Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahasa dapat menjadikan manusia menjadi lebih beradab dan berbudaya. Manusia telah menyadari arti penting bahasa sehingga berbagai usaha telah dilakukan untuk lebih mengembangkan ilmu tentang bahasa demi kepentingan manusia itu sendiri.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli bahasa tersebut mempunyai tujuan selain untuk pengembangan ilmu itu sendiri juga untuk tujuan komunikasi yang lebih baik. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah menganalisa dan mengukur suatu teks.
Suatu studi yang menekankan pada peran bahasa sebagai alat komunikasi yang lebih baik muncul pada awal 1920 an. Studi tentang bahasa ini disebut Keterbacaan. Studi ini digunakan untuk mengidentifikasi kualitas teks apakah teks tersebut bisa disebut teks yang mudah untuk dipahami maksudnya.
Mengidentifikasi kualitas teks bukanlah hanya merupakan teka – teki bagi para ahli bahasa, namun hal tersebut juga menyangkut masalah kepentingan orang banyak. Kintsch dan Miller (1984 : 220) mengatakan :
For our seciety to function, people have to be able to understand what they read; and documents, in structions, and explanations must be written in such a way that people can understand them.
Agar masyarakat tahu dan paham dengan apa yang mereka baca, dokumen, instruksi dan penjelasannya seharusnya ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan masyarakat dapat memahami tulisan-tulisan tersebut.
Untuk mencapai teks yang dapat dikatakan readable dibutuhkan persyaratan khusus Nutall (1982 : 24) mengatakan bahwa “Readability is not a matter only of vocabulary, however structural difficulty is also important….” Jadi Readability bukan hanya menyangkut masalah kosa kata saja, namun juga masalah gramatikal.
Suatu wacana atau teks akan lebih menarik apabila disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga terjadi pada editorial surat kabar. Editorial yang mempunyai sifat khusus, akan lebih mudah dipahami oleh pembaca apabila ditulis dengan bahasa yang sederhana, yaitu dengan menggunakan kata-kata yang umum dan kalimat-kalimat yang tidak berkepanjangan. Tujuan yang hendak dicapai oleh para editor, yaitu memberikan gambaran, penjelasan serta beberapa alternatif bagi kepentingan masyarakat, tidak akan tercapai apabila masyarakat sukar memahami tulisan dalam editorial tersebut.
Konsep Keterbacaan
Studi tentang keterbacaan, atau dalam bahasa Inggris disebut readability, mempunyai dua tujuan utama yaitu untuk menentukan bahwa suatu teks mudah atau bahkan sulit dibaca atau dipahami dan untuk lebih mengoptimalkan kesatuan antara pembaca dan tulisan yang dibaca. Hal ini dikemukakan oleh Food dalam bukunya yang berjudul Understanding Reading Comprehension, Cognition, Language and the Structure of Prose (1984).
Dale dan Chall juga memberikan suatu definisi tentang Keterbacaan, yaitu:
Readability is the sum total (including the interaction) of all those elements within a given plece of printed material that affects the success a group of readers have with it. The success is the extent to which they understand it, read it …… Chall 1984 : Keterbacaan adalah keseluruhan elemen yang terdapat pada teks, termasuk interaksi antara elemen-elemen tersebut. Suatu teks dikatakan baik apabila para pembaca dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan dalam teks tersebut.
Pada dasarnya keterbacaan menyangkut derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Sakri (1993 : 135) menyatakan :
Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami dari pada yang rendah keterbacaannya dan sebaliknya, lebih rendah keterbacaan sebuah karangan lebih sukar untuk dibaca. Keterbacaan, antara lain. Bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tudak umum lebih sulit untuk dipahami dari pada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya. Demikian pula bangun kalimat yang panjang dan rumit menyulitkan pembaca untuk memahaminya.
Kesulitan yang dimaksudkan dapat diatasi apabila suatu bacaan atau karangan disajikan dengan bahasa yang sederhana sehingga keterbacaannya tinggi.
Faktor – Faktor Keterbacaan
Keterbacaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa saja, akan tetapi juga ditentukan oleh rupa tulisan, yaitu tata huruf atau tipografinya. Namun dalam penelitian ini, penelitian hanya akan mengkaji keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa.
Keterbacaan yang ditentukan oleh bahasa dapat dilihat pada bangun kalimat, pilihan kata, susunan paragraf dan unsur ketatabahasaan yang lain. Dari semua unsur tersebut unsur kesulitan kosa kata dan panjang kalimat sangat menentukan tingkat keterbacaan suatu teks. Hal ini dikemukakan oleh Rachard et al (1985 : 238), seperti berikut ini :
Readability depends on many factors, including (a) the average length of sentences in a passage (b) the number of a new words a passage contains (c) the gramatical complexity of the language used.
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian Pembatasan Masalah, peneliti tidak akan mengkaji semua faktor yang disebutkan oleh Richard tersebut. Penelitian hanya akan mengkaji tingkat keterbacaan suatu teks yang disebabkan oleh susunan kalimat, kepadatan kata dalam kalimat dan kata-kata sulit yang terdapat dalam teks tersebut.
1. Susunan Kalimat
Saran yang baik bagi seorang penulisan adalah buatlah kalimat-kalimat yang pendek, karena tidak ada sesuatu yang membosankan dibandingkan dengan membaca kalimat-kalimat yang panjang. Di samping itu kalimat-kalimat yang panjang akan sulit dimengerti dan kurang bisa mengungkapkan ide dengan baik.
Nababan (1994 : 20 – 21) mengatakan bahwa kesederhanaan dan kerumitan susunan kalimat tampak dari jumlah klausa yang terdapat di dalamnya. Jika suatu kalimat dibangun hanya dari satu klausa bebas ia tergolong kalimat sederhana, sebaliknya jika suatu kalimat mempunyai lebih dari satu klausa bebas dan klausa terikat, ia tergolong kalimat kompleks.
Contohnya :
1) The mountain, the peak of which, was barely discernible, was an impressive sight.
2a) The mountain was an impressive sight
2b) The peak of it was barely discernible
Kalimat (1) dan Kalimat (2a) dan (2b) mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, kalimat (1) lebih sulit dipahami dari pada kalimat (2a) dan (2b) karena kalimat (1) mempunyai konstruksi yang kompleks.
2. Kepadatan Kata Dalam Kalimat
Panjang kalimat berpengaruh pada keterbacaan suatu teks. Pada dasarnya, makin panjang sebuah kalimat, makin sulit untuk dipahami.
Nababan (1994 : 22) mengatakan bahwa kalimat yang padat katanya mempunyai susunan yang rumit dan kepadatan rata-rata kata dalam kalimat itu turut menentukan keterbacaannya. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan keterbacaan ialah mengendalikan panjang kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang pendek akan lebih mudah dipahami maksudnya dibandingkan dengan kalimat yang panjang.
3. Kesulitan Kata
Hal yang pokok dalam keterbacaan adalah masalah kesulitan kata. Salah satu cara untuk menekan kesulitan ini adalah dengan menggunakan kata-kata yang sederhana. Pertama – tama yang perlu diperhatikan oleh seorang penulis adalah penggunaan kata-kata yang umum dan sering digunakan (high frequency). Contohnya: kata proceed sering berarti go, kata secure sering berarti safe.
Selain penggunaan kata-kata yang sederhana dan umum, seorang penulis disarankan untuk menghindari penggunaan kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih, karena kata-kata ini dapat menimbulkan kesulitan bagi para pembaca.
Formula Keterbacaan
Penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan sejak permulaan tahun 1920-an, menghasilkan formula keterbacaan (readability formula). Chall (1984 : 236) mengatakan lebih dari 50 formula keterbacaan setelah dipublikasikan, namun hanya beberapa dari Spache (1974). Dale Chall (1948), Flesch (1948), Molaughlin (1969), Robert Gunning (1968) dan Fry (1968). Rumus-rumus keterbacaan tersebut pada dasarnya menggambarkan kombinasi antara jumlah kata-kata sukar dan jumlah kalimat (Marjasujana, 1987 : a).
Dari beberapa formula keterbacaan yang telah dipublikasikan tiga formula masing-masing formula keterbacaan Dale dan Chall, Rudolf Flesch dan Robert Gunning merupakan formula-formula yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan surat kabar (westley, 1953 : 91). Pada kenyataannya, yang diperhatikan dalam formula keterbacaan tersebut yang ada hanyalah kata-kata yang sulit dan panjang kalimat.
Dalam penelitian ini, penelitian hanya menggunakan formula keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning. Peneliti tidak menggunakan formula keterbacaan Dale dan Chall karena selain buku – buku yang menjelaskan tentang formula Dale dan Chall hampir sama dengan dua formula yang telah peneliti sebutkan di atas.
1. Formula Keterbacaan Fleasch
Formula keterbacaan yang ditemukan oleh Rudolf Flesca, seorang ahli bahasa Amerika Serikat, berdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengukur kemudahan suatu tulian untuk dibaca dan dipahami. Bagian kedua mengukur pesona insani, yaitu beberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca )Sakri, 1993 : 138).
Untuk mengukur tingkat keterbacaan bedasarkan jumlah kata per kalimat atau panjang klaimat, Flesch menyusun suatu tabel mengenai derajat keterbacaan tulisan sebagai berikut :
Keterbacaan
Kata per kalimat
Sangat mudah
8
Mudah
11
Agak mudah
14
Baku
12
Agak sulit
21
Sangat sulit
25
Tabel rujukan Flesch tersebut banyak digunakan oleh lembaga pemerintahan, surat kabar – surat kabar untuk memperbaiki terbitannya.
Pada bagian kedua dari formula Flesch, yaitu yang dipakai untuk mengukur pesona insani, peneliti menggunakan sekelompok pembaca untuk mengetahui seberapa menariknya gaya karangan itu bagi pembaca. Gaya karangan yang dimaksud di sini adalah penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam editorial surat kabar.
Dua pakar di bidang keterbacaan, yaitu Fry dan Melaughlin, mengatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu teks dapat diukur dari sudut kebahasaannya saja, misalnya penggunaan kalimat dan tingkat kepadatan rata-rata kata per kalimat dalam teks (Nababan, 1994 : 25). Namun demikian, peneliti menyadari bahwa kegiatan membaca tidak mungkin terlepas dari pembaca itu sendiri. Oleh sebab itu, pembaca harus dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini agar penelitian ini akan lebih memuaskan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil beberapa orang sebagai pembaca. Diharapkan mereka dapat memberikan masukan dan tanggapan yang sifatnya tambahan setelah mereka membaca editorial surat kabar Jawa Pos dan Kompas serta kuesioner yang telah peneliti berikan.
2. Formula Keterbacaan Robert Gunning
Robert Gunning, sarjana yang menengembangkan formula keterbacaan pada tahun 1952, menyatakan bahwa tingkat keterbacaan suatu wacana dapat diketahui dengan langkah-langkah sebagai berikut (Wardah, 1978 : 14 – 150) :
1).Ambil sebuah tulisan atau wacana.
2).Hitunglah jumlah kalimat yang ada pada tulisan atau wacana.
3).Hitunglah panjang kalimat dengan cara menghitung jumlah kata per kalimat, misalnya saja 18 buah kata per kalimat.
4).Kemudian hitung jumlah rata-rata kata per kalimat dalam tulisan atau bacaan.
5).Hitunglah kata-kata sulit, dalam hal ini adalah kata-kata yang terdiri atas tiga suku atau lebih. Jangan dihitung kata-kata ganti nama dan kata-kata majemuk, seperti book-keeper, serta kata kerja yang menjadi tiga suku atau lebih yang disebabkan oleh suatu proses morfologis, seperti promoted.
6).Hitung persentase kata-kata sulit dengan membagi jumlah kata-kata sulit dengan jumlah total kata yang ada pada tulisan atau wacana.
7).Jumlah faktor ke-4 dan ke-6 (rata-rata panjang kalimat dan kata-kata yang bersuku tiga atau lebih, perkalian dengan 0,4. Maka hasil yang diperoleh disebut Fog Index.
Rentangan Gunning Fog Index adalah dari 5 sampai 17 dan Fog Index diatas 7 dianggap oleh Gunning sebagai titik rawan. Tulisan dengan Fox Index diatas 7 tergolong sulit untuk dibaca dan dipahami maksudnya. Gunning dalam Sakri (1993 : 137) melaporkan bahwa majalah umum di Amerika Serikat yang mempunyai Fox Index diatas 12 sudah gulung tikar dalam tempo satu tahun. Sementara itu, majalah Time dan Look dengan Fog Index masing-masing 10 dan 8 bertahan hidup dengan jumlah cetak yang luar biasa besarnya.
Kedua formula keterbacaan tersebut di atas, banyak digunakan para penulis sebagai rumus untuk membuat tulisan atau wacana yang mudah dibaca dan dipahami maksudnya. Dengan menggunakan kedua formula tersebut, yang mengukur jumlah kata per kalimat atau panjang kalimat, kata sulit dan tingkat kesulitan kata, maka tingkat keterbacaan editorial Jawa Pos dan Kompas dapat diukur dan kemudian dibandingkan.
Penelitian yang Berkaitan
Penelitian tentang keterbacaan telah banyak dilakukan oleh peneliti bahasa di luar negeri. Flood dalam bukunya Understanding Reading Comprehension + Cognition Language and the Structure of Prose (1984), menyatakan bahwa beberapa peneliti telah mempelajari rumus keterbacaan Rudolf Flesch dan Robert Gunning dan mengadakan penelitian berdasarkan rumus-rumus tersebut. Peneliti-peneliti yang dimaksud adalah Jeanne S. Chall, George R. Klare, Bormouth, Kintsh dan Vipond, Coleman, Sticht, Harisdan Jacobson.
Penelitian-penelitian di bidang keterbacaan tersebut di atas mempunyai tujuan umum, yaitu (1) untuk mengetahui hal-hal yang membuat teks mudah atau sulit dibaca dan dipahami, dan (2) untuk menggunakan pengetahuan itu guna menciptakan kesesuaian antara kemampuan pembaca dan tingkat keterbacaan (Chall dalam Flood, 1984 : 236).
Banyaknya penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keterbacaan merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan mempunyai prospek yang cukup baik. Di bawah ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang yang diteliti oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan, di samping untuk memperluas cakrawala pengetahuan, juga digunakan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Adapun hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wardah (1978), Prayuwati (1979), Aryatiningsih (1993) dan Nababan (1994).
Dalam penelitiannya, Wardah berusaha menentukan tingkat keterbacan buku-buku novel bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Wardah, sekarang ini novel-novel ini terjemahan sudah banyak dibaca orang Indonesia. Namun kualitas novel-novel terjemahan itu ada yang bagus, ada pula yang kurang memadai. Salah satu faktor mengapa buku-buku novel terjemahan itu mendapat tempat di hati para pembaca adalah tingkat keterbacaannya.
Untuk mengukur tingkat keterbacaan beberapa novel terjemahan, Wardah menggunakan dan macam teknik analisis. Kedua teknik analisis itu adalah Cloze Procedure dan Formula Keterbacaan yang menggunakan indeks Gunning Fog. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan novel-novel yang diteliti, baik yang diperoleh dari analisis yang menggunakan Cloze Procedure maupun Formula Keterbacaan, adalah tinggi.
Penelitian yang serupa dengan penelitian Wardah juga dilakukan oleh Prayuwati (1979). Prayuwati dalam thesisnya meneliti buku-buku terjemahan cerita-cerita kanak-kanak. Ia menyatakan bahwa untuk menilai buku-buku bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak bacaan yang bagaimana yang menarik minat anak-anak adalah hal yang sangat penting. Ia berpendapat bahwa apabila suatu buku sudah mudah dibaca, buku itu akan menarik minat anak untuk membacanya. Karena alasan itu ia tertarik untuk menerliti tingkat keterbacaan buku certa anak-anak hasil terjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam penelitiannya, Prayuwati menggunakan dua macam Cloze Test sebagai instrumen, yaitu (1) Cloze Tests tanpa pilihan, artinya para subjek penelitian diberi kebebasan untuk mengisinya. Hasil penelitian Prayuwati menunjukkan bahwa dari sepuluh cerita kanak-kanak yang dijadikan sampel, hanya satu yang tingkat keterbacaannya rendah. Dengan kata lain, kesembilan cerita kanak-kanak yang diteliti mempunyai nilai keterbacaan yang tinggi.
Aryatiningsih, pada tahun 1993 telah mengadakan penelitian tentang tingkat keterbacaan yang dikaitkan dengan kemampuan menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Diponegoro Semarang. Dalam penelitiannya, Aryaningsih meneliti faktor gramatikal dan kosa kata suatu teks. Dari hasil analisis didapat kesimpulan bahwa semakin komplek gramatikal dan kosa kata suatu teks semakin sulit teks itu dipahami dan diterjemahkan .
Ketiga peneliti di atas mengkaji tingkat keterbacaan dalam penerjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, lainnya halnya dengan Nababan yang mengkaji tingkat keterbacaan dalam bidang pengajaran. Ia (1994) meneliti tingkat keterbacaan ujian mata kuliah Reading Comprehencion mahasiswa semester I – VI Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan materi ujian tersebut, Nababan mendasarkan pada dua indikator, yaitu persentase jumlah kalimat kompleks yang terdapat dalam setiap teks dan jumlah rata-rata kata per kalimat. Untuk menghitung jumlah rata-rata kata per kalimat, Nababan menggunakan formula keterbatasan Rudolf Flesch. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa teks materi ujian Reading Comprehension mempunyai nilai keterbacaannya yang rendah dan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan mahasiswa semester yang bersangkutan.
Sejauh ini, di lingkup Jurusan Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maretm Surakarta, baru terdapat satu penelitian tentang keterbacaan yang dilakukan oleh Nababan, seperti tersebut di atas.
Masih sedikitnya penelitian yang terkait, terutama di Jurusan Sastra Inggris, memacu peneliti untuk meneruskan penelitian tentang keterbacaan. Peneliti berharap penelitian ini dapat menambah perbendaharaan hasil penelitian di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra.
2 komentar:
saya menyarankan anda untuk menuliskan sumber tulisan dari teori-teori yg dimuat. terima kasih
saya setuju dengan komentar sebelumnya, tolong cantumkan sumber tulisan dari teori-teori yang dimuat. terima kasih.
Posting Komentar