tangkas dan benar. Peling tidak, menurut pikiran saya. Lalu saya diajak berkeliling oleh stafnya. Sempat juga saya melihat beberapa anggota bersalat dan berlatih dzikir. Akhirnya saya ditawari untuk masuk menjadi anggota. Saya menolak. Saya katakan bahwa saya tidak mengerti dengan kegiatan begini. Lagipula hidup saya bertentangan dengan gaya hidup yang seperti itu. Tetapi omongan saya ini dibantah. Gaya hidup seperti apapun, tak menghalangi siapapun untuk masuk menjadi anggota perkumpulan semacam itu.
Ketika saya pamit dan keluar gedung itu, di depan saya terhampar suatu pemandangan yang indah sekali dengan air terjun dari sebuah bukit. Saya terheran-heran. Saya ingat betul pemandangan ini tidak ada ketika saya masuk gedung itu. saya terbengong-bengong. Saya sadar kembali setelah kiai itu menepuk punggung saya.
“Pemandangan itu hanya maya,” kata Pak kiai sambil menghapus pemandangan itu dengan lambaian tangannya, dan lenyaplah pemandangan yang sangat indah itu. saya terkagum-kagum lagi. Subhanallah. Belum sampai mulut saya membuka, Pak kiai menunjuk mobil saya.....yang ternyata telah berubah menjadi BMW model mutakhir. Terbelalak saya terhenyak. Saya mematung beberapa saat. Saya lalu dibimbing masuk kembali ke dalam gedung. Disodorinya saya formulir keanggotaan yang perlu saya isi.
“Apakah saya nanti juga bisa mencipta pemandangan yang indah dan segala macam lainnya, kiai?” tanya saya.
“Tentu,” jawab Pak kiai.
“Apakah mobil saya akan tetap yang indah itu, kiai?”
“Tentu.”
“Berapa lama saya perlu belajar?”
“Itu tergantung masing-masing.”
“Kapan saya mulai, kiai?”
“Setiap pribadi harus dibersihkan dari dosa terlebih dahulu. Setelah bersih betul lalu diajak melakukan perjalanan ke surga. Setelah dari surga, baru seorang anggota bisa mencipta segala macam apa saja yang ia ingini.”
“Saya bersedia menjadi anggota, kiai.”
“Bagus. Biaya untuk bersih-bersih itu satu juta rupiah.” Serta merta saya tulis cek sebesar yang diminta.
Begitulah, saya lalu mondar-mandir Solo-Banyumas untuk mengikuti latihan tarekat itu. yang menyenangkan tentu saja karena perjalanan tambah mulus diatas mobil yang indah itu. Hmmm. Setiap saya mampir ke rumah Ayah di Purwokerto, saya masih sempat merahasiakannya. Tapi, lama-lama saya tidak kuat juga. Akhirnya saya ceritakan tentang keanggotaan tarekat saya itu.
“Goblok kamu!” bentak Ayah. “Itu tarekat setan!”
“Jangan keburu marah dulu, Pak,” jawab saya mencoba mendinginkannya.
“Berapa juta rupiah kamu sudah dilalap oleh kiai sontoloyo itu?”
Saya diam saja.
“Ayo, jawab!”
“Lima belas.”
“Bebal, kamu! Lalu kamu dapat apa? Jawab!”
Saya diam saja.
“Kamu dapat apa? Jawab!”
Saya tetap diam.
“Jawab!”
“BMW.”
“Mana BMW-mu biar aku lihat.”
Lalu Ayah mbradat keluar yang saya ikuti dengan kelu.
“Mana mobilmu yang indah itu?”
dengan terheran-heran saya menyaksikan mobil saya sudah berubah menjadi mobil yang dulu lagi. Kembali saya mematung untuk kedua kalinya. Terkulai dihadapan Ayah, betapa konyol saya telah terpikat oleh kelompok yang dulu sempat saya lecehkan. Masya Allah.
Sejak itu saya tinggalkan terekat yang sebenarnya telah mempesona itu. sungguh saya tidak mengerti jalan pikiran Ayah. Bagaimana mungkin seorang kiai yang sanggup mencipta seperti Tuhan telah dianggap Ayah sebagai kelompok kiai yang sesat.
Atas nasehat seorang kiai di Solo, saya diminta menunaikan ibadah haji. Tapi rasanya saya belum kuat dan belum siap. Lalu saya putuskan untuk umrah di bulan suci Ramadhan ini. Cukup lama juga merayu Ayah, alhamdullilah, akhirnya beliau mau berangkat menemani saya ke Tanah Suci. Kami berdua mendapat waktu ibadah sepuluh hari terakhir. Konon inilah hari-hari yang keramat. Hari-hari yang didambakan oleh seluruh muslimin di dunia. Hari-hari Lailatul Qadar yang siapapun sanggup membayar supermahal dan tinggal sepanjang hari sepanjang malam beriktikaf di dalam Masjidil Haram, selama sepuluh hari tanpa seringsut dari tempat duduknya.
Masya Allah. Saya kesukaran lagi dengan Ayah. Ketika kami siap-siap melaksanakan ibadah umrah bersama ratusan jemaah lainnya, tiba-tiba saja Ayah ngambek tidak mau masuk masjid yang tersuci itu. beliau mendengar bahwa biaya umrah sepuluh terakhir Ramadhan ini lebih mahal dari biaya haji ONH-Plus.
“Ayo, jawab! Apa benar biayanya lebih mahal?” bentak Ayah.
Saya diam.
“Ayo, jawab!”
Saya tetap diam.
“Ayo, jawab!”
“Benar.”
“Sontoloyo! Di mana-mana Tuhan dijual dengan harga yang murah!” teriak Ayah sambil masuk kembali ke kamar hotel, tidur.
Wawancara Imajiner Bersama Raja Iblis di Neraka Jahanam >> KETIKA OTORITAS IBLIS DIPERTANYAKAN
Jauh direlung sanubari manusia, tinggalah sesosok makhluk berperawakan seram. Gaya bicaranya lantang. Tidak mengenal aturan. Orang mengenalnya karena memiliki tabiat buruk; selalu menggoda manusia dan melawan Tuhan. Yang ia tahu hanya manusia, manusia, dan manusia. Serta bagaimana cara untuk menjerumuskan mereka ke lembah hitam (dunianya).
Ketika aku datang ke istananya (neraka jahanam) untuk wawancara, ia mengutuk, menyumpahi dan mengumpat-umpat diriku. Maklum, saat itu aku sedang melakukan interview mengenai kematian yang melanda negeri ini. Berikut wawancara imaginer bersama raja iblis.
Aku: Assalamualaikum?
Iblis: !!!???? (tidak menjawab)
Aku: Selamat malam Pak Iblis?
Iblis: Hei, kamu! Kenapa manusia seperti kamu bisa masuk ke tempat ini. Bagaimana caranya kamu masuk ke sini.
Aku: Maaf, saya ke sini karena punya press card. Saya dari wartawan. Kedatangan saya mau mewawancarai Anda.
Iblis: Ha, press card. Apa itu! Kok saya baru tahu sekarang.
Aku: Press card adalah identitas yang harus dimiliki oleh setiap wartawan. Oleh karena itu saya bebas melakukan apa saja. Sebab dengan press card, saya dilindungi undang-undang. Dengan kata lain, press card yang saya gunakan ini merupakan suatu amalan suci yang muncul dari rasa sehingga dapat menjadi akses bertemu dengan Tuhan. Maka dari itu mudah sekali menemukan Anda.
Iblis: Hmm, boleh juga nih press card. Kalau saja aku mempunyai press card itu, pasti aku akan dengan leluasa masuk ke dalam hati setiap manusia dan merong-rong mereka.
Aku: Oh iya, Pak Iblis. Anda kan dikenal orang suka menggoda manusia. Bagaimana Anda menangkap fenomena yang melanda negeri kita ini.
Iblis: Sontoloyo, siapa yang bilang saya membunuh orang. Suruh ke sini orangnya, biar kumakan hidup-hidup (Marah-marah).
Aku: Maaf Pak Iblis, saya tidak menuduh Anda membunuh manusia tapi menganggu. Nah, kedatangan saya ini hanya sekedar ingin tahu pendapat Pak Iblis.
Iblis: Soal kematian itu semua urusan Izroil. Sedang bencana yang turun sekarang adalah hasil dari ketrampilan Isrofil yang meniup sangkalanya atas perintahNya. Otoritas saya bukan di situ. Kamu tahu enggak soal tindakan tidak sinergi yang dilakukan Gus Nur, Dai dari Banten!
Aku: Tidak, emangnya kenapa?
Iblis: Dasar kamu ini manusia bebal, goblok, dan pendosa. Katanya wartawan tapi kok tidak tahu apa-apa. Pasti kamu wartawan grandong ya! Gus Nur itu asalnya dari Banten. Ia datang ke Pasuruan untuk melakukan aksi penguburan hidup-hidup.
Aku: Lalu apa hubungannya dengan kematian?
Iblis: Kamu itu guobloknya tidak ketulungan. Entar tak panggilkan Izroil baru tahu rasa kamu. Saya ini baru mau menjelaskan otoritas saya sebagai iblis. Kamu bayangkan saja, masa ada Dai, Ustad, atau Kyai (terserah apa namanya) ingin dikubur hidup-hidup dengan maksud dakwah. Begitu saya melihat Gus Nur, itulah kesempatan saya untuk menggodanya. Yang dilakukan Gus Nur bukan semata-mata karena Allah. Semua itu murni dari saya. Hahaha....(menyombongkan diri)
Aku: Berarti yang dilakukan Gus Nur salah dong.
Iblis: Dalam kamus saya tidak ada salah dan benar. Yang penting saya enjoy aja melakukan tugas. Apalagi ketika aksi itu diliput oleh televisi swasta, Gus Nur bilang, bahwa tujuannya dikubur hidup-hidup sekedar ingin merasakan bagaimana rasanya mati. Saya rasa itu adalah contoh yang sangat radikal bagi kebanyakan orang. Belum satu jam dikubur, 5 menit kemudian Gus Nur sudah minta tolong. Katanya sih konsentrasi buyar gara-gara terlalu banyak orang. Untung saja teman saya Izroil tidak datang. Sebab ia sibuk mengurusi nyawa-nyawa yang ada di Asia.
Aku: Oh begitu toh. Jadi selama ini jumlah kematian yang didera oleh bangsa Indonesia adalah salah satu dari refleksi keagungan Tuhan.
Iblis: Terserah bagaimana kamu memandangnya. Yang jelas, saya melihat dunia sudah terbalik. Orang hidup pengin mati, dan orang mati pengin hidup. Inilah tanda-tanda akhir jaman. Kejadian yang menimpa anak bangsa adalah sebagai akibat dari perbuatan manusianya sendiri. Sebenarnya Tuhan mengirimkan bencana ini sebagai peringatan kepada manusia agar segera bertaubat. Tapi jangan sampailah, sebab tugas saya nanti bisa terhambat. Kalau semua orang bertaubat, lalu saya makan apa. Pokoknya saya melihat Tuhan mempunyai maksud tertentu dibalik itu.
Aku: Kalau menurut pandangan Anda yang sudah lama bergelut di dunia per-iblisan, bahkan Anda pun telah naik jabatan karena prestasi gemilang menggoda manusia, lalu apa sih sebenarnya maksud Tuhan menurunkan bencana sebesar itu?
Iblis: Telah lama bangsa ini mengalami krisis moral (sekali lagi ia menyombongkan diri atas keberhasilannya). Para pejabat yang sudah duduk di atas sana, lupa terhadap nasib wong cilik. Mereka silih berganti memperkaya diri dengan cara mereguk uang negara. Korupsi terjadi dimana-mana. KKN menjadi momok menakutkan bagi kalangan kecil. Sehingga rakyat pun bengok-bengok ketika harga BBM naik. Presiden dan Wakilnya tidak berhasil memberantas kekejaman korupsi. Sebab yang melakukan korupsi adalah bawahannya sendiri.
Aku: Selain itu adakah tendensi lain atas ketidakteraturan negeri ini, termasuk bencana yang melanda negeri ini?
Iblis: Banyak. Saya melihat selain bencana itu murni faktor alam, rupanya Tuhan telah berkata lain. Ia (Tuhan) melihat begitu banyak ketidakteraturan yang menimpa negeri ini, bahkan negeri tetangga sekalipun (Thailand, Srilangka, Malaysia). Korban berjatuhan dimana-mana. Saya sempat tertawa melihatnya. Para malaikat tidak berhasil menggugah nurani manusia. Sehingga Tuhan pun murka.
Aku: Ha murka!!??? Emangnya Tuhan punya rasa, emosi dan hati sehingga ia dapat murka.
Iblis: Ya tidak sih. Setidaknya ia pernah murka kepada kami (para iblis) yang menolak diciptakannya manusia. Sehingga kami harus menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya. Kalau kamu mau jadi penghuni berikutnya, silahkan saja saya menerimamu dengan tangan terbuka. Bahkan kalau kamu bersedia kamu akan saya jadikan penasehatku. Gimana?
Aku: Tidak, terima kasih. Oh iya pak iblis, saya melihatnya kok tidak begitu. Tuhan tidak murka. Dalam Al-Quran tak pernah disebutkan bahwa Tuhan murka. Saya melihat semua itu hanyalah kehendakNya. Apa yang dilakukan Tuhan terhadap iblis adalah kehendakNya pula.
Iblis: Sontoloyo, aku bilang Tuhan murka, ya murka. Saya benci sama Dia.
Aku: Lho-lho Anda kok selalu marah sih. Tidak seharusnya Anda marah. Sebab tugas iblis adalah membujuk manusia ke jalan yang sesat. Jika Anda marah berarti di dalam Anda ada iblisnya juga dong. Apalagi wawancara ini hanya sekedar imaginer.
Iblis: Pergi sana dan jangan kembali lagi ke sini jika tak ingin nyawamu melayang. (Dia mengusir saya dari kerajaannya).
Ketika aku datang ke istananya (neraka jahanam) untuk wawancara, ia mengutuk, menyumpahi dan mengumpat-umpat diriku. Maklum, saat itu aku sedang melakukan interview mengenai kematian yang melanda negeri ini. Berikut wawancara imaginer bersama raja iblis.
Aku: Assalamualaikum?
Iblis: !!!???? (tidak menjawab)
Aku: Selamat malam Pak Iblis?
Iblis: Hei, kamu! Kenapa manusia seperti kamu bisa masuk ke tempat ini. Bagaimana caranya kamu masuk ke sini.
Aku: Maaf, saya ke sini karena punya press card. Saya dari wartawan. Kedatangan saya mau mewawancarai Anda.
Iblis: Ha, press card. Apa itu! Kok saya baru tahu sekarang.
Aku: Press card adalah identitas yang harus dimiliki oleh setiap wartawan. Oleh karena itu saya bebas melakukan apa saja. Sebab dengan press card, saya dilindungi undang-undang. Dengan kata lain, press card yang saya gunakan ini merupakan suatu amalan suci yang muncul dari rasa sehingga dapat menjadi akses bertemu dengan Tuhan. Maka dari itu mudah sekali menemukan Anda.
Iblis: Hmm, boleh juga nih press card. Kalau saja aku mempunyai press card itu, pasti aku akan dengan leluasa masuk ke dalam hati setiap manusia dan merong-rong mereka.
Aku: Oh iya, Pak Iblis. Anda kan dikenal orang suka menggoda manusia. Bagaimana Anda menangkap fenomena yang melanda negeri kita ini.
Iblis: Sontoloyo, siapa yang bilang saya membunuh orang. Suruh ke sini orangnya, biar kumakan hidup-hidup (Marah-marah).
Aku: Maaf Pak Iblis, saya tidak menuduh Anda membunuh manusia tapi menganggu. Nah, kedatangan saya ini hanya sekedar ingin tahu pendapat Pak Iblis.
Iblis: Soal kematian itu semua urusan Izroil. Sedang bencana yang turun sekarang adalah hasil dari ketrampilan Isrofil yang meniup sangkalanya atas perintahNya. Otoritas saya bukan di situ. Kamu tahu enggak soal tindakan tidak sinergi yang dilakukan Gus Nur, Dai dari Banten!
Aku: Tidak, emangnya kenapa?
Iblis: Dasar kamu ini manusia bebal, goblok, dan pendosa. Katanya wartawan tapi kok tidak tahu apa-apa. Pasti kamu wartawan grandong ya! Gus Nur itu asalnya dari Banten. Ia datang ke Pasuruan untuk melakukan aksi penguburan hidup-hidup.
Aku: Lalu apa hubungannya dengan kematian?
Iblis: Kamu itu guobloknya tidak ketulungan. Entar tak panggilkan Izroil baru tahu rasa kamu. Saya ini baru mau menjelaskan otoritas saya sebagai iblis. Kamu bayangkan saja, masa ada Dai, Ustad, atau Kyai (terserah apa namanya) ingin dikubur hidup-hidup dengan maksud dakwah. Begitu saya melihat Gus Nur, itulah kesempatan saya untuk menggodanya. Yang dilakukan Gus Nur bukan semata-mata karena Allah. Semua itu murni dari saya. Hahaha....(menyombongkan diri)
Aku: Berarti yang dilakukan Gus Nur salah dong.
Iblis: Dalam kamus saya tidak ada salah dan benar. Yang penting saya enjoy aja melakukan tugas. Apalagi ketika aksi itu diliput oleh televisi swasta, Gus Nur bilang, bahwa tujuannya dikubur hidup-hidup sekedar ingin merasakan bagaimana rasanya mati. Saya rasa itu adalah contoh yang sangat radikal bagi kebanyakan orang. Belum satu jam dikubur, 5 menit kemudian Gus Nur sudah minta tolong. Katanya sih konsentrasi buyar gara-gara terlalu banyak orang. Untung saja teman saya Izroil tidak datang. Sebab ia sibuk mengurusi nyawa-nyawa yang ada di Asia.
Aku: Oh begitu toh. Jadi selama ini jumlah kematian yang didera oleh bangsa Indonesia adalah salah satu dari refleksi keagungan Tuhan.
Iblis: Terserah bagaimana kamu memandangnya. Yang jelas, saya melihat dunia sudah terbalik. Orang hidup pengin mati, dan orang mati pengin hidup. Inilah tanda-tanda akhir jaman. Kejadian yang menimpa anak bangsa adalah sebagai akibat dari perbuatan manusianya sendiri. Sebenarnya Tuhan mengirimkan bencana ini sebagai peringatan kepada manusia agar segera bertaubat. Tapi jangan sampailah, sebab tugas saya nanti bisa terhambat. Kalau semua orang bertaubat, lalu saya makan apa. Pokoknya saya melihat Tuhan mempunyai maksud tertentu dibalik itu.
Aku: Kalau menurut pandangan Anda yang sudah lama bergelut di dunia per-iblisan, bahkan Anda pun telah naik jabatan karena prestasi gemilang menggoda manusia, lalu apa sih sebenarnya maksud Tuhan menurunkan bencana sebesar itu?
Iblis: Telah lama bangsa ini mengalami krisis moral (sekali lagi ia menyombongkan diri atas keberhasilannya). Para pejabat yang sudah duduk di atas sana, lupa terhadap nasib wong cilik. Mereka silih berganti memperkaya diri dengan cara mereguk uang negara. Korupsi terjadi dimana-mana. KKN menjadi momok menakutkan bagi kalangan kecil. Sehingga rakyat pun bengok-bengok ketika harga BBM naik. Presiden dan Wakilnya tidak berhasil memberantas kekejaman korupsi. Sebab yang melakukan korupsi adalah bawahannya sendiri.
Aku: Selain itu adakah tendensi lain atas ketidakteraturan negeri ini, termasuk bencana yang melanda negeri ini?
Iblis: Banyak. Saya melihat selain bencana itu murni faktor alam, rupanya Tuhan telah berkata lain. Ia (Tuhan) melihat begitu banyak ketidakteraturan yang menimpa negeri ini, bahkan negeri tetangga sekalipun (Thailand, Srilangka, Malaysia). Korban berjatuhan dimana-mana. Saya sempat tertawa melihatnya. Para malaikat tidak berhasil menggugah nurani manusia. Sehingga Tuhan pun murka.
Aku: Ha murka!!??? Emangnya Tuhan punya rasa, emosi dan hati sehingga ia dapat murka.
Iblis: Ya tidak sih. Setidaknya ia pernah murka kepada kami (para iblis) yang menolak diciptakannya manusia. Sehingga kami harus menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya. Kalau kamu mau jadi penghuni berikutnya, silahkan saja saya menerimamu dengan tangan terbuka. Bahkan kalau kamu bersedia kamu akan saya jadikan penasehatku. Gimana?
Aku: Tidak, terima kasih. Oh iya pak iblis, saya melihatnya kok tidak begitu. Tuhan tidak murka. Dalam Al-Quran tak pernah disebutkan bahwa Tuhan murka. Saya melihat semua itu hanyalah kehendakNya. Apa yang dilakukan Tuhan terhadap iblis adalah kehendakNya pula.
Iblis: Sontoloyo, aku bilang Tuhan murka, ya murka. Saya benci sama Dia.
Aku: Lho-lho Anda kok selalu marah sih. Tidak seharusnya Anda marah. Sebab tugas iblis adalah membujuk manusia ke jalan yang sesat. Jika Anda marah berarti di dalam Anda ada iblisnya juga dong. Apalagi wawancara ini hanya sekedar imaginer.
Iblis: Pergi sana dan jangan kembali lagi ke sini jika tak ingin nyawamu melayang. (Dia mengusir saya dari kerajaannya).
Jumat, 04 Juli 2008
Langganan:
Postingan (Atom)