Sabtu, 05 Juli 2008
Tuhan Yang Dijual
Sudah lama Ayah mencari Tuhan. Beliau sudah tidak puas lagi dengan hanya bersalat lima waktu. Ayah ikut tarekat ini dan itu. Tapi tidak puas juga. Pernah beliau saya tawari untuk menunaikan ibada haji, namun beliau menolak. Alasannya ayah masih merasa kotor sehingga takut menatap Ka’bah. Ketika saya tertawa mendengar alasannya ini, beliau marah.
“Justru orang yang kotor yang pantas ke Tanah Suci, Pak. Nah didepan Ka’bah itulah orang yang kotor itu lalu dibersihkan,” celetuk saya.
Mendengar perkataan saya itu Ayah marah lagi. Kemarahan Ayah tidak pernah ditunjukkan dengan kata-kata atau tindakan, melainkan dengan berdiam diri.
Di Banyumas itulah akhirnya Ayah merasa mendapatkan apa yang selama ini dicarinya: Tuhan. Beliau ikut satu tarekat yang namanya Tarekat Tanpa Nama. Sekali lagi saya tertawa mendengar nama kelompok ini.
“Pak, sungguh saya tidak menyindir. Tapi nama tarekat Bapak persis nama Band Tanpa Nama,” celetuk saya sambil tersenyum.
Lagi-lagi Ayah marah. Beberapa saat kami berdiam diri. Saya juga menyatakan jika ayah suka marah, perjalanan Ayah dalam mencari Tuhan akan menemui kesukaran. Lagi-lagi Ayah marah. Tapi begitulah, antara Ayah dan saya terjalin hubungan yang erat dibanding anak-anak yang lain. Dari sini lalu saya bisa bercanda secara bebas dengan beliau.
Tarekat Tanpa Nama, ya bolehlah nama ini, pikir saya. Cukup kontemporer dan punya selera. Barangkali saja kiai yang memimpinnya seorang muda yang bergairah terhadap hidup. Barangkali punya rasa humor tinggi atau semacamnya. Saya sih senang-senang saja, asal Ayah senang juga di dalamnya. Kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan kami.
Pada sorelam (sekitar pukul 19.00 atau 20.00) di warung nasi liwet bu Lemu di Triwindu, Solo, pikiran-pikiran segar Ayah tentang Tuhan, mengalir. Saya adalah pendengar yang baik. Bukan karena apa, melainkan karena hidup saya yang profan yang secuil pun tidak mengerti apa yang dibicarakan Ayah. Saya hanya seorang makelar. Semua jenis dan semua ragam barang dagangan saya makelari. Kendaraan, rumah, tanah, dan lain sebagainya.
Nah, di rumah sakit Lamongan itulah Ayah bisa beristirahat total. Namun beliau tetap bungkam ketika saya tanya kenapa sampai mengembara dan terlunta-lunta begitu jauh dari Purwokerto. Kalau boleh saya membaca wajah Ayah, kali ini agaknya beliau terdiri dari campuran marah, kecewa, dan putus asa. Setelah dirawat tiga hari, Ayah minta langsung pulang ke Purwokerto. Di rumah, Ayah tetap diam seribu bahasa. Setelah mencukupi kebutuhan rumah tangga beliau, saya pamit kembali ke Solo. Tapi di tengah perjalanan saya penasaran. Saya putar mobil lalu balik menuju Banyumas. Ingin sekali saya bertemu dengan kiai guru Ayah, pemimpin Tarekat Tanpa Nama itu.
Ternyata tempat mangkal tarekat ini adalah sebuah gedung yang megah. Aula tempat berlatih bersama merupakan ruang yang besar dan luas. Saya berhasil menemui pak kiai itu dengan mengantongi banyak pertanyaan. Setiap pertanyaan saya beliau jawab dengan tangkas dan benar. Peling tidak, menurut pikiran saya. Lalu saya diajak berkeliling oleh stafnya. Sempat juga saya melihat beberapa anggota bersalat dan berlatih dzikir. Akhirnya saya ditawari untuk masuk menjadi anggota. Saya menolak. Saya katakan bahwa saya tidak mengerti dengan kegiatan begini. Lagipula hidup saya bertentangan dengan gaya hidup yang seperti itu. Tetapi omongan saya ini dibantah. Gaya hidup seperti apapun, tak menghalangi siapapun untuk masuk menjadi anggota perkumpulan semacam itu.
Ketika saya pamit dan keluar gedung itu, di depan saya terhampar suatu pemandangan yang indah sekali dengan air terjun dari sebuah bukit. Saya terheran-heran. Saya ingat betul pemandangan ini tidak ada ketika saya masuk gedung itu. saya terbengong-bengong. Saya sadar kembali setelah kiai itu menepuk punggung saya.
“Pemandangan itu hanya maya,” kata Pak kiai sambil menghapus pemandangan itu dengan lambaian tangannya, dan lenyaplah pemandangan yang sangat indah itu. saya terkagum-kagum lagi. Subhanallah. Belum sampai mulut saya membuka, Pak kiai menunjuk mobil saya.....yang ternyata telah berubah menjadi BMW model mutakhir. Terbelalak saya terhenyak. Saya mematung beberapa saat. Saya lalu dibimbing masuk kembali ke dalam gedung. Disodorinya saya formulir keanggotaan yang perlu saya isi.
“Apakah saya nanti juga bisa mencipta pemandangan yang indah dan segala macam lainnya, kiai?” tanya saya.
“Tentu,” jawab Pak kiai.
“Apakah mobil saya akan tetap yang indah itu, kiai?”
“Tentu.”
“Berapa lama saya perlu belajar?”
“Itu tergantung masing-masing.”
“Kapan saya mulai, kiai?”
“Setiap pribadi harus dibersihkan dari dosa terlebih dahulu. Setelah bersih betul lalu diajak melakukan perjalanan ke surga. Setelah dari surga, baru seorang anggota bisa mencipta segala macam apa saja yang ia ingini.”
“Saya bersedia menjadi anggota, kiai.”
“Bagus. Biaya untuk bersih-bersih itu satu juta rupiah.” Serta merta saya tulis cek sebesar yang diminta.
Begitulah, saya lalu mondar-mandir Solo-Banyumas untuk mengikuti latihan tarekat itu. yang menyenangkan tentu saja karena perjalanan tambah mulus diatas mobil yang indah itu. Hmmm. Setiap saya mampir ke rumah Ayah di Purwokerto, saya masih sempat merahasiakannya. Tapi, lama-lama saya tidak kuat juga. Akhirnya saya ceritakan tentang keanggotaan tarekat saya itu.
“Goblok kamu!” bentak Ayah. “Itu tarekat setan!”
“Jangan keburu marah dulu, Pak,” jawab saya mencoba mendinginkannya.
“Berapa juta rupiah kamu sudah dilalap oleh kiai sontoloyo itu?”
Saya diam saja.
“Ayo, jawab!”
“Lima belas.”
“Bebal, kamu! Lalu kamu dapat apa? Jawab!”
Saya diam saja.
“Kamu dapat apa? Jawab!”
Saya tetap diam.
“Jawab!”
“BMW.”
“Mana BMW-mu biar aku lihat.”
Lalu Ayah mbradat keluar yang saya ikuti dengan kelu.
“Mana mobilmu yang indah itu?”
dengan terheran-heran saya menyaksikan mobil saya sudah berubah menjadi mobil yang dulu lagi. Kembali saya mematung untuk kedua kalinya. Terkulai dihadapan Ayah, betapa konyol saya telah terpikat oleh kelompok yang dulu sempat saya lecehkan. Masya Allah.
Sejak itu saya tinggalkan terekat yang sebenarnya telah mempesona itu. sungguh saya tidak mengerti jalan pikiran Ayah. Bagaimana mungkin seorang kiai yang sanggup mencipta seperti Tuhan telah dianggap Ayah sebagai kelompok kiai yang sesat.
Atas nasehat seorang kiai di Solo, saya diminta menunaikan ibadah haji. Tapi rasanya saya belum kuat dan belum siap. Lalu saya putuskan untuk umrah di bulan suci Ramadhan ini. Cukup lama juga merayu Ayah, alhamdullilah, akhirnya beliau mau berangkat menemani saya ke Tanah Suci. Kami berdua mendapat waktu ibadah sepuluh hari terakhir. Konon inilah hari-hari yang keramat. Hari-hari yang didambakan oleh seluruh muslimin di dunia. Hari-hari Lailatul Qadar yang siapapun sanggup membayar supermahal dan tinggal sepanjang hari sepanjang malam beriktikaf di dalam Masjidil Haram, selama sepuluh hari tanpa seringsut dari tempat duduknya.
Masya Allah. Saya kesukaran lagi dengan Ayah. Ketika kami siap-siap melaksanakan ibadah umrah bersama ratusan jemaah lainnya, tiba-tiba saja Ayah ngambek tidak mau masuk masjid yang tersuci itu. beliau mendengar bahwa biaya umrah sepuluh terakhir Ramadhan ini lebih mahal dari biaya haji ONH-Plus.
“Ayo, jawab! Apa benar biayanya lebih mahal?” bentak Ayah.
Saya diam.
“Ayo, jawab!”
Saya tetap diam.
“Ayo, jawab!”
“Benar.”
“Sontoloyo! Di mana-mana Tuhan dijual dengan harga yang murah!” teriak Ayah sambil masuk kembali ke kamar hotel, tidur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar